CHAPTER I

64 18 1
                                    

Aku terbangun dengan napas terengah-engah, seolah baru saja melarikan diri dari mimpi buruk. Tanganku otomatis memegang sisi kiri pinggangku, tempat di mana anak panah dalam mimpi itu menembus dagingku. Rasa sakitnya masih terasa, membekas di benakku.

"Apa-apaan mimpi barusan itu." Aku menggerutu, masih merasa terguncang. Keringat dingin membasahi dahiku, dan aku hanya bisa berbaring dengan mata menatap langit-langit kamar, mencoba mengusir kegelisahan yang terus merayap.

Aku kembali membaringkan tubuh di atas ranjang, berharap bisa tertidur lagi dan melarikan diri ke mimpi yang lebih damai. Tapi waktu berlalu begitu lambat, dan kesadaran menolak pergi. Setiap kali aku menutup mata, bayangan pohon-pohon tinggi dan rasa sakit yang menusuk itu kembali menghantuiku.

"Aaargghh, sialan, gara-gara mimpi aneh itu, aku jadi tidak bisa tertidur," keluhku sambil meremas bantal dengan frustrasi.

"Aaargghh, sialan, gara-gara mimpi aneh itu, aku jadi tidak bisa tertidur," keluhku sambil meremas bantal dengan frustrasi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sc gambar: pinterest

Pagi hari yang membosankan lainnya pun tiba. Aku bergegas, bersiap pergi ke kantor, tempat di mana aku bertemu dengan sesama budak korporat. Kami semua tunduk pada seorang monster yang kami panggil bos—seorang pria yang tak pernah puas, dengan tatapan yang dingin seperti es. Bagian terbaik dari hari-hariku selalu saat jam pulang tiba.

"Aah, akhirnya pekerjaanku hari ini selesai. Saatnya kembali pada kekasihku yang setia, sang ranjang," gumamku dengan senyum lelah, membayangkan betapa nyaman rasanya nanti saat aku kembali ke rumah.

Namun, kesenangan itu hanya sesaat. Suara berat yang sangat aku kenal memecahkan kebahagiaanku, suaranya seolah merayap ke dalam tulangku seperti dinginnya malam yang panjang.

"Avis, hari ini kamu lembur." Suaranya pelan tapi penuh tekanan, seperti racun yang perlahan merasuki tubuhku.

Aku, seorang budak korporat yang setia, tentu saja hanya bisa tunduk dan mengangguk. Dengan wajah lesu, aku kembali ke meja kerjaku dan melanjutkan pekerjaan yang seakan tak ada habisnya. Hidupku yang membosankan kini menjadi lebih buruk dengan tambahan jam kerja yang menyiksa.

"Sial, bosku yang licik pasti sekarang sedang tidur dengan nyaman di rumahnya," gumamku, menghela napas panjang sambil meletakkan tugas-tugas terakhir di mejanya. Mataku terasa berat, dan tubuhku hampir tak kuat berdiri.

Setelah apa yang terasa seperti seabad, aku akhirnya kembali ke apartemenku yang kecil. Tanpa pikir panjang, aku menjatuhkan diriku ke atas ranjang, masih mengenakan kaos kaki dan dasi. Kelelahan segera menyeretku ke dalam tidur yang gelap dan tanpa mimpi.

Namun, rasanya belum lama aku tertidur ketika aku terbangun oleh suara-suara asing. Telingaku menangkap gumaman dan obrolan, seperti ada sekelompok orang di dalam kamarku.

"Apa-apaan ini? Kenapa seperti ada beberapa orang yang bicara di kamarku?" Aku bergumam, setengah sadar. Tubuhku terasa berat dan mataku masih kabur. "Aargh, kenapa pinggang kiriku terasa sakit...?"

"Kau sudah siuman, pemuda telanjang?" Suara yang familiar dan penuh ejekan itu terdengar, membangkitkan kenangan akan mimpi aneh yang kualami tadi malam.

Aku hanya terdiam, masih berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi. Belum sempat aku mencerna situasi, ia kembali bertanya, memecah lamunanku.

"Dari mana asalmu? Kenapa kau bisa telanjang di tengah hutan?" tanya pria kekar itu, suaranya penuh rasa ingin tahu namun tetap berhati-hati.

"Hah! Sialan, apakah ini lanjutan dari mimpi kemarin?! Apa-apaan ini!" Teriakku kesal, mengabaikan rasa sakit dari luka di pinggangku dan pertanyaan dari pria kekar itu. Semuanya terasa begitu nyata, tapi juga begitu absurd.

Pria kekar itu menghela napas panjang, tampak berpikir sejenak sebelum berkata, "Sepertinya dia hanya pria gila yang datang entah dari mana. Yang Mulia memang sangat baik hati, bahkan untuk pria gila sepertinya pun harus mendapatkan pengobatan yang layak."

Ia berdiri dan mulai beranjak keluar dari ruangan, meninggalkan aku dalam keadaan bingung.

Pemuda lain yang ada di ruangan itu, tampaknya seumuran denganku, menatap kepergian pria kekar itu dengan senyum tipis. "Sepertinya Komandan cukup kesal karena pelatihannya untuk Putri kemarin harus diakhiri gara-gara pria gila ini," gumamnya, tidak sepenuhnya mengabaikan kehadiranku.

"Jujur saja, kau sebenarnya senang, bukan, Almos? Berkat pemuda ini, kita tidak perlu ikut ke hutan yang mengerikan itu untuk menemani Tuan Putri berlatih dengan Komandan. Hahaha," ujar seorang pemuda lain yang berdiri di sampingnya. Tawa kecilnya terdengar di antara desahan kepuasan.

"Kau benar, Gael. Jujur saja, pemuda gila ini terlihat seperti malaikat di mataku," jawab Almos sambil terkekeh.

"Kalian ini benar-benar kesatria yang payah. Sudahlah, pergi kalian, jangan membuat pasienku ini semakin sakit karena ocehan kalian," kata seorang pria tua dengan wajah ramah, yang sejak tadi sibuk merawat lukaku.

Kedua pemuda itu akhirnya pergi, meski dengan raut wajah yang mencampur aduk antara jengkel dan bersalah.

"Bagaimana keadaanmu sekarang? Aku harap obat yang aku oleskan pada lukamu bekerja dengan baik," ucap pria tua itu sambil membuka perban yang melilit pinggangku.

Aku meringis kesakitan saat perban dilepas, tapi mencoba menahannya. "Arrghh."

"Bertahanlah, luka tusukanmu ini cukup dalam, jadi wajar saja jika kau merasa sakit," katanya lembut sambil mengoleskan ramuan beraroma tajam ke luka yang masih merah. "Tapi sebenarnya dari mana asalmu, anak muda? Kenapa kau bisa berada di hutan?"

Aku hanya diam, mataku terus menatap ke arah pria tua itu tanpa memberikan jawaban. Kepalaku penuh dengan pertanyaan yang tak terjawab.

Pria tua itu menatapku sejenak sebelum berkata, "Baiklah, sekarang kau bisa beristirahat kembali. Tapi sebelum itu, beri tahu namamu. Aku telah berjasa mengobati lukamu, jadi setidaknya kau harus berterima kasih dengan memberitahuku namamu."

Aku menatapnya, lalu setelah beberapa detik, akhirnya berbicara, "Avis... Namaku Avis."

Pria tua itu berhenti sejenak, senyum tipis muncul di wajahnya. "Baiklah, Avis. Kembalilah beristirahat," katanya sebelum beranjak pergi.

Berasambung....






Hallo readers, gimana nih ceritanya, bagus gk? Tinggalin jejak kalian di komen ya. Jangan lupa vote juga biar author makin semangat lanjutin ceritanya, oke. Sesuai janji author, masih ada chapter lanjutannya loh, yok lanjut lagi bacanya....

OneironautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang