Lisbeth selalu tersenyum ketika berada di Toko Kintan. Deretan toko yang berjejer seolah tak disentuh oleh perubahan zaman. Pedagang Teh Botol dan bakso langganannya masih mangkal di pengkolan. Gelondongan kain yang disusun rapi juga masih sama seperti dulu. Bahkan kipas angin Sanyo tua yang beberapa jerujinya sudah diikat tali rafia hitam masih bertengger manis di meja kasir.
"Kenapa tidak diganti?" Lisbeth bertanya kepada salah satu pegawai yang sudah bekerja lebih dari 20 tahun.
"Kata Non Nala jangan diganti. Masih jalan. Non Nala lebih pelit dari Mak Kintan," keluh si pegawai sembari menata kain.
Lisbeth menggelengkan kepala. Nala, sahabatnya sejak kecil sudah tertular sifat hemat Mak Kintan. Kaki Lisbeth terayun memasuki gudang toko.
Mak, Lisbeth hari ini pindahan.
Dengan dibantu beberapa pegawai, Lisbeth mulai mengangkut beberapa kotak berisi aneka pita, manik-manik dan juga beberapa gelondong kain yang akan dia bawa ke butiknya. Setelah kotak terakhir disusun rapi di mobil pick-up Wim, Lisbeth kembali ke gudang, bersandar di dindingnya.
Ada yang hilang dari gudang dan toko Kintan. Aroma minyak kayu putih yang mengiringi Mak Kintan. Sesaat, Lisbeth melihat sekelebat Mak Kintan yang berjalan mondar-mandir sambil berkacak pinggang.
Sebuah tepukan lembut di pundak Lisbeth, membuat Lisbeth menoleh. Di belakangnya berdiri Nala, dengan rambut ikalnya yang dicepol ke atas.
[Sudah beres?] tanya Nala. Alis Nala terangkat ke atas, ekspresi yang biasa digunakan ketika mengajukan pertanyaan dalam Bisindo.
[Sedikit lagi]
Nala sudah bersamanya sepanjang ingatan Lisbeth. Karena Nala juga Tuli, mereka pergi ke SLB bersama. Bedanya Nala tinggal bersama Mak Kintan.
[Kangen Mak Kintan] ucap Lisbeth. Tangannya membentuk huruf K lalu berpindah ke belakang membentuk cempol, nama isyarat mereka untuk Mak Kintan.
[Kangen dijewer?] goda Nala lalu pura-pura menjewer Lisbeth.
Lisbeth buru-buru mengelak seraya tergelak.
[Mak tak pernah jewer kamu] cibir Lisbeth.
Nala kesayangan Mak Kintan. Hanya Nala yang tertarik belajar sempoa dan mengurus toko. Lisbeth selalu kabur jika Mak Kintan mengeluarkan sempoa. Livi suka melamun ketika diajari. Sementara Liona lebih memilih menghitung kuaci yang masuk ke mulutnya daripada menghitung biji sempoa.
Satu kali, Lisbeth pernah mempergunakan kepintaran Nala untuk keuntungannya. PR Matematika Lisbeth, Nala yang mengerjakan. Hingga suatu hari, apa yang mereka lakukan ketahuan Mak Kintan.
"Lisbeth! Ini siapa yang bikin?" Mak Kintan melempar buku Matematika Lisbeth. Lisbeth hampir mengompol karena ketakutan menyaksikan Mak Kintan berubah menjadi raksasa bermuka merah dengan api berkobar dari kedua kupingnya.
"TANGAN!" bentak Mak Kintan. Lisbeth buru-buru menaruh kedua tangan di punggung melihat Mak Kintan mengeluarkan rotan.
"PR Lisbeth, aku yang bikin, Mak!" Nala tiba-tiba menyeruak maju.
"Aku yang minta Nala bikin PR, Mak." Lisbeth cepat menyodorkan tangannya.
Mak Kintan mengangkat rotannya dan rasa nyeri menjalar di jemari Lisbeth. Gadis itu menggigit bibirnya keras-keras menahan rasa sakit. Berikutnya, ada rasa perih yang makin menjalar diiringi bau tajam obat herbal. Tie Tao Yao Qin. Lisbeth mengerang. Jika kata orang Betadine pedih, mereka belum tahu rasanya dicocol Tie Tao Yao Qin! Bayangkan rasa pedih 10x lebih pedih dari Betadine dan baunya juga tidak enak.
YOU ARE READING
Dunia Lisbeth
RomanceBagi Lisbeth, laki-laki dengar hanya akan membuatnya patah hati. Berkaca dari kegagalan percintaan di antara orang Tuli dan orang dengar yang ia lihat, Lisbeth bertekad hanya sudi membuka hati untuk pria Tuli. Lagi pula, dia sibuk mengejar mimpi mem...