CHAPTER X

23 10 5
                                    

"Mata merah? Firvulf biasanya memiliki mata berwarna hijau lembut, tanda bahwa mereka adalah makhluk yang damai. Apa mungkin ini spesies baru?" Davat berbicara dengan nada heran, suaranya penuh dengan kebingungan.

Namun, sebelum ada yang sempat menjawab, bangkai Firvulf-firvulf itu tiba-tiba mengeluarkan asap hitam pekat. Asap itu mengepul dengan cepat, sementara tubuh mereka berubah menjadi hitam dan rapuh, seperti arang yang terbakar habis. Dalam sekejap, tubuh-tubuh itu hancur, terbawa angin yang meniupnya menjadi serpihan kecil.

Aku, yang pertama kali menyaksikan kejadian itu, tidak bisa menahan rasa terkejutku. Tapi, ternyata bukan hanya aku yang terkejut—semua orang di sekitarku tampak sama terkejutnya.

"A-apa-apaan itu?!" Almos tergagap, matanya membesar karena ngeri. "Tabib, kau tahu apa yang terjadi? Mengapa tubuh mereka berubah seperti itu?" tanyanya, mencoba menahan getaran dalam suaranya.

Kakek tua itu hanya bisa menggeleng pelan, wajahnya pucat pasi. "A-aku tidak tahu pasti, tapi mungkin... para Firvulf tadi, mereka dipengaruhi oleh sesuatu. Sesuatu yang..." ucapannya terhenti, tenggorokannya tercekat.

"Sesuatu yang apa?!" Gael bertanya dengan nada mendesak, ada ketakutan dalam suaranya.

"Sesuatu yang jahat," jawab kakek tua itu dengan suara bergetar. "Ini bukan pertanda baik. Kita harus segera melaporkan kejadian ini kepada Raja."

"Kita harus cepat-cepat kembali!" tegas Tuan Putri, suaranya dipenuhi kekhawatiran. "Aku tidak ingin kalian menghadapi bahaya seperti ini lagi."

Davat mengangguk, meski raut wajahnya tetap tegas. "Yang Mulia benar, kita harus kembali. Tapi sekarang sudah terlalu gelap. Sulit untuk mencari jalan pulang dalam kondisi seperti ini. Kita harus menunggu hingga pagi."

"Ma-maksudmu kita harus menunggu dihutan mengerikan ini semalaman? Kau pasti bercanda!" ucap Almos dengan wajah yang panik.

"Tidak ada pilihan lain..." tegas Davat, menimbulkan keheningan ditengah hutan yang hampir sepenuhnya gelap.

"Kerdil... rumah... Ograk..." Suara dalam dan berat raksasa itu memecah keheningan. Kata-katanya sederhana, namun penuh dengan arti. Dia mengisyaratkan kami untuk tinggal di guanya—tempat yang dia sebut sebagai rumah.

"Ograk? Mungkinkah itu namanya?" pikirku. "Maksudmu, kau... Ograk mengizinkan kami tinggal di rumahmu?" tanyaku untuk memastikan, masih terkejut oleh kemurahan hati yang tidak terduga ini.

Raksasa itu mengangguk perlahan. Tidak ada pilihan lain, tanpa ragu, kami mengikuti Ograk yang melangkah pelan menuju guanya.

Ketika kami sampai di depan gua, aku terkejut melihat ukurannya yang besar dan menjulang. Gua itu lebih tinggi daripada dalam, cukup luas untuk satu raksasa seperti Ograk, tapi terlalu kecil jika dia ingin berbagi dengan kami. Namun, Ograk tidak masuk ke dalam. Sebaliknya, dia meminta kami untuk masuk.

"Jika kau membiarkan kami masuk, lalu di mana kau akan tidur?" tanyaku, suara penuh rasa ingin tahu.

Ograk menatap langit dan kemudian menunjuk ke arah bintang-bintang yang mulai bersinar di atas. "Tidur... melihat... bintang..."

Kami semua terdiam, tersentuh oleh kebaikan hati Ograk yang begitu besar. Dia rela tidur di luar hanya untuk memberi kami tempat berlindung.

"Kau sangat baik, Ograk," ucap Almos, suaranya tersendat karena emosi yang menyesakkan dada. "Ka-kau terharu, ya... dasar lemah," kata Gael dengan suara yang juga bergetar, meski dia sendiri terlihat jauh lebih tersentuh.

Ograk tersenyum, sebuah senyuman yang hangat dan tulus.

Tuan Putri menghampiri Ograk, memeluk kakinya yang besar dengan penuh kasih sayang. "Terima kasih," ucapnya lembut, hampir berbisik.

Ograk mengangkat Tuan Putri dengan tangan besarnya, membawa dia ke ketinggian, sehingga mereka bisa melihat langit bersama. Bintang-bintang di langit tampak lebih dekat, lebih terang dari sudut pandang itu.

"Indah..." gumam Ograk, suaranya terdengar seperti bisikan angin malam.

"Kau benar, bintang-bintang terlihat jauh lebih indah dari sini," balas Tuan Putri, suaranya penuh kehangatan.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, Ograk menurunkan Tuan Putri dengan hati-hati dan menyuruh kami masuk ke dalam gua.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, Ograk menurunkan Tuan Putri dengan hati-hati dan menyuruh kami masuk ke dalam gua

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sc gambar: pinterest

Malam perlahan menyelimuti hutan. Semuanya, kecuali aku dan Ograk, sudah berada di dalam gua, mencari kehangatan dan perlindungan. Aku menghampiri Ograk, merasa ada sesuatu yang harus aku katakan.

"Di desa tadi, pasti kau merasa bingung dan kehilangan arah, bukan? Berada di tempat yang asing, jauh dari rumahmu..." kataku, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku tahu rasanya... berada di dunia yang berbeda dari yang aku kenal."

Ograk hanya menatapku, matanya yang besar terlihat lembut, menyiratkan pemahaman yang dalam.

"Apa yang membuatmu bisa tersesat sejauh itu?" tanyaku, akhirnya menanyakan hal yang sudah lama menggangguku.

Ograk menjawab dengan suara yang pelan, hampir seperti gumaman. "Ograk... bermain..."

"Bermain? Dengan siapa?" tanyaku, rasa penasaran semakin menguasai pikiranku.

"Hitam..." jawab Ograk, mengingatkanku akan sesuatu yang mengerikan.

"Hitam? Maksudmu, sesuatu yang hitam? Apakah matanya berwarna merah?" tanyaku, suaraku bergetar, teringat sosok gelap yang pernah aku temui.

"Merah..." jawab Ograk, nadanya penuh kepastian.

Hatiku serasa tenggelam dalam kecemasan yang tak terdefinisi. Apakah semua ini berhubungan dengan entitas hitam yang sempat aku temui? Sosok mengerikan yang penuh dengan aura jahat. Mungkinkah dialah yang membawa Ograk tersesat hingga ke pemukiman? Atau mungkin, dia juga yang menyebabkan para Firvulf menjadi beringas dan tak terkendali? Pikiran itu menggelayut, semakin lama semakin mencekam, membayangkan kembali makhluk hitam dengan mata merahnya yang menyala.

"Kerdil..." suara Ograk memecah lamunanku. "Terima kasih... menemukan... rumah... Ograk..." Dia tersenyum padaku, sebuah senyuman yang penuh ketulusan dan rasa syukur.

Aku membalas senyumannya, merasa hangat di tengah malam yang dingin ini. "Tentu saja, sobat. Aku senang bisa membantumu," kataku dengan tulus.

Percakapan hangat kami mengalihkan pikiranku dari kengerian yang baru saja terjadi. Aku akhirnya berbaring di luar bersama Ograk, merasa aman di sisinya. Kesadaranku perlahan memudar, disertai oleh satu pikiran terakhir yang tiba-tiba muncul: Nama... aku belum tahu nama Tuan Putri. Pertanyaan itu berputar-putar dalam kepalaku hingga akhirnya aku terlelap, meninggalkan segalanya dalam gelap.



Bersambung....







Gimana nih cerita kali ini? Tulis pendapat kalian di komen ya. Jangan lupa vote dan follow biar kalian gk ketinggalan cerita2 selanjutnya...

OneironautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang