Insiden di Lapangan Basket

1 0 0
                                    

HAPPY READING

NOVEL INI DIBUAT KARNA KEGABUTAN SEMATA, HARAP DIMAKLUMI ADA TYPO ATAUPUN KESALAHAN MENULIS LAINNYA

"Dalam pertarungan terakhir, yang terkuat bukanlah yang paling keras, tetapi yang paling bijak."

*
*
*

Bab 26: Insiden di Lapangan Basket

Panas siang itu terasa menyengat di lapangan basket sekolah. Rayhan, yang sudah merasa bahwa sesuatu akan terjadi, berjalan pelan menuju lapangan, mengikuti jejak-jejak bisikan yang beredar di antara siswa-siswa. Nama Ardi berkali-kali disebut, dan semakin banyak orang yang berkumpul di sekitar lapangan. Suasana terasa tegang, seolah semua orang tahu bahwa sesuatu yang besar akan segera terjadi.

Rayhan sudah mendengar dari teman-temannya bahwa Ardi berencana memancingnya ke lapangan untuk pertarungan fisik. Ini bukan hal yang mengejutkan. Ardi selalu menggunakan kekerasan untuk menunjukkan kekuasaannya, dan kini, setelah dukungan untuk Rayhan semakin besar, Ardi merasa harus bertindak lebih keras untuk mempertahankan posisinya.

Ketika Rayhan tiba di lapangan, Ardi sudah berdiri di tengah, dikelilingi oleh beberapa anak buahnya. Reno dan Faisal, yang selama ini menjadi tangan kanan Ardi, tampak berdiri dengan ekspresi penuh percaya diri. Di sekeliling lapangan, siswa-siswa lain berkerumun, menonton dengan tegang. Bisikan-bisikan kecil terdengar, sebagian siswa tampak takut, sementara sebagian lainnya menanti apa yang akan terjadi.

Ardi tersenyum dingin saat melihat Rayhan mendekat. "Akhirnya datang juga," kata Ardi, suaranya keras sehingga semua orang bisa mendengarnya. "Aku pikir kamu bakal sembunyi seperti pengecut, Rayhan."

Rayhan berhenti beberapa langkah di depan Ardi. Dia menatap lawannya tanpa rasa takut. "Aku nggak akan sembunyi, Ardi," kata Rayhan tenang. "Tapi aku juga nggak akan berkelahi denganmu."

Mata Ardi menyipit. "Kamu pikir kamu bisa menang dengan bicara manis? Di sini cuma ada satu cara untuk menunjukkan siapa yang berkuasa."

Rayhan tetap tenang. "Aku nggak mau tunjukkan kekuasaan, Ardi. Ini bukan soal siapa yang lebih kuat secara fisik. Sekolah ini butuh perubahan, dan kita semua sudah tahu bahwa kekerasan bukan jawabannya."

Tawa dingin Ardi mengisi udara. "Omong kosong! Kamu hanya takut, Rayhan. Kamu tahu kalau aku bisa mengalahkanmu kapan saja."

Beberapa siswa di sekitar mereka mulai bergumam. Ketegangan semakin memuncak. Rayhan tahu bahwa banyak di antara mereka yang masih takut pada Ardi, takut bahwa jika Rayhan tidak melawan, Ardi akan terus menguasai sekolah dengan kekerasannya.

Tiba-tiba, Ardi melangkah maju dan dengan cepat mencoba menyerang Rayhan, mengayunkan tinjunya dengan keras. Sontak, kerumunan siswa tersentak, dan beberapa dari mereka bahkan mundur, tak ingin terlibat dalam pertarungan yang tampak tidak bisa dihindari.

Namun, Rayhan sudah siap. Dengan refleks cepat sebagai seorang atlet Muay Thai, dia dengan mudah menghindari pukulan itu, membuat Ardi kehilangan keseimbangan sejenak. Rayhan tidak menyerang balik, dia hanya berdiri dengan tenang.

"Apa itu?" ejek Ardi, kembali menyiapkan serangan berikutnya. "Kamu pikir bisa terus menghindar?"

Rayhan tetap tak bergerak, menatap Ardi dengan tatapan tegas. "Aku tidak akan melawanmu, Ardi. Pertarungan ini nggak akan menyelesaikan apa pun."

Ardi, yang kini tampak semakin marah, menyerang lagi dengan pukulan lebih keras. Kali ini, Rayhan tidak hanya menghindar—dia menangkis pukulan Ardi dengan teknik Muay Thai yang sempurna, memutar tubuhnya untuk menjatuhkan keseimbangan Ardi tanpa menyerangnya secara langsung. Ardi tersungkur, terkejut, tetapi dengan cepat berdiri lagi.

Kerumunan yang menonton mulai bersorak, sebagian besar dari mereka mulai mengagumi keterampilan Rayhan. Beberapa dari mereka bahkan mulai bersorak mendukung Rayhan, yang tidak menggunakan kekerasan tetapi tetap mampu melindungi dirinya dengan tenang.

"Ayo, Rayhan!" teriak seorang siswa dari pinggir lapangan. "Kamu bisa mengalahkannya!"

Ardi, yang sekarang tampak lebih frustrasi, kembali menyerang dengan lebih liar. Namun, setiap serangannya berhasil ditangkis atau dihindari oleh Rayhan, yang terus mempertahankan sikapnya untuk tidak membalas dengan kekerasan. Dia bisa saja melawan Ardi dengan mudah, tetapi Rayhan tahu bahwa ini bukan tentang siapa yang lebih kuat. Ini tentang mengubah cara berpikir siswa-siswa di sekolah ini.

Di tengah-tengah pertarungan yang semakin intens, Rayhan berteriak, suaranya menggema di seluruh lapangan. "Ardi, sudah cukup! Kamu nggak akan mendapatkan apa-apa dengan ini. Kamu sudah kalah, bukan karena aku lebih kuat, tapi karena semua orang di sini sudah tahu bahwa kekerasan nggak akan membawa kita ke mana-mana."

Ardi berhenti sejenak, napasnya terengah-engah. Dia memandang sekeliling, melihat siswa-siswa yang sebelumnya mendukungnya kini mulai meragukan kekuasaannya. Dukungan untuk Rayhan semakin kuat. Sorakan untuk Rayhan semakin nyaring, sementara Ardi mulai kehilangan kendali atas situasi.

Reno dan Faisal, yang biasanya setia di belakang Ardi, mulai terlihat ragu. Mereka saling berpandangan, seolah-olah mempertanyakan apakah mereka masih harus mengikuti Ardi.

Rayhan melangkah maju, mendekati Ardi, tetapi tetap menjaga jarak. "Ini bukan tentang aku melawanmu, Ardi. Ini tentang kita semua yang ingin sekolah ini jadi tempat yang lebih baik. Tempat di mana kita bisa merasa aman tanpa harus takut pada siapa pun."

Ardi memandang Rayhan dengan penuh kebencian, tetapi di balik tatapan marah itu, ada ketakutan. Ketakutan bahwa kekuasaan yang selama ini ia genggam perlahan-lahan hancur. Dia menyadari bahwa kekuatannya mulai tidak berarti apa-apa jika orang-orang di sekitarnya tidak lagi takut.

"Aku tidak akan melawanmu, Ardi," ulang Rayhan dengan tenang. "Tapi aku juga tidak akan membiarkanmu terus menguasai sekolah ini dengan kekerasan."

Ardi, yang sudah kehilangan semua kendali, mencoba menyerang Rayhan lagi, tetapi kali ini, serangannya lemah. Rayhan dengan mudah menghindar, dan ketika Ardi tersandung, Rayhan menahannya agar tidak jatuh.

"Aku tahu kamu bisa lebih baik dari ini, Ardi," kata Rayhan pelan, cukup hanya untuk didengar Ardi. "Kamu nggak perlu terus-terusan menggunakan kekerasan. Ini bisa berakhir di sini."

Ardi menatap Rayhan, matanya penuh dengan kebingungan. Untuk sesaat, dia tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Akhirnya, dia hanya menarik napas dalam-dalam dan mundur, menyerah pada kekalahan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Rayhan berdiri tegak di tengah lapangan, di bawah sorakan siswa-siswa yang kini menghormatinya bukan karena kekuatan fisiknya, tetapi karena keberaniannya untuk tidak melawan dengan cara yang sama seperti Ardi.

"Ini belum selesai!" teriak Ardi, meskipun suaranya kini terdengar lebih lemah dan tanpa keyakinan. Namun, tidak ada yang peduli lagi. Ardi perlahan mundur bersama Reno dan Faisal, meninggalkan lapangan tanpa kebanggaan yang pernah ia miliki.

***

Ketika Ardi pergi, siswa-siswa lain mulai mendekati Rayhan. Mereka mengucapkan terima kasih, beberapa di antara mereka bahkan mengakui bahwa apa yang dilakukan Rayhan hari itu mengubah cara pandang mereka tentang kekerasan dan kekuasaan.

Nadia dan Beni menghampiri Rayhan dengan senyum lebar. "Kamu berhasil, Ray," kata Nadia, matanya berbinar. "Kamu benar-benar mengalahkannya tanpa harus bertarung."

Rayhan tersenyum tipis, meskipun dalam hatinya dia merasa lega. "Aku hanya melakukan apa yang aku pikir benar. Ini bukan tentang mengalahkan Ardi. Ini tentang menunjukkan bahwa kita bisa mengubah segalanya tanpa harus menyakiti siapa pun."

Beni menepuk pundak Rayhan. "Kamu memang pemimpin yang kita butuhkan, Ray. Dan sekarang semua orang bisa melihat itu."

Rayhan menghela napas, merasa bahwa beban yang selama ini ia pikul sedikit berkurang. Sekolah ini memang masih membutuhkan banyak perubahan, tetapi hari ini adalah langkah besar menuju sekolah yang lebih aman dan lebih adil bagi semua orang.

Dua Wajah Reyhan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang