CHAPTER VI

46 15 6
                                    

Belum lama saat aku kembali ke dunia ini, tiba-tiba aku merasakan aura aneh. Suatu perasaan yang mencengkram hatiku, menggantung berat di udara seperti kabut gelap yang merayap, tak kasatmata namun nyata. Setiap detik yang berlalu memperdalam perasaan tidak nyaman itu, membuat kulitku meremang tanpa sebab yang jelas.

"Perasaan apa ini, kenapa aku merasa seperti sedang ada yang mengawasiku?" pikirku sambil mengedarkan pandangan ke seisi ruangan. Cahaya temaram dari lilin yang berkedip-kedip di sudut ruangan seakan mempertegas bayangan yang menari-nari di dinding. Ruangan ini, yang sebelumnya terasa aman dengan aroma herbalnya, kini berubah menjadi sesuatu yang asing dan menakutkan.

Aura dingin yang mencekam mulai menjalar dari sudut-sudut ruangan, merayap naik dari lantai menuju ujung langit-langit. Nafasku memburu, dan dalam kepanikan itu, aku mendongak. Di sana, di atas langit-langit, ada sesuatu yang bergerak dengan perlahan. Sebuah bayangan hitam, hampir tak terlihat, seolah menyatu dengan kegelapan di atas sana. Tapi aku tahu itu bukan ilusi. Sesuatu ada di sana, menunggu, mengintai, seperti predator yang siap menerkam mangsanya.

Bayangan itu perlahan-lahan turun, seiring suara aneh yang menggema, pelan namun menusuk, seakan-akan suara itu menggelitik telingaku dengan ribuan jarum dingin. Suara itu lebih dari sekedar bunyi; ia seperti desahan yang berasal dari lubuk paling gelap, suara yang membawa ancaman, sesuatu yang membuat hatiku mencelus ke dalam perut.

Saat bayangan itu semakin dekat, aku akhirnya bisa melihatnya dengan jelas. Sesosok makhluk hitam dengan mata merah menyala, terapung di atas langit-langit, sebelum akhirnya turun ke hadapanku. Tatapannya dingin, memancarkan kebencian dan kekuatan yang tak terlukiskan. Wujudnya seperti sesuatu dari mimpi buruk, tidak menyerupai apapun yang pernah kulihat, dan semakin ia mendekat, semakin kuat rasa takut yang mencengkeramku.

Seumur hidup, aku belum pernah merasakan ketakutan seperti ini. Bukan hanya ketakutan biasa, tapi ketakutan yang mencekik, membuat tubuhku mati rasa dan pikiranku membeku. Badanku seakan tidak lagi berada dalam kendaliku. Aku hanya bisa berdiri terpaku, tidak mampu mengalihkan pandangan dari makhluk itu yang kini hanya berjarak beberapa langkah dariku.

Makhluk itu semakin dekat, langkah-langkahnya berat, seolah-olah udara di sekitarnya mengental, memperlambat waktu. Ketika ia akhirnya berada tepat di hadapanku, aku mencoba untuk bergerak, untuk berlari, tapi tubuhku menolak. Hanya ada dingin yang menjalari tulang-tulangku, membuat seluruh tubuhku menggigil tanpa henti.

"Bergeraklah... bergeraklah... bergeraklah!" Aku terus merapalkan mantra itu dalam hatiku, mencoba menembus rasa takut yang melumpuhkanku. Tapi mantra itu seakan tidak mempan, tubuhku masih kaku, terperangkap dalam ketakutan yang tak tertahankan. Mata merah menyala dari makhluk itu menatapku tanpa belas kasihan, dan tangan dinginnya perlahan terulur, hampir menyentuh wajahku.

 Mata merah menyala dari makhluk itu menatapku tanpa belas kasihan, dan tangan dinginnya perlahan terulur, hampir menyentuh wajahku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sc gambar: pinterest

Ketika jarak antara kami hanya tinggal beberapa inci, sebuah kekuatan yang tidak kumengerti tiba-tiba muncul. Dengan segenap sisa keberanianku, aku memaksa tubuhku untuk bergerak. Keringat dingin bercucuran di dahiku saat akhirnya aku berhasil mundur, menjauhi makhluk itu. Nafasku tersengal, dadaku naik turun, dan ketakutan itu masih menguasai setiap inci dari kesadaranku.

Makhluk itu terdiam sejenak, mata merahnya menatapku tajam, seolah-olah mempertimbangkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Lalu, tanpa peringatan, ia menghilang begitu saja. Tapi aku tahu, dia belum pergi. Aku mencari-cari keberadaannya dengan panik, dan saat itu aku menyadari bahwa dia ada di belakangku.

"Kau bukan dari dunia ini, kan?" Suara berat dan pelan itu menelusup masuk ke dalam telingaku, setiap kata yang diucapkannya seolah membawa hawa dingin yang mematikan, membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Suara itu bukan hanya menakutkan, tapi juga membuatku merasa kecil dan tak berdaya di hadapannya.

Tepat saat makhluk itu berbisik di telingaku, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Cahaya dari luar menerobos masuk, membanjiri ruangan dengan kehangatan yang tiba-tiba terasa sangat asing. "Apa ini, ternyata kau sudah bangun, Avis?" Ucap kakek tua yang kemarin merawatku. Dia datang bersama Tuan Putri, yang kali ini membawa sesuatu di tangannya.

"Ada apa denganmu? Kau terlihat pucat," ujar Tuan Putri, menyela lamunanku. Dia mendekat menyodorkan sesuatu yang dia bawa, sebuah cangkir kecil yang mengeluarkan uap tipis dari isinya. "Minumlah ini, ramuan untuk memulihkan tenagamu."

Tanganku yang gemetar mencoba meraih cangkir itu. Sambil menyesap cairan hangat yang sedikit pahit, aku berusaha mengendalikan diriku. Namun, pikiranku terus berkutat pada makhluk hitam tadi. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah itu bagian dari dunia ini? Atau mungkin... sebuah peringatan?

"Ramuan itu tidak hanya membantu memulihkan tenagamu, tapi juga membantu menutup lukamu dengan lebih cepat," ucap kakek itu.

Aku hanya mengangguk, setengah mendengarkan kata-katanya. Kepalaku masih dipenuhi dengan kejadian yang baru saja berlalu. Suara berat itu, pertanyaannya yang menusuk, "Kau bukan dari dunia ini, kan?" Apakah itu berarti dia tahu? Apakah semua orang di dunia ini tahu bahwa aku tidak seharusnya ada di sini?

"Bagaimana kondisimu sekarang?" tanya Tuan Putri, nadanya lembut, namun matanya menyiratkan kekhawatiran yang nyata.

"Lebih baik," jawabku singkat, menjaga suara tetap tenang. Tapi bayangan makhluk itu terus menghantui pikiranku, membuatku sulit untuk benar-benar fokus pada percakapan ini. Aku ingin menanyakannya, namun bibirku terasa kaku, seolah takut bahwa mengungkapkan apa yang kulihat tadi akan memanggilnya kembali.

"Baguslah kalau begitu," ucap kakek tua itu, sambil mengangguk puas. "Jika kau sudah merasa lebih baik, mungkin kau sudah bisa berjalan-jalan di luar, melihat-lihat desa kami."

"Desa?" tanyaku, mencoba mengalihkan pikiranku dari kengerian tadi.

"Ya, desa kecil di pinggir hutan ini," jawab Tuan Putri. "Tempat ini juga termasuk ke wilayah kekuasan ayahku, meskipun hanya sedikit orang yang tinggal disini, tapi desa ini cukup damai dan nyaman," dia kembali mengoceh seperti anak kecil yang sedang bercerita.

Perlahan aku merasa tenang dengan percakapan mereka. Namun rasa tenang itu ternyata hanya sesaat. Sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, tiba-tiba ada getaran halus di lantai, seperti ada sesuatu yang besar bergerak.

"Ada apa ini?" Tuan Putri berbisik, nadanya menggambarkan kekhawatiran yang mendalam. Tapi sebelum ada yang bisa menjawab, getaran itu semakin kuat, membuat dinding-dinding batu berderak dan debu beterbangan dari langit-langit.

"Ahhh!" Tiba-tiba terdengar suara teriakan dari luar.



Bersambung....






Halo gaes, kembali lagi dengan author pemula ini wkwk. Gimana kabar kalian selama seminggu ini? Semoga sehat dan bahagia terus ya! Btw musuh utama di cerita ini udah author munculin nih gaes, gimana tanggapan kalian? Kasih tau di komen ya... jangan lupa vote juga biar author makin semangat nulisnya!!!!!

OneironautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang