Prolog

1.2K 89 13
                                    

Note : cerita ini memang sudah selesai, namun sebagai pembaca, ada baiknya memberikan "jejak prasejarah" yang bisa meningkatkan kemampuan penulis ^^ kalau ada yang kurang dan merasa kurang sreg, jangan sungkan untuk berkata lewat comment! Selamat membaca! ^^

***

"Kim Hyerin. Bisa beritahu aku di mana kamarnya?"

Suster itu menatap ragu. "Apa kau ... mengenalnya? Maaf saja, tapi ... dia adalah pasien teraneh di sini. Oke, memang semuanya aneh, tapi ... dia yang teraneh."

"Ya. Aku mengenalnya."

Mendengar suara dingin atas balasannya, suster itu mengangguk cepat lalu mengutak-atik komputernya. Sesaat kemudian, ia menunjukkan bahwa kamar seseorang bernama Kim Hyerin itu berada di lantai tiga, kamar 3112.

Setelah bergumam terima kasih, pemuda dengan setelan jas hitam dan celana kain berwarna sama itu melangkahkan kaki menuju lift. Ia tak menghiraukan berbagai tatapan memuja dari beberapa orang waras lainnya, ia hanya berpikir bahwa ia harus bertemu dengan gadis itu. Kim Hyerin.

Saat lift berdenting dan pintu telah terbuka, tanpa ragu ia kembali melangkah untuk mencari kamar itu. Suasana lantai tiga cukup sepi, tak ada seorang pun yang lalu-lalang seperti dirinya. Namun hal itu tak menyurutkan niat Park Ryeon, pemuda yang biasa dipanggil Ren itu untuk bertemu dengan seorang gadis pengidap penyakit kejiwaan.

Cklek!

Ia memutar kenop pintu, membuka pintu kayu bercat cokelat tua itu. Di baliknya, ada seorang gadis duduk di tepi kasur dengan rambut hitam menjuntai. Gadis itu tak memperlihatkan wajahnya atau sekadar mendongak untuk melihat siapa yang masuk ke kamarnya. Ia tetap diam, bagaikan patung tak bernyawa.

Kamarnya begitu hening, tak ada jendela bahkan ventilasi di sana. Ren juga berpikir bagaimana bisa gadis ini hidup di kamar kosong seperti ini. Tak ada pendingin ruangan, hanya ada sebuah meja belajar usang dan sebuah kasur kecil ukuran single. Cat dindingnya putih polos, meski sudah memunculkan kusam di beberapa bagian.

Ia mendekat, lalu duduk di hadapan gadis itu. Senyum kecil terukir di bibirnya. Sejenak memandang, hingga akhirnya tangannya terarah untuk meraih dagu gadis itu dan mengangkat wajahnya.

Mata biru itu adalah hal pertama yang dilihatnya. Sekilas mungkin orang-orang akan melihat mata itu hanya menatap kosong, tak ada binar kehidupan di dalamnya. Namun Ren mampu melihat luka masa lalu di sana.

Setelah menjauhkan tangannya dari dagu gadis itu, Ren tetap memasang senyumnya. "Halo, Hyerin. Apa kabar?"

Hening.

Tak ada jawaban atau sekadar pergerakan atas tanggapan dari pertanyaannya. Gadis itu hanya menatap kosong ke arah Ren, seakan-akan hanya ada sesuatu yang membosankan di hadapannya. Seolah ia tak melihat apa pun.

"Bolehkah aku bertanya? Siapa namamu, yang sebenarnya, Nona?" Ren masih sabar, masih menampilkan senyumnya meski tak terlihat seramah tadi. Sungguh, ia melakukan ini semua hanya untuk menyelesaikan misinya. Ia hanya ingin membuat gadis itu kembali bicara.

Beberapa menit dalam keheningan, sekilas Ren melihat tangan gadis itu terangkat. Telunjuknya menunjuk sesuatu di samping Ren, membuat pemuda itu mengernyitkan dahi sebentar. Hingga akhirnya ia berbalik, menatap dinding putih yang sudah ternodai dengan berbagai coretan spidol maupun alat tulis lainnya.

Ren membelalakkan mata. "Tidak ... mungkin," gumamnya kaget, melihat hampir seluruh dinding itu dihias oleh coretan. Semuanya dalam bentuk kata maupun kalimat.

Ia berdiri, mendekat ke arah dinding itu. Matanya terpaku pada sebuah kalimat yang tertera di sana.

'Namaku Kim Hyerin. Tolong jangan tanyakan lagi. Jauhi aku, aku dapat membunuhmu.'

Ren berbalik, mata coklat tuanya memandang Hyerin yang telah berdiri di hadapannya, dengan sebilah pisau tajam dalam genggaman tangan kanannya. Seringai jahat nan kejam terpatri jelas dalam bibir merah muda itu, seperti elang yang tengah mendapat musuh empuknya.

***

Ten Chapters in MysteryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang