10.2. Sorrow [END]

307 32 0
                                    

OST for this chapter : 7!! - Orange

***

"Terima kasih, Ren. Sampai jumpa."

Pemuda itu terbelalak. Tangan kanannya memeluk pinggang Hyerin yang berada di dekatnya. Tak lama setelah itu, ia kehilangan hembusan napas Hyerin di lehernya.

"Hyerin? Hyerin!" Ren berteriak kencang, menarik tubuh Hyerin agar ia dapat melihat wajah gadis itu lebih jelas.

Tangan Ren dipenuhi darah.

Hyerin memejamkan mata.

Dan apa tadi ... terima kasih? Sampai jumpa?

Ia memegang pipi Hyerin dengan kedua telapak tangannya. Menepuk pipi halus yang penuh luka itu pelan. Berharap dijawab, setidaknya dengan sedikit gerakan saja. Atau paling tidak, Hyerin kembali bernapas.

Namun sayangnya, itu semua tinggal angan.

Napas Ren nampak ingin putus-putus. Pemuda itu menatap nanar pada tubuh kaku Hyerin yang tak lagi bergerak.

Gadis itu melindunginya. Benar-benar melindunginya, dari tembakan pistol itu.

Pandangan Ren mengabur. Hal yang ia lakukan sekarang hanyalah merengkuh tubuh tak bernyawa itu, menenggelamkan wajahnya pada leher Hyerin seakan gadis itu mampu mendengar isakan pilunya.

"Hyerin ... kumohon ...," gumam Ren pelan. Rengkuhannya semakin erat, seakan takut gadis itu lenyap dari pelukannya begitu saja.

Setelahnya, Ren mendengar suara seperti sebuah benda terjatuh. Ia menatap ke sumber suara, melihat Taejin dengan pandangan kosongnya menatap tubuh Hyerin yang telah terbujur kaku.

"Tidak ... mungkin ...." Taejin memundurkan langkahnya pelan. Tatapannya masihlah kosong.

Ruangan kedap itu hening. Tak seorang pun yang memunculkan suara di sana. Baik Taejin, ataupun Ren. Keduanya larut dalam penyesalan yang sama.

"A ... zu ... sa ...," gumam Taejin pelan. Matanya tampak berkaca. "Adik ... ku ...."

"Kau kehilangan satu orang lagi, Ryuusei," desis Ren tajam. Ia menggendong tubuh Hyerin, lalu menidurkannya di sudut ruangan dengan penuh kehati-hatian. Setelahnya, ia mengecup dahi gadis itu, bagaikan seorang pangeran yang ingin putrinya bangun dan kembali melihat dunia.

Bohong bila ia tidak sakit hati. Rasanya begitu pilu; persis seperti saat ia kehilangan kedua orangtuanya. Padahal, seharusnya ia tak perlu merasa sesedih itu, bukan?

Karena awalnya, Ren menganggap bahwa Hyerin hanyalah sumber informasinya.

Namun setelah semua yang terjadi, Ren merasakan hal aneh ketika ia bersama Hyerin. Saat gadis itu terdiam kaku bagaikan patung, atau saat gadis itu menatapnya dengan mata berkaca. Atau saat gadis itu berteriak histeris karena bayang masa lalunya. Saat Hyerin memukulnya di hadapan orang-orang.

Ia ... benar-benar sudah gila terhadap Hyerin.

"Kenapa kau melakukannya?" Ren tak berbalik, namun pertanyaannya tadi tentulah ia tujukan untuk Taejin.

Taejin hanya terdiam. Ia hanya mampu berdiri mematung di sisi pojok ruangan lainnya, bertolakbelakang dengan posisi Ren saat ini.

Tak mendapat jawaban, Ren memilih untuk berbalik dan berjalan ke arah Taejin. Langkahnya pelan, tapi penuh ancaman. Matanya tak lagi seramah tadiーdan mungkin bagi orang awam, mereka pasti akan menganggap Ren seorang pembunuh.

Taejin sekarang lebih mirip dengan sebuah patung. Ia hanya berdiri diam di sana, seakan tak melakukan apapun. Matanya menatap nanar jasad Hyerin yang telah terpisah dari roh, dan hanya satu nama yang terus terlintas dalam pikirannya.

Azusa.

Ia terus memanggil nama itu, dalam otaknya. Berharap ia mampu membangunkan gadis cantik itu dari tidurnya.

Tapi sayangnya, Taejin takkan berhasil melakukannya.

Tanpa sadar, seseorang menarik kerah bajunya, lalu melemparnya ke sisi lain ruangan besar itu.

"Kau ... ORANG GILA!" teriak Ren dengan tatapan membunuh. Namun yang ditatap tetap diam tak bergeming, tetap memusatkan pandangannya pada jasad itu.

A ... zu ... sa.

Bugh!

Pipi kirinya lagi-lagi ditinju Ren. Ren nampaknya sudah kalap. Ia tak lagi menahan setan untuk menguasai tubuhnya. Yang ia lakukan sekarang adalah memukul tubuh pemuda itu tanpa ampun, ingin membuatnya mati di tempat saat itu juga.

Bugh!

Bugh!

Ia tak peduli seberapa banyak pukulan yang ia lakukan, Ren tampak dibutakan oleh itu. Dukanya kehilangan Hyerin seakan menguasai tubuh dan pikirannya.

Azusa.

Azusa.

Azusa. Azusa!

Sedangkan Taejin, matanya tak terlepas sedetik pun pada tubuh itu. Tak peduli sesakit apa yang ia rasakan pada tubuhnya, ia tetap memanggil nama itu dalam otaknya.

"Kau sepantasnya mati, SAMPAH!" Ren melempar tubuh Taejin tanpa rasa kemanusiaan, membuat tubuhnya terpental tepat ke depan pintu.

Taejin sudah sekarat. Wajahnya penuh bengkak dan lebam. Perutnya terasa melilit parah, pandangannya mengabur dan kepalanya seakan dibelah oleh kapak besar. Semua sudut tubuhnya terasa begitu nyeri menyiksa.

Lagi, Ren mendekat ke arahnya. Namun Taejin hanya mampu menatap wajah pemuda itu, tak melontarkan sepatah kata pun.

Ren memasukkan sebuah peluru ke pistol yang digenggamnya. Itu adalah pistol Taejin yang sempat ia gunakan untuk menembak Hyerin. Tak lama setelah itu, ia menodongkan pistolnya tepat ke dada kiri Taejin, tepat di posisi jantung.

"Sekarang, bagaimana jika kita tukar posisi? Kau sudah banyak membunuh hari ini. Biarkan aku melakukannya sekali," ucap Ren seraya menyeringai lebar. Taejin tetap diam bagaikan boneka, tak bergerak seinci pun.

A ... zu ... sa!

DOR!

Mata Taejin terbelalak lebar. Sedangkan Ren tersenyum puas akan hasil kerjanya. Dada kiri Taejin kini dipenuhi darah, dan ... tubuh pemuda itu pun telah diambil nyawanya oleh Yang Maha Kuasa.

Ren berpikir semua ini berakhir. Kasus Dongjin, Hyerin, dan kini kakaknya.

Namun ia lupa satu hal; bagaimana pun, Hyerin adalah seorang silent reader.

Ia tak menyadari bahwa di pojok ruangan, di belakang tubuhnya, seorang gadis menatap pungunggnya dengan mata merah pekat bagaikan darah.

"Apa kau baru saja memanggilku?"

***

Ten Chapters in MysteryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang