CHAPTER IX

30 11 7
                                    

Sc gambar: pinterest

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sc gambar: pinterest

"Rumah...!" Raksasa itu berlari kegirangan, hampir menginjak Almos dan Gael yang berada di depannya.

"Hei, hati-hati, dasar makhluk bongsor! Kau hampir menginjak kami!" Gael mengomel, tetapi raksasa itu terlalu bahagia untuk mendengarnya.

Setelah berjam-jam menyusuri hutan, bertemu dengan makhluk-makhluk yang belum pernah kulihat sebelumnya, akhirnya kami menemukan rumah raksasa itu—sebuah gua besar yang tersembunyi di antara pepohonan lebat. Suasana di sekitarnya terasa damai, hampir ajaib.

"Akhirnya kita berhasil mengantarkannya pulang," Tuan Putri menghela napas lega. "Syukurlah, tidak ada hal buruk yang terjadi kepada kita di perjalanan."

Aku mengangguk, merasakan kelegaan yang sama. Namun, di dalam diriku, masih ada perasaan cemas yang tidak bisa kuabaikan.

"Tuan Putri, apakah Anda baik-baik saja?" tanya Davat dengan nada penuh perhatian. "Yang Mulia, kita harus segera kembali sebelum hari semakin gelap. Hutan ini bisa menjadi sangat berbahaya di malam hari."

"Tuan Davat benar. Akan sulit menemukan jalan pulang jika hari semakin gelap," kakek tua menambahkan dengan suara tenang namun serius.

Tuan Putri mengangguk. "Baiklah, setelah kita beristirahat sebentar, kita akan langsung pulang."

Almos dan Gael, yang tampak kelelahan, tiba-tiba kembali ceria.

"Akhirnya, kita akan meninggalkan hutan ini! Kupikir hutan ini sangat mengerikan, tetapi ternyata tidak ada yang perlu dikhawatirkan jika bersama Tuan Almos yang gagah!" Almos tertawa dengan percaya diri.

Tingkah konyol mereka memberikan sedikit keceriaan di tengah kelelahan kami. Namun, kebahagiaan itu tampaknya menarik sesuatu yang tidak diinginkan.

"Perasaan aneh apa ini..." Davat berkata pelan, dengan nada penuh kewaspadaan.

Tiba-tiba, terdengar auman yang bergema dari segala penjuru. Bukan dari raksasa, auman itu... berbeda—lebih liar dan mengancam.

"Firvulf!" Davat melompat, melindungi Tuan Putri dengan pedangnya. Suara pedang beradu dengan daging terdengar jelas saat dia menebas makhluk yang menerjang.

"Apa ini? Mengapa Firvulf menyerang kita?" Almos berteriak, matanya melebar karena kaget.

"Tidak mungkin..." kakek tua bergumam, tampak bingung. "Bu-bukankah Firvulf biasanya jinak?!"

Dengan kejadian yang tidak terduga ini, aku hanya bisa bersyukur bahwa Davat telah menyelamatkan Tuan Putri. Namun, kebingungan segera digantikan oleh ancaman yang semakin nyata.

"Lihat sekeliling! Mereka datang dari segala arah!" Davat berteriak, mengarahkan pandangannya kepada kami.

Pertarungan yang tak terhindarkan pun dimulai. Firvulf, yang katanya jinak, sekarang menjadi buas dan haus darah. Kami dikepung, dan setiap orang harus bertarung untuk bertahan hidup. Aku mencabut pedangku, merasakan senjata yang belum pernah kugunakan dalam pertempuran nyata.

Gael dan Almos, meskipun tampak ketakutan, mengeluarkan senjata mereka. Tuan Putri mengangkat busurnya, siap untuk bertarung, sementara kakek tua berlindung di belakang kami, mempersiapkan diri untuk memberikan bantuan jika diperlukan.

"Kalian berhati-hatilah, para Firvulf itu sangat cepat," kakek tua memperingatkan, suaranya bergetar.

Kami membentuk lingkaran tanpa disengaja, untuk melindungi diri dari serangan yang datang dari segala arah. Firvulf-firvulf itu sangat cepat, menerjang tanpa henti, membuat kami kewalahan.

"Awas!" Tuan Putri berteriak saat melihat tiga Firvulf melompat ke arahku. Aku menutup mata, bersiap menerima serangan.

Tanah tiba-tiba bergetar. Saat aku membuka mata, Firvulf-firvulf yang menyerangku terkapar di tanah, dihancurkan oleh raksasa yang tiba-tiba bergerak membantu.

"Bagus sekali, raksasa!" Almos berseru, menatap dengan kagum.

Davat, terkejut sejenak, kemudian berteriak, "Serang!"

Pertarungan berlanjut lebih sengit, kali ini dengan bantuan raksasa di pihak kami. Aku menghunus pedangku, merasakan adrenalin yang membanjiri tubuhku. Davat dan yang lain berjuang mati-matian, sementara aku mencoba bertahan dengan serangan-serangan yang serampangan.

Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Aku mulai menikmati pertempuran ini, menikmati sensasi ketika pedangku menebas para Firvulf. Ini bukan hanya pertarungan untuk bertahan hidup—ini adalah ujian yang menguji batas kemampuanku.

Di sisi lain, Almos dan Gael sesekali membantuku. Mereka melakukan serangan yang terlihat asal-asalan, namun entah bagaimana serangan mereka efektif dan berhasil menumbangkan para Firvulf.

Di tengah pertempuran, aku melihat Firvulf lain melompat ke arah Tuan Putri. Mereka terlalu cepat, dan aku tahu aku tidak akan sempat menghalaunya.

Namun, Davat lagi-lagi menyelamatkan Tuan Putri dengan tebasan yang cepat dan presisi.

"Yang Mulia, Anda tidak apa-apa?" tanya Davat, suaranya penuh kekhawatiran. Tapi, dia menurunkan kewaspadaannya terlalu cepat.

Firvulf terakhir melompat ke arah mereka, tetapi kali ini, aku bergerak tepat waktu dan menebasnya.

"Cih, aku tidak memerlukan bantuanmu," Davat berkata dengan nada sinis, meskipun ada senyuman tipis di wajahnya.

Dengan tebasan terakhir itu, pertarungan akhirnya berakhir. Kami semua terengah-engah, tubuh kami dipenuhi luka dan keringat, tetapi kami berhasil bertahan.

"Kalian berhasil," Kakek tua tadi berkata dengan lega, ia mengeluarkan beberapa ramuan yang dibawanya. "Minumlah, ini akan memulihkan stamina kalian."

Setelah kakek tua itu memberikan ramuannya, dia memeriksa salah satu bangkai Firvulf yang berhasil kami kalahkan.

Dia tampak kaget, lalu memeriksa bangkai-bangkai Firvulf lainnya.

"Firvulf-firvulf ini... kenapa mata mereka merah?"



Bersambung....







Yoooo, setelah seminggu yg serasa kayak seabad ini, akhirnya author balik lagi, tentunya dengan chapter baru yg lebih menegangkan (setidaknya untuk pandangan author wkwk). Gimana nih menurut kalian chapter kali ini? Semoga kalian suka ya!! Jangan lupa vote dan komen, biar author semangat lanjutin ceritanya....

OneironautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang