Bab 6 : Heni

219 38 15
                                    

1990

Toko Kintan

Tanah Abang

"Kau nangis seperti itu, memang anak-anakmu jadi bisa mendengar?" gerutu Mak Kintan. Heni diam saja, dia terduduk di kursi kayu di pojok toko. Toko Kintan adalah satu-satunya tempat dia bebas menangis. Dia tidak berani menangis di rumah. Mertuanya terus-menerus menyindirnya. Jika mertuanya melihat Heni menangis, makin tajam lagi kritikan yang dia terima.

"Sudah dikasih seperti itu, ya terima. Pasti ada jalannya," ujar Mak Kintan. Jari-jari keriput itu menari di atas sempoa.

Kenapa tak ada yang mengerti kepedihan hatinya? Anaknya semua perempuan. Itu saja sudah aib di keluarga Chinese. Tuli pula. Heni mendengar mertuanya sering meminta suaminya untuk mencari istri kedua. Namun, dia tidak pernah mengadukan hal itu kepada mamanya.

"Jalan bagaimana, Ma? Tuli berat," desis Heni.

Dokter spesialis mengabarkan hasil tes, Lisbeth hanya bisa mendengar suara guntur dan pesawat terbang, suara-suara di atas seratus desibel.

"Nanti gede, dia jadi apa ...," gumam Heni pelan.

"Ya, kita belum tahu, tapi Tuhan itu adil. God is rechtvaardig," kata Mak Kintan menggunakan istilah bahasa Belanda yang dia tahu. "Nanti kita cari tahu. Lisbeth itu pintar."

Heni masih terisak. "Pintar dari mana, Ma? Tidak bisa bicara ...."

"Matanya, Heni! Lihat mata Lisbeth! Mata anak pintar itu beda! Lisbeth TULI? Ya. Bodoh? TIDAK! Makanya dia perlu sekolah," tegur Mak Kintan keras. "Kita cari tahu anak ini jalannya di mana. Kalau pintar dagang, kita kasih toko. Kalau pintar sekolah, kita sekolahkan! Kalau Wim tak mau sekolahkan, Mama yang sekolahkan. Mama pernah sekolah di sekolah Belanda! Semua anak harus sekolah. Dengar itu, Heni?"

"Iya, Ma." Heni menghapus air matanya. Segudang pertanyaan memenuhi otaknya. Apa bisa Lisbeth bertahan? Apa bisa Lisbeth sekolah? Siapa pula yang mau menikah dengan anaknya kelak? Padahal, nasib dan kebahagiaan perempuan Tionghoa ditentukan oleh menikah dengan siapa dan ... punya mertua yang seperti apa.

***

Heni butuh waktu lama untuk menerima kenyataan bahwa Lisbeth Tuli. Dokter demi dokter, sinshe, hingga tukang pijat, Wim dan Heni datangi. Hasilnya sia-sia. Saat itu, Heni kerap menangis dan Wim selalu menghiburnya.

Takdir membawa mereka berkunjung ke SLB-B tempat Lisbeth akhirnya bersekolah. Kepala sekolah SLB tersebut, seorang Bruder Katolik dengan tegas dan jelas menyatakan ada masa depan untuk Lisbeth. Lisbeth hanya membutuhkan orangtua yang menerimanya dan memberinya pendidikan.

Kala itu, Lisbeth sudah hampir tiga tahun, gadis itu duduk manis sambil tersenyum di ruang Kepala Sekolah. Heni masih ingat baju yang Lisbeth pakai, baju berenda berwarna kuning dengan pita senada. Matanya yang bulat mengikuti percakapan orang dewasa seolah-olah dia mengerti apa yang mereka perbincangkan.

"Bapak Ibu Wimharja harus menerima Lisbeth apa adanya. Tak perlu membawa dia ke sinshe ini dan itu. Lisbeth seumpama mutiara yang sedang dibentuk, nanti hasilnya pasti cantik," ujar Bruder menenangkan mereka.

Mereka mendaftarkan Lisbeth bersekolah di situ. Tiba di rumah, Wim suaminya mengajaknya bicara. "Enggak perlu pusing biaya sekolah Lisbeth." Wim meremas lembut tangannya. Wim bekerja makin keras, makin sering di pabrik dan bahkan mulai mencari akal untuk memperbesar usaha tekstil mereka.

"Anak lain bukan Tuli, mungkin butuh 2 M buat sukses. Lisbeth pasti butuh lebih," ucap Wim suatu malam. "Wa yang pikirin caranya."

Ketika Heni menyadari dia hamil anak ketiga, dia sembahyang siang dan malam.

Dunia LisbethWhere stories live. Discover now