2. Feeling Strange

642 66 11
                                    

Multimedia : Do Kyungsoo as Park Ryeon

***

"Oke, kurasa sekarang saat yang tepat. Siapa namamu?"

Hyerin mengunyah burgernya dalam diam. Ia berlaku seolah tak mendengar Ren baru saja menanyainya.

"Kau tidak mau aku memanggilmu Azusa, ya kan?"

Hyerin tersedak, dan dengan segera Ren mendorong sebotol air mineral ke arahnya. Ia meneguk air itu dengan tergesa, bahkan sebulir keringat muncul dari pelipisnya.

Gadis itu terlihat kaget atau ... panik?

"Jangan sebut nama itu lagi," balas Hyerin dengan napas sedikit terengah. Ia menutup botol itu, lalu meletakkan burgernya yang bersisa setengah di atas nampan. Menumpukan kedua siku, menatap Ren lurus-lurus.

Ren menaikkan kedua alisnya, memandang Hyerin penuh tanya. Ia sudah melakukan analisis terhadap gadis ini selama sebulan. Namanya bukanlahー

"Aku bukan Hyerin. Namaku Katazura Azusa. Aku bukan orang Korea," ucap Hyerin yang justru tidak membuat Ren kaget. Pemuda itu sudah mengetahui hal ini sebelumnya. Hanya saja, ia ingin mendengarnya langsung dari bibir Hyerin.

"Tapi aku mengganti namaku menjadi Kim Hyerin. Azusa sudah mati. Camkan itu, Park Ryeon," lanjut Hyerin berdesis, lalu menundukkan wajah. Sekilas wajahnya terlihat muram, seperti tengah memikirkan sesuatu tentang masa lalu.

"Apa yang membuatmu melakukan itu? Nama Katazura Azusa adalah nama yang bagus," balas Ren seraya menyantap burger yang sedari tadi belum dia sentuh. Meski begitu, matanya masih terfokus menatap Hyerin. Gadis itu kini mendongak, menatap Ren dengan wajah tak sukanya.

"Sudah kubilang jangan sebut nama itu!" gertak Hyerin dalam nada yang relatif pelan, karena saat ini mereka berada di tempat umum. Lebih tepatnya di sebuah restoran cepat saji.

"Aku benci Azusa. Aku tidak mau menjadi gadis sepertinya. Kau tahu? Dia gadis yang bodoh dan lemah. Ia penyakitan, tidak bisa melakukan apa-apa selain menangis dan menangis," lanjut Hyerin yang tanpa sadar mengepalkan kedua tangannya di atas meja.

"Dan sekarang, setelah dua tahun berlalu, kau membawaku keluar dari rumahku. Membawaku kembali melihat dunia yang penuh kebohongan ini," gumam Hyerin, "kau membawaku kembali bertemu dengan orang-orang munafik. Aku benci itu."

Ren berdeham pelan. Ia merasakan sedikit atmosfer aneh tatkala Hyerin berbicara. Rasa hangat menjalar tubuhnya, padahal seharusnya pendingin ruangan di restoran ini melakukan hal sebaliknya.

"Maaf, aku tidak tahu," balas Ren lalu menggenggam kedua tangan Hyerin. Membuat kedua tangan itu melepas kepalannya.

Gadis itu mendongak. Mata biru tuanya menatap mata cokelat Ren. Mata itu tak lagi memancarkan kekosongan, kini ada secercah benih kehidupan di sana. Hanya saja, sedikit luka masa lalu masih terpancar.

"Dunia ini memang penuh kebohongan. Tapi tanpa adanya kebohongan, kejujuran tidak akan pernah ada. Dan satu hal yang perlu kau yakini, dunia ini punya dua sisi berbeda. Jika ada kebohongan, maka di situ akan ada kejujuran."

Ren mengembangkan senyumnya, lalu melepas genggaman tangannya. Pemuda itu menghela napas sesaat, lalu kembali menatap wajah polos Hyerin yang kini tidak sekaku sebelumnya.

"Cobalah untuk belajar menerima, Hyerin. Tidak semua dapat kau tolak. Bagaimana pun, kau adalah seorang manusia. Kau perlu menerima, memberi, menyayangi, disayangi. Semua hal yang kau lakukan akan selalu ada timbal baliknya," lanjut Ren lalu kembali menyantap burgernya.

Hyerin terdiam. Gadis itu tidak bergerak seinci pun, ia hanya memandang Ren. Ia cukup tertegun akan apa yang baru saja pemuda itu katakan.

Apakah ia benar-benar harus belajar untuk menerima? Tapi dulu ... ia juga pernah melakukannya. Dan apa yang dia dapat, justru melukai dirinya sendiri.

Gadis itu menelan saliva-nya kelu. Ia tidak biasa dengan semua ini. Hiruk-pikuk tengah kota, suara keributan, cahaya matahari yang terang benderang, makanan aneh yang baru saja disantapnya. Semua terasa begitu asing baginya. Karena dinding putih yang sering dia coret tidak dia temukan di sini.

Dia tidak menemukan keheningan. Dia tak menemukan udara senyap dan ubin dingin yang biasa dia pijaki. Dia tak menemukan dinding kusam dan dinding penuh coretan caci-makinya.

Dia merasa begitu asing.

"Jadi, aku ingin bertanya padamu," suara lembut Ren memecah lamunannya. Gadis itu menatap Ren, datar.

"Kau pasti kenal dengan Lee Dongjin. Apa yang kau pikirkan tentangnya?"

Dia lagi, pikir Hyerin seraya menghela napas berat. Itu adalah nama kedua yang dia benci. Lee Dongjin. Lelaki sialan yang sudah merampas seluruh kebahagiaannya, menyisakan keterpurukan dan rasa sakit yang mendalam.

"Aku tidak mengenalnya," tukas Hyerin lalu berdiri, "mengapa kau menanyakannya padaku?"

"Aku yakin kau mengenalnya. Katazura Aoki meninggal dibunuh oleh suruhannya, benar?"

Rasa sesak menghimpit dadanya. Sialnya, Ren mengatakan hal itu seolah itu hanyalah hal sepele. Ia bahkan menyesap jusnya santai, merasa tidak keberatan akan apa yang baru saja diutarakannya.

"Kau sialan!" seru Hyerin spontan, membuat Ren membelalakkan mata.

"Hey, apa yang terjadi denganmu? Hyerin!" seru Ren mengejar Hyerin yang mulai berlari meninggalkan restoran. Pemuda itu tak lupa menyambar kunci mobilnya, serta jaket kulit yang dia sampirkan ke bahunya.

"Hyerin!"

Ren berhasil menarik lengan gadis itu. Hyerin meronta, berteriak dan berseru dengan kata-kata tidak jelasnya. Hanya kata-kata seperti sialan, pergi dariku, jauhi aku, dan sebagainya.

"Hyerin, kau ini kenapa? Apa yang terjadi denganmu? Tenanglah!" Ren berusaha menenangkan gadis itu, yang kini kedua tangannya terarah untuk memukul dada Ren. Ia masih meronta, berteriak minta dilepaskan, yang tentu saja mengundang perhatian banyak orang.

"Hentikan, Hyerin! Semua orang akan berpikir yang tidak-tidak!" seru Ren seraya menarik gadis itu memasuki mobil. Beberapa orang mulai menyorakinya, bahkan ada yang berlari mendekat. Tapi Ren tidak peduli. Dengan segera ia menyalakan mesin mobil, dan menancap gas meninggalkan restoran. Meninggalkan orang-orang yang sibuk berteriak meminta pertolongan karena mereka pikir, Hyerin baru saja diculik.

"Pergi! Pergi dariku! Aku tidak mau! Hentikan!" Hyerin terus berteriak hingga suaranya terdengar serak. Air mata turun membasahi pipinya, tubuhnya meronta di kursi samping.

Ren menghela napas berat. Ia menepikan mobilnya, lalu mematikan mesin. Menatap gadis itu lurus-lurus, menatapnya tajam.

"Hyerin! Apa yang terjadi denganmu?!" serunya menarik kedua bahu Hyerin, memaksa gadis itu menatapnya secara langsung.

Rontaan tidak lagi dilakukannya. Hyerin tidak lagi berteriak, namun isakan tangis terdengar jelas. Kedua bahunya naik-turun secara tidak beraturan.

"Aku mau pulang ...," isak Hyerin, "tolong jangan bunuh ayahku. Aku mencintainya. Aku akan rela melakukan apa saja, tapi tolong jangan bunuh dia lagi ...."

***

Ten Chapters in MysteryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang