CHAPTER VII

34 14 9
                                    

Di tengah keributan, Davat tiba-tiba muncul memasuki ruangan, menarik Tuan Putri dengan cemas. "Tuan Putri, kita harus bergegas dari sini," ucapnya, nada suaranya tegang. Tanpa ragu, Tuan Putri mengikutinya sambil mengisyaratkan kami untuk ikut bergegas. Aku, yang bingung dengan apa yang terjadi, hanya bisa mengikuti mereka. Kakek tua yang merawatku juga segera menyusul.

Saat kami berhasil keluar dari ruangan, suara gemuruh yang menggelegar menghentikan langkah kami. Di tengah keramaian penduduk desa, banyak di antara mereka berseragam sama seperti Davat, membentuk barisan pertahanan. Ketika aku menoleh, pandanganku tertuju pada sesuatu yang seharusnya tidak ada—sesuatu yang menantang semua logika dan membuat darahku membeku.

"Ma-makhluk apa itu?" ucapku terbata-bata.

"Raksasa hutan! Bagaimana dia bisa masuk ke pemukiman?" Pria kekar yang familiar, Komandan Kassor, menjawab dengan nada tegang.

"Dia sudah membuat kekacauan, tidak ada pilihan lain. Aku akan menghabisinya sekarang," ucap Davat sambil menghunuskan pedangnya. Aura tegas dan tak tergoyahkan terpancar dari dirinya.

Komandan Kassor segera mengambil alih perintah. "Amankan semua penduduk!" Teriaknya kepada para prajurit yang tadi membentuk barisan pertahanan. "Davat, aku serahkan makhluk itu padamu. Aku akan melindungi Tuan Putri di sini."

Aku menelan ludah, membayangkan makhluk yang rasanya mustahil ada, kini mengamuk tepat di depan mataku. Namun, ada sesuatu yang aneh. Mata raksasa itu tidak memancarkan kebencian atau amarah, melainkan kebingungan, seolah-olah ia tersesat di tempat yang tidak seharusnya.

"Tunggu sebentar!" Aku berteriak, menghentikan Davat yang bersiap menyerang.

Raksasa itu, dengan tubuhnya yang besar, memang tampak mengamuk, menghancurkan rumah-rumah penduduk dengan tangannya yang besar dan kuat. Namun, semakin lama aku memperhatikannya, semakin jelas bagiku bahwa ada yang tidak biasa. Matanya tidak menunjukkan kemarahan atau kebencian, tetapi rasa kehilangan—seperti sedang mencari sesuatu yang penting.

"Dia tidak mengamuk tanpa tujuan. Dia mencari sesuatu," aku bergumam, lebih kepada diriku sendiri daripada kepada orang lain.

"Apa maksudmu, Avis?" Tuan Putri bertanya.

Sebelum aku sempat menjawab, dua pemuda muncul dari arah kerumunan. Mereka adalah Almos dan Gael, berlari tergesa-gesa dengan ekspresi khawatir yang sama.

"Komandan, kami baru selesai mengevakuasi warga. Aku mengevakuasi mereka bahkan sebelum diperintahkan," ucap Almos dengan wajahnya yang polos. "Dan, uh, yah, kupikir si pria telanjang benar. Mungkin raksasa itu hanya lapar?" Almos berspekulasi, suaranya penuh keraguan, sulit membedakan apakah dia serius atau bercanda, meskipun jelas ini bukan waktu yang tepat.

Pria lainnya, Gael, menggeleng. "Tidak, dia jelas-jelas tidak lapar! Tapi... entahlah, mungkin dia haus?" katanya sambil menggaruk kepala, tampak bingung dengan pernyataannya sendiri.

Davat memotong, "Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi! Makhluk ini berbahaya, dan kita harus menghentikannya sebelum lebih banyak yang terluka!" Suaranya semakin tegas, menandakan bahwa kesabarannya hampir habis.

Aku menatap mereka semua, terutama Davat yang sudah siap bertarung. "Aku akan mencoba berkomunikasi dengannya," ucapku dengan suara tegas, meski dalam hatiku aku merasa ragu.

"Berkomunikasi dengannya? Jangan konyol!" Davat menghardik, suaranya sarat dengan ketidakpercayaan. "Raksasa hutan adalah makhluk bodoh, tidak mungkin bisa diajak bicara! Sekarang menyingkirlah, biar aku yang menanganinya!"

Komandan Kassor mengangguk setuju. "Davat benar. Kita tidak bisa mengambil risiko ini. Raksasa itu bisa menyerang kapan saja."

Namun, aku sudah memutuskan. "Aku tetap akan mencobanya," jawabku tegas sebelum berlari menuju raksasa itu, mengabaikan teriakan Tuan Putri yang memanggil namaku.

OneironautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang