CHAPTER VIII

32 13 6
                                    

Tepat sebelum kami berangkat, Komandan Kassor menghampiri dengan membawa sesuatu yang tampak berat di tangannya.

"Aku membawakanmu baju tempur yang sama seperti yang dipakai olehku dan prajurit lainnya. Pakailah, kau juga harus ikut andil untuk melindungi Tuan Putri," ucap Komandan Kassor, sambil menyodorkan baju tempur itu padaku.

Aku meraba baju tempur tersebut; terasa kuat, namun tidak terlalu berat—ideal untuk pertempuran cepat.

"Aku tidak tahu kau ahli dalam senjata apa, jadi aku membawakanmu pedang Lethrul dan busur Varasor. Pedang ini sama seperti yang dipakai oleh Davat. Cukup ringan tapi sangat tajam—bisa memotong apapun. Sedangkan busur ini, sangat fleksibel dan tidak bisa patah. Anak panahnya juga sangat tajam; ia pernah menusukmu waktu pertama kali kita bertemu. Sekarang pilihlah dengan bijak," tutur Komandan Kassor, matanya menatapku serius.

 Sekarang pilihlah dengan bijak," tutur Komandan Kassor, matanya menatapku serius

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sc gambar: pinterest


Aku mengangguk, merasa diberi tanggung jawab besar. "Kurasa aku akan memilih pedang ini, terima kasih, Komandan," ucapku, sambil mengambil pedang Lethrul. Beratnya pas di tangan, terasa alami seolah dibuat untukku. Setelah mengenakan baju tempur, kami pun bersiap untuk berangkat.

"Baiklah, sekarang mari kita berangkat," aku menginstruksikan.

"Aku akan mengambil ini," tiba-tiba Tuan Putri berkata sambil mengambil busur Varasor dari tangan Komandan Kassor. "Aku juga ingin melindungi diriku sendiri."

Komandan Kassor menatapnya sejenak, sebelum akhirnya tersenyum bangga dan mengangguk. "Busur itu ada di tangan yang tepat."

~~~

Perjalanan pun dimulai. Kami menyusuri hutan untuk menemukan rumah raksasa. Entah hanya perasaanku atau memang hutan ini memiliki aura yang berbeda—misterius dan penuh teka-teki. Aku tahu ini bukan pertama kalinya aku berada di hutan ini, tapi kali ini terasa lebih intens. Pohon-pohon tinggi menjulang dengan cabang-cabang yang tampak hidup, sementara suara-suara aneh menggema di antara pepohonan, membuat setiap langkah terasa waspada.

Aku beberapa kali dikejutkan oleh berbagai makhluk yang belum pernah kulihat sebelumnya. Salah satu yang membuatku takjub adalah seekor hewan berbulu tebal dengan tanduk bercabang yang tampak seperti campuran antara rusa, kuda, dan serigala. Hewan itu mengintip dari balik pepohonan dengan mata cemerlang, lalu melesat pergi secepat kilat, nyaris seperti bayangan.

 Hewan itu mengintip dari balik pepohonan dengan mata cemerlang, lalu melesat pergi secepat kilat, nyaris seperti bayangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku berhenti sejenak, menatap dengan takjub. "Apa itu tadi?" gumamku, masih tertegun oleh keanehan yang baru kusaksikan.

"Itu hanya sejenis 'Firvulf', makhluk yang sering berkeliaran di sini," jelas Gael dengan nada yang sedikit sombong, seolah dia sudah lama mengenal makhluk itu.

"Mereka jinak, tapi sangat gesit," tambah Almos, berusaha menunjukkan bahwa ia juga tahu banyak tentang makhluk tersebut.

Aku hanya mengangguk, masih terpesona oleh pemandangan aneh yang baru kulihat. Hutan ini, meskipun gelap dan dipenuhi bayangan, menyimpan keindahan yang aneh sekaligus menakutkan.

"Ngomong-ngomong, pria telanjang," Almos tiba-tiba memulai pembicaraan dengan nada canda, "kau cukup bernyali juga ya mengajak interaksi raksasa bongsor seperti dia."

Sebelum aku sempat menjawab, raksasa itu melirik Almos dengan tatapan tajam, disertai geraman pelan yang membuat bulu kudukku meremang. Almos menelan ludah dan dengan cepat mengubah nada bicaranya.

"Eh anu, maksudku... kau cukup berani berinteraksi dengan raksasa gagah sepertinya," ucapnya dengan tawa konyol, sambil melirik raksasa itu untuk memastikan dia tidak marah.

Raksasa itu terlihat setuju dengan pernyataan yang sudah diperhalus oleh Almos, mengangguk dengan tenang.

Aku tersenyum kecil, "Yah, aku hanya berpikir bahwa ada cara lain untuk menyelesaikan amukannya tanpa perlu bertarung dengannya," jawabku sambil melirik raksasa itu. "Kurasa... dia memang hanya sedikit shock dan kebingungan. Aku bisa melihat itu dari matanya."

Raksasa itu kembali melirik ke arahku, dan untuk sesaat, aku bersumpah melihatnya tersenyum sebelum dia memalingkan kembali wajahnya.

"Pria telanjang, kau keren!" ujar Almos dan Gael bersamaan, mata mereka penuh kekaguman.

Aku mendengus dan menggeleng, "Berhenti memanggilku pria telanjang!"

"Oh, iya, maksud kami... kau keren," ujar Gael dengan canggung sambil menggaruk kepalanya, lalu menambahkan, "Eh anu... tadi siapa namamu?"

"Namaku Avis," jawabku singkat, mencoba menahan tawa melihat tingkah mereka.

"Yah, benar, Avis!" Almos menyahut cepat, "Aku sudah tahu namanya, tidak sepertimu Gael."

Gael mendengus, "Hei, aku juga tahu namanya! Kau hanya sok tahu."

Mereka pun mulai berdebat soal hal-hal remeh, sementara aku hanya bisa menggeleng sambil tersenyum kecil. Perdebatan mereka yang konyol justru membawa tawa di tengah hutan yang setengah menyeramkan ini, membuat suasana terasa sedikit lebih ringan—tepat sebelum Davat, yang memimpin jalan, tiba-tiba berhenti.

"Hei raksasa, apakah yang didepan itu rumahmu?" tanyanya, matanya tertuju ke arah sebuah gua besar yang diselimuti dengan pohon lebat di kejauhan.

Bersambung....






Halo haloo, cerita terakhir minggu ini udah selesai di upload ya... Jangan bosen buat nunggu cerita2 selanjutnya. Vote dan komen juga biar author makin semangat nulisnya, oke?!! (Jawab oke😡🫵) :v

Sampai ketemu lagi di minggu depan✍️👋

OneironautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang