Bab 4 : Bryan

261 47 21
                                    

<<Ting ... tring ... tingg ...>>

Denting bel bergemerincing menandakan pintu dibuka membuat Bryan menoleh dan bertanya-tanya.

    "Cieeehh, pagi-pagi dah sibuk nih," tawa lepas Dimas membahana. Bryan pura-pura tidak mendengar dan kembali sibuk mengaduk panci besar berisi boba. Dimas, partner bisnisnya, yang biasanya tidak pernah datang kini masuk ke dapur setelah menyapa beberapa pegawai yang sedang sibuk dengan tugas masing-masing.

"Lo tahu, lo ga harus do this yourself, right?" tanya Dimas dengan suara rendah.

Secara logika, Bryan tahu dia bisa seperti Dimas, ongkang-ongkang kaki, datang seminggu 2 kali, memeriksa ini itu sebentar, lalu pergi lagi. Dengan sistem franchise, sebenarnya dia bisa memeriksa laporan penjualan secara daring. Bryan tak perlu datang dan menghabiskan waktu setiap hari di sini.

"Kalau gue mau memang kenapa?" Bryan balik bertanya. "Masalah buat lo?"

"Enggak masalah sih ... Cuma, siapa yang sangka party animal like you, sekarang pakai celemek ngaduk boba," kekeh Dimas seraya menepuk bahu Bryan. "Eh, lo masih ingat?"

Bryan langsung berdecak kesal mendengar kalimat pembuka Dimas. Kalimat itu kerap Dimas lontarkan untuk mengenang masa kecil mereka. 

Keluarga Bryan, Dimas, Anissa dan Lisbeth sudah berteman sejak mereka kecil. Di era 1990an, permainan golf menjadi ajang para pengusaha untuk memperluas koneksi dan membangun relasi bisnis.

Suatu sore, papanya membawa pulang tabung besar berisi aneka batang-batang besi, ketika Bryan memegangnya, yang dia dapatkan bentakan kencang.

Papa gemar bermain golf. Demikian juga dengan orang tua Lisbeth, Dimas, dan Anissa.

Berbeda dengan para pria lain yang biasanya bermain sendiri dan tidak membawa keluarga, grup golf Papa justru istri-istrinya saling berkenalan, Kalau tidak salah yang memulai Om Wim, Papa Lisbeth yang kerap mengajak Tante Heni ikut ketika mereka ikut pertandingan golf di Singapura. Mamanya mulai bergabung, demikian juga dengan Mama Dimas dan Annisa.

Mulai dari main golf, arisan keluarga, mereka mulai sering berlibur bersama. Mama memasukkan Bryan dan Benny ke sekolah yang sama dengan keluarga Dimas dan Anissa.

Jika ada acara menginap liburan bersama yang biasanya bertepatan dengan pertandingan golf, Mama selalu dengan sigap membelikan berdus-dus roti Holland Bakery, aneka rasa pop mie, dan beberapa kantong Chitato, Taro dan Jetset.

Di mata Dimas, "Tante Mei Hwa is our saviour!"

Hanya Bryan yang tahu, mamanya menggunakan uang untuk membeli persahabatan, menggunakan sogokan es krim untuk membeli pertemanan.

"Lo masih inget waktu kita nginep di Rancamaya? Buset itu nyokap gue sama nyokapnya Anissa pelitnya minta ampun. Kita nginep di presidential suite, eh tante-tante malah bawa rice cooker, panci, talenan. Tiap sebelum pulang, nyokapnya si Livi angkut semua tusuk gigi, odol, sikat gigi sampai sandal. Pas kita naik SQ, sendok-sendok juga dibawa pulang! Njrit! Tahu ga, Natal kemarin gue maen ke rumah Livi, masih ada dong tumpukan sandal Hilton sama Marriot diplastikin!" cerocos Dimas. 

Dimas selalu sibuk dengan nostalgia masa kecil mereka sementara. Bryan hanya duduk diam di pojok, menonton yang lain bermain Nintendo. Kala remaja, Bryan menolak ikut acara kumpul-kumpul dan lebih memilih sendirian di kamar.

Tawa Dimas terhenti ketika menyadari Bryan tidak ikut tertawa.

"So", Dimas berubah serius. Tangannya menyugar rambut keritingnya seraya menatap Bryan. "Kemarin gue dinner sama Johnny." Dimas menyebutkan nama pemegang franchise pusat Bubbly Tea di Indonesia. "Lo tahu sekarang banyak banget yang jual boba. Kita perlu ada yang stand out. Ngobrol punya ngobrol, kita jadi ada ide untuk bikin inclusive cafe. Kita pekerjakan pegawai Tuli di sini."

Dunia LisbethWhere stories live. Discover now