Kesadaran Rayhan tentang Hirarki Sekolah

3 3 0
                                    

HAPPY READING

NOVEL INI DIBUAT KARNA KEGABUTAN SEMATA, HARAP DIMAKLUMI ADA TYPO ATAUPUN KESALAHAN MENULIS LAINNYA

"Jika ingin diakui, kadang kita harus menolak aturan yang dibuat oleh mereka yang berkuasa."

*
*
*

Bab 14: Kesadaran Rayhan tentang Hierarki Sekolah

Suasana kelas siang itu terasa lebih lengang daripada biasanya. Pelajaran yang berlangsung tidak terlalu menarik perhatian Rayhan, terutama dengan pikiran yang terus dihantui oleh ancaman Ardi dan kelompoknya. Namun, ada sesuatu yang berubah dalam diri Rayhan. Bukan lagi sekadar perasaan tertekan, tetapi sebuah kesadaran baru bahwa ia tidak bisa lagi terus menghindar.

Selepas pelajaran, Nadia menghampirinya, seperti biasa, dengan senyum lembut yang sedikit menenangkan. Namun, ada kilatan kekhawatiran di matanya. "Ray, ada yang mau aku omongin. Kamu punya waktu?"

Rayhan mengangguk, meletakkan buku catatannya ke dalam tas. "Tentu. Ada apa?"

Nadia menarik napas pelan sebelum berbicara. "Aku dengar gosip di lorong, katanya Ardi semakin nggak suka sama kamu. Bahkan, beberapa anak bilang kalau dia mulai rekrut orang-orang dari luar sekolah buat bantu dia."

Rayhan mengerutkan dahi. "Maksudmu, mereka bawa orang luar ke dalam masalah ini?"

Nadia mengangguk pelan. "Kelihatannya begitu. Dan jujur, aku mulai khawatir. Ini bukan cuma soal geng sekolah lagi, Ray. Ini bisa berbahaya."

Rayhan terdiam. Kali ini, masalah tidak lagi sekadar ancaman perundungan di sekolah. Ini sudah melibatkan sesuatu yang jauh lebih besar, dan mungkin, lebih berbahaya.

"Aku harus lebih hati-hati," gumam Rayhan, memecah keheningan yang terasa menyesakkan. "Tapi kalau mereka memang melibatkan orang luar, itu artinya mereka sudah terdesak. Ardi nggak akan melakukan ini kalau dia yakin dia bisa mengatasiku sendiri."

Nadia menggeleng, menatap Rayhan dengan ekspresi tak percaya. "Jangan remehkan mereka. Mereka masih punya pengaruh besar di sekolah ini."

Rayhan berdiri tegak, meskipun dalam hatinya, dia menyadari bahwa Nadia benar. "Aku nggak meremehkan, Nad. Aku cuma… akhirnya melihat sesuatu yang selama ini aku abaikan. Sekolah ini lebih dari sekadar tempat belajar. Ini juga tempat di mana orang-orang dengan kekuatan sosial mengendalikan segala sesuatu. Ardi bukan satu-satunya masalah. Ada sistem di balik semua ini."

Nadia menatapnya lama, seolah mencoba memahami perubahan yang terjadi dalam diri Rayhan. "Jadi, kamu sudah sadar tentang hierarki kekuasaan di sini?"

Rayhan mengangguk pelan. "Ya. Aku mulai melihatnya. Dan masalahnya bukan hanya Ardi. Dia hanya bagian dari permainan yang lebih besar. Kalau aku cuma fokus ke Ardi, aku bisa kehilangan gambaran besarnya."

Nadia mendesah, lalu duduk di kursi terdekat. "Kamu mau melawan sistem itu?"

Rayhan berpikir sejenak, menatap lurus ke depan. "Aku nggak tahu. Tapi aku nggak bisa lagi hanya diam. Kalau aku terus menghindar, mereka akan berpikir bahwa mereka bisa melakukan apa saja."

Nadia menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum kecil meskipun kekhawatiran masih tergambar di wajahnya. "Kamu keras kepala, ya. Tapi aku senang kamu nggak mundur."

Rayhan tersenyum tipis. "Aku nggak bisa mundur lagi, Nad."

***

Sepulang sekolah, Rayhan berjalan pulang sendirian. Udara sore terasa sejuk, tapi perasaan yang bergejolak di dalam dirinya tidak kunjung reda. Selama ini, dia terlalu sibuk mencoba menyenangkan ayahnya dan bertahan dari tekanan sosial di sekolah. Tapi sekarang, kesadaran mulai muncul bahwa semua itu tidak akan pernah berakhir jika dia terus membiarkan dirinya ditindas oleh sistem yang ada.

Saat melewati gerbang sekolah, Rayhan mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Sekilas, ia menoleh dan melihat sosok yang familiar—Dito dan Rangga, dua pengikut setia Ardi. Mereka berjalan mendekatinya dengan senyum mengejek di wajah mereka.

Rayhan menghentikan langkahnya, berdiri tegak menunggu mereka. "Ada apa lagi kali ini?" tanyanya datar.

Dito menyeringai, melipat tangan di depan dada. "Ardi mau kasih pesan. Kamu tahu, pesan khusus buat orang yang keras kepala kayak kamu."

Rangga tertawa kecil di sampingnya. "Kamu sudah bikin dia marah, Rayhan. Dan biasanya, kalau Ardi marah, nggak akan ada yang baik-baik aja setelahnya."

Rayhan menatap mereka berdua dengan ekspresi tenang, meskipun di dalam dirinya, ia sudah siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. "Kalau Ardi punya masalah sama aku, dia bisa bicara langsung. Nggak perlu kirim orang untuk menyampaikan pesannya."

Dito melangkah lebih dekat, nadanya mulai berubah menjadi lebih mengancam. "Kamu jangan sok berani, Rayhan. Kami nggak main-main. Sekali lagi kamu bikin masalah, kamu nggak akan cuma hadapi kami."

Rayhan mengepalkan tangannya, tapi ia menahan diri untuk tidak bertindak gegabah. "Aku nggak cari masalah, tapi aku juga nggak akan tinggal diam."

Dito berhenti tepat di depan Rayhan, mata mereka saling beradu. "Kita lihat berapa lama kamu bisa bertahan."

Setelah beberapa saat hening yang tegang, Dito dan Rangga akhirnya berbalik pergi, meninggalkan Rayhan sendirian di tepi jalan. Meski perasaan tegang masih ada, Rayhan merasa bahwa dia tidak lagi takut. Setiap kali ancaman datang, ia merasa lebih siap untuk menghadapi mereka.

***

Malam itu, Rayhan duduk di ruang latihannya seperti biasa. Suasana sunyi di sekitarnya menjadi latar yang pas untuk melampiaskan segala yang berkecamuk di kepalanya. Ia memandang samsak di depannya dengan tatapan penuh tekad, lalu mulai melancarkan pukulan demi pukulan, seolah-olah setiap pukulan itu adalah jawaban bagi semua masalah yang ia hadapi.

Bam! Bam!

Pukulan keras menghantam samsak, membuatnya bergoyang hebat. Setiap gerakan yang ia buat semakin mantap, seolah semua latihan yang selama ini ia lakukan mulai mengalir tanpa rintangan.

Setelah beberapa saat, Rayhan berhenti, mengatur napas yang mulai terengah-engah. Ia menatap samsak itu, melihatnya bukan hanya sebagai objek latihan, tetapi sebagai lambang dari kekuatan yang selama ini ia pendam. "Aku nggak akan mundur lagi," gumamnya pada dirinya sendiri.

Ketika Rayhan bangkit dari posisi berlatihnya, terdengar ketukan lembut di pintu ruang latihan. Rayhan menoleh dan melihat ibunya berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan senyum lembut. "Kamu latihan lagi?"

Rayhan mengangguk. "Iya, Bu. Cuma melepas lelah."

Ibunya masuk ke dalam ruangan, lalu duduk di bangku kecil di sudut. "Kamu kelihatan lebih kuat sekarang, Ray. Bukan cuma fisik, tapi juga... hatimu."

Rayhan terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Aku cuma nggak bisa terus diam, Bu. Terlalu banyak yang harus aku hadapi."

Ibunya menatapnya dengan penuh pengertian. "Ayahmu mungkin terlalu keras, tapi dia hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Cuma, terkadang, cara ayahmu terlalu menekan. Aku tahu itu."

Rayhan mendekat, duduk di samping ibunya. "Aku tahu, Bu. Tapi kadang aku merasa beban yang aku bawa terlalu berat. Di sekolah, aku harus menghadapi Ardi dan teman-temannya, sementara di rumah, aku harus memenuhi harapan ayah."

Ibunya menghela napas, lalu meraih tangan Rayhan. "Kamu kuat, Ray. Aku percaya sama kamu. Tapi ingat, kamu juga harus jaga dirimu sendiri. Jangan biarkan semuanya menghancurkanmu."

Rayhan menatap ibunya, merasakan kehangatan dari kata-katanya. "Terima kasih, Bu."

Setelah berbicara beberapa saat lagi, ibunya akhirnya meninggalkan ruang latihan. Rayhan tetap duduk di sana, memandangi samsak di depannya. Di balik semua tekanan, ia merasa mendapatkan dukungan yang selama ini ia butuhkan.

Aku bisa melakukannya. Aku harus melakukannya.

Kali ini, Rayhan tidak hanya berlatih untuk melepaskan rasa frustrasi, tapi juga untuk mempersiapkan diri. Karena ia tahu, hari di mana ia harus menghadapi semuanya sudah semakin dekat.

Dan kali ini, ia akan menghadapi semua itu dengan kekuatan penuh yang selama ini ia simpan.

Dua Wajah Reyhan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang