Insiden yang Membawa Titik Balik

2 1 0
                                    

HAPPY READING

NOVEL INI DIBUAT KARNA KEGABUTAN SEMATA, HARAP DIMAKLUMI ADA TYPO ATAUPUN KESALAHAN MENULIS LAINNYA

"Terkadang, untuk melindungi yang kita cintai, kita harus menunjukkan kekuatan yang tersembunyi."

*
*
*

Bab 16: Insiden yang Membawa Titik Balik

Pagi itu, suasana sekolah terasa lebih berat dari biasanya. Setelah insiden kemarin di gang, Rayhan tahu bahwa Ardi tidak akan tinggal diam. Meskipun Rayhan berhasil mengatasi dua siswa senior yang dikirim Ardi, dia sadar bahwa ini belum selesai. Ardi pasti akan merencanakan sesuatu yang lebih besar.

Rayhan berjalan melewati koridor sekolah dengan tenang, meskipun dalam dirinya, ia tetap waspada. Ketika dia masuk ke kelas, Nadia dan Beni sudah duduk di tempat mereka. Nadia menyambutnya dengan senyum kecil, meski ada kekhawatiran di matanya.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Nadia setelah melihat ekspresi tenang namun serius di wajah Rayhan.

Rayhan menatapnya sejenak sebelum menjawab, “Aku baik. Tapi ini belum selesai. Mereka akan datang lagi.”

Nadia menghela napas panjang, lalu bersandar di kursinya. “Aku tahu. Semua orang di sekolah sudah mulai ngomongin soal kamu dan Ardi. Mereka bilang ini bisa jadi masalah besar.”

Rayhan mengangguk pelan. Dia sudah memperkirakan hal ini akan terjadi. “Aku nggak akan lari, Nad. Kalau mereka mau melanjutkan ini, aku siap.”

Setelah menjawab, Rayhan memalingkan wajahnya ke arah jendela. Meskipun ia mengatakan bahwa ia siap, ada perasaan cemas yang tidak bisa ia abaikan. Dia bukan orang yang suka mencari masalah, tapi Ardi dan kelompoknya sudah melewati batas. Dan Rayhan tahu bahwa semakin lama ia membiarkan ini berlanjut, semakin banyak orang yang akan terlibat dan terluka.

***

Di jam istirahat, Rayhan dan Beni berjalan menuju kantin. Namun, sebelum mereka sampai di sana, suara tawa keras terdengar dari belakang. Rayhan menoleh dan melihat Ardi bersama beberapa temannya berjalan mendekat. Ekspresi Ardi penuh dengan ejekan, senyumnya sinis.

“Hei, Rayhan! Dengar-dengar kamu udah mulai berani sekarang?” seru Ardi dengan suara lantang, membuat beberapa siswa di sekitarnya menoleh.

Rayhan tetap diam, tapi dia bisa merasakan Beni di sampingnya mulai gelisah. Dia tahu ini akan terjadi. Sejak perkelahian dengan anak-anak senior kemarin, Ardi pasti akan mencoba sesuatu yang lebih agresif.

Ardi mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari Rayhan. “Kamu pikir cuma karena kamu bisa kalahin dua anak bodoh itu, kamu bisa ngalahin aku?”

Rayhan menatap lurus ke mata Ardi, menahan diri untuk tidak bereaksi. “Aku nggak cari masalah, Ardi. Tapi kalau kamu terus memaksa, aku nggak akan mundur.”

Ardi tertawa kecil, lalu melangkah mundur sambil melirik teman-temannya. “Kamu pikir kamu jagoan sekarang? Dengar ini, Rayhan. Kamu nggak akan bisa bertahan di sekolah ini. Dan semua orang di sini tahu siapa yang sebenarnya berkuasa.”

Rayhan masih diam, tapi ia merasakan hawa panas mulai merambat ke tubuhnya. Namun, sebelum dia bisa merespons, salah satu teman Ardi, Faisal, tiba-tiba menendang kaki Beni dari belakang, membuat Beni jatuh tersungkur di lantai.

“Ben!” seru Rayhan dengan nada panik, berlutut untuk menolong temannya.

Beni merintih pelan, memegang kakinya yang kesakitan. Sementara itu, Ardi dan kelompoknya tertawa keras, seolah-olah mereka baru saja melakukan lelucon paling lucu. Siswa lain yang menyaksikan kejadian itu hanya diam, takut terlibat.

“Kamu mau bantu dia, Rayhan? Atau kamu mau jatuh juga?” Faisal mendekat dengan seringai di wajahnya, siap melancarkan serangan lagi.

Rayhan merasakan emosi yang ia pendam sejak lama memuncak. Tangannya mulai mengepal erat, tapi ia masih berusaha menahan diri. Ini bukan waktunya untuk kehilangan kendali. Dia menatap Faisal tajam, lalu berdiri perlahan, membiarkan tubuhnya menghalangi Beni dari serangan lebih lanjut.

“Jangan sentuh dia lagi,” ujar Rayhan dengan suara yang rendah namun penuh ancaman.

Faisal berhenti sejenak, terlihat sedikit terkejut dengan ketegasan Rayhan. Namun, Ardi hanya tertawa kecil, mendekat ke sisi Faisal dan menepuk bahunya.

“Kamu pikir kamu bisa lindungi dia? Kalau kamu berani sentuh Faisal, kita lihat siapa yang bakal jatuh duluan,” ujar Ardi.

Rayhan menatap Ardi dalam-dalam, tetapi kali ini dia tidak menahan diri. Perlahan, ia melangkah maju, menempatkan dirinya tepat di depan Ardi. “Aku udah bilang. Kalau kamu mau main kasar, aku nggak akan lari. Tapi jangan sentuh temanku lagi.”

Ardi mendengus, tapi sebelum dia bisa merespons, Nadia tiba-tiba muncul dari arah koridor, berlari dengan ekspresi cemas. “Ray! Ada guru di dekat sini!” serunya.

Mendengar kata "guru", Ardi langsung melirik ke sekeliling, tampak sedikit panik. Dia memberi isyarat kepada teman-temannya untuk mundur, meskipun masih tersenyum sinis ke arah Rayhan. “Kita belum selesai,” katanya sebelum pergi dengan gengnya.

Begitu Ardi dan teman-temannya menghilang, Rayhan menghela napas panjang, lalu menoleh ke Beni yang masih duduk di lantai. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Rayhan sambil membantu Beni berdiri.

Beni mengangguk pelan, meskipun masih terlihat kesakitan. “Aku... aku baik-baik saja. Terima kasih, Ray.”

Nadia berjalan mendekat, ekspresi wajahnya penuh kekhawatiran. “Kamu harus hati-hati, Ray. Mereka nggak akan berhenti sampai mereka menjatuhkan kamu.”

Rayhan mengangguk, lalu menatap ke arah koridor tempat Ardi dan kelompoknya menghilang. “Aku tahu, Nad. Tapi aku nggak akan mundur. Kalau mereka mau terus seperti ini, aku akan melawan. Tapi aku nggak akan biarkan orang lain terluka karena aku.”

Nadia menggenggam tangan Rayhan, menatapnya dengan tatapan penuh tekad. “Kamu nggak sendirian, Ray. Kami di sini untuk kamu.”

Rayhan tersenyum tipis, merasa sedikit lebih ringan meskipun ancaman masih menggantung di udara. “Terima kasih.”

***

Malam harinya, Rayhan kembali ke ruang latihannya di rumah. Kejadian hari ini mengingatkannya bahwa semakin lama dia menunda, semakin besar bahaya yang menanti. Ardi sudah terlalu jauh, dan Rayhan tahu bahwa dia tidak bisa terus menghindari pertarungan.

Rayhan berdiri di depan samsak tinju yang tergantung di tengah ruangan, mengenakan sarung tinjunya dengan gerakan mantap. Setiap pukulan yang ia lepaskan ke samsak terasa lebih berat, lebih penuh emosi. "Aku tidak bisa lagi mundur. Ardi sudah terlalu jauh." batinnya

Pukul demi pukul menghantam samsak dengan intensitas yang meningkat. Setiap gerakan terasa lebih tajam, lebih terkendali, tapi juga lebih penuh kemarahan yang selama ini ia tahan. Rayhan sadar, bahwa pertarungan yang sebenarnya belum datang. Dan ketika saat itu tiba, dia harus siap—bukan hanya secara fisik, tapi juga mental.

Malam itu, di antara suara pukulan yang berulang-ulang, Rayhan membuat janji pada dirinya sendiri. Ketika Ardi datang lagi, dia tidak akan menahan diri. Kali ini, dia akan bertarung—dan dia tidak akan membiarkan siapa pun terluka lagi.

Dua Wajah Reyhan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang