Bryan terpekur memandangi kertas-kertas di tangannya.
<<Rrrrr ... rrrr>>
Suara mesin penghancur kertas menggeram perlahan. Suaranya rendah puluhan gunting disaat yang bersamaan memangkas kertas-kertas yang kini terburai di tong sampah. Bryan sibuk memilah dokumen yang harus dibuang. Pria itu baru menarik tumpukan kertas baru ketika ponselnya tiba-tiba berpendar, sebuah pesan dari nomor tak dikenal.
Hi Ko Bryan, ini Lisbeth. Kata Ko Dimas, perusahaan Ko Bryan mau kasih sumbangan buat SLB/B Maitra? Kalau ada yang kurang jelas, bisa hubungi saya via WhatsApp. Terima kasih.
Tanpa berpikir panjang, Bryan menghapus pesan itu. Dia menolak mentah-mentah usul Dimas untuk menjadi donatur SLB.
Dimas gila! Dia pikir duit metik dari pohon?
Bryan kesal melihat Dimas, partner usahanya seenaknya membuang uang ke selokan. Mereka butuh balik modal secepatnya, butuh mendulang cuan selekas mungkin. Sayang, sepertinya Dimas tak mengerti beban yang Bryan pikul.
Pria itu mendecak kesal ketika sadar semestinya dia tidak langsung menghapus pesan itu, seharusnya langsung dia blokir saja. Bagaimana kalau Lisbeth mengejarnya terus untuk meminta sumbangan?
Jika Bryan protes kepada Dimas, dia tahu apa jawaban Dimas.
"Ini Lisbeth! Kita udah temenan dari kecil!"
Bryan menghela napas. Justru karena itu! Sebelum pikirannya berkelana lebih jauh, pria itu bangkit dari kursinya. Dengan langkah panjang, Bryan meninggalkan kantornya.
Deretan meja dan kursi kosong menyambutnya di lantai dasar. Suara lembut Michael Buble menyenandungkan Home, lagu kebangsaan yang selalu diputar menjelang mereka tutup untuk mengusir secara halus para tamu yang masih betah menyeruput boba.
Tanpa sadar Bryan bersenandung, suara Michael Buble yang lembut mendayu melantunkan kerinduan untuk pulang. Pulang? Rumah? Apa itu?
Rasa iri menembus hatinya. Iri kepada mereka yang punya rumah untuk berpulang. Tempat berteduh, bercengkerama atau sekedar menumpahkan keluh kesah.
Setiap kali ada orang bertanya, "Di mana rumahmu?" Bryan butuh waktu untuk menjawab. Bryan butuh waktu menenangkan hati, meyakinkan diri, ini pertanyaan sederhana tentang fakta bukan pertanyaan mengenai jati diri.
Bryan perlahan belajar untuk tidak mempertanyakan esensi rumah. Dia menjawab pertanyaan rumah bukan dengan menggambarkan lokasi tempat hatinya berada, atau sesosok wajah yang pelukannya dia rindukan. Pertanyaan tentang rumah, dijawabnya dengan otak, dengan deretan huruf dan angka. Dia memberi alamat domisili.
Banyak orang puas dengan jawabannya, karena yang mereka cari memang fakta. Hanya Bryan yang berpikir terlalu keras karena dia tahu dia punya bangunan tempat tinggal, tetapi dia tak punya rumah.
Di lantai dasar, matanya menyapu ruangan yang kini kosong. Tak banyak tamu yang sadar, bahwa ketika mereka beranjak pulang, para karyawan masih harus melakukan closing checklist yang memakan waktu. Bryan berjalan menyusuri jejeran kursi yang sudah tertata rapi di atas meja.
"Semua sudah beres, Yu?" tanya Bryan kepada karyawannya yang sibuk mencuci lalu mengeringkan tutup-tutup dari botol sirupsirop.
"Sudah Koh Bos," lapor Ayu.
Bryan mengangguk, pandangannya menyapu lusinan peralatan makan yang sudah dicuci rapi. Tinggal panci besar bekas boba yang masih direndam air sebelum dicuci.
"Kalau sudah kelar pulang aja, Yu. Saya yang beresin." Bryan mengambil spons. Sesaat yang terdengar hanya suara gesekan spons dan panci.
"Jangan, Koh Boss. Saya aja," tolak Ayu panik.
YOU ARE READING
Dunia Lisbeth
RomanceBagi Lisbeth, laki-laki dengar hanya akan membuatnya patah hati. Berkaca dari kegagalan percintaan di antara orang Tuli dan orang dengar yang ia lihat, Lisbeth bertekad hanya sudi membuka hati untuk pria Tuli. Lagi pula, dia sibuk mengejar mimpi mem...