Ritual pagi Bryan bertambah, kini dia tidak hanya memasak boba tetapi juga belajar dengan Lisbeth. Setiap pagi ada pemandangan baru buat Bryan. Lisbeth yang berdiri bersandar di pintu kaca kedai Boba. Lisbeth yang begitu melihatnya turun dari mobil akan selalu melambai. Hai, Bryan!
Pagi ini, Lisbeth mengenakan summer dress putih dengan bunga-bunga kecil biru dilengkapi dengan bandana senada. Pakaian-pakaian Lisbeth selalu modis. Terkadang dia mengenakan aksesoris rambut seperti bandana, terkadang mengenakan kalung.
[Hai, selamat pagi] Lisbeth menyapanya dalam Bisindo.
Dengan canggung Bryan balas menyapa. Gerakannya kaku seperti robot. Setelah pintu dibuka, tanpa disuruh Lisbeth juga membantunya menyalakan lampu. Setelah semua lampu menyala, Lisbeth baru menaruh tas canvasnya di atas meja. Sebuah map biru menyembul dari dalam tas.
Melihat map itu, Bryan teringat pertama kali mereka memulai pelajaran. Lisbeth datang dengan membawa map tebal. Bryan yang benci sekolah langsung bergidik melihat map biru tua yang dikeluarkan Lisbeth.
"Ini ... kurikulum ... yang kubuat dengan Nala." Bryan menangkap nada bangga di suara Lisbeth, membuat Bryan tak sampai hati untuk mengatakan bukan itu yang dia mau. Dia pikir pekerjakan Danar, kasih dia tugas beres-beres, lap meja lalu selesai.
Tangannya membolak-balik map. Alfabet Bisindo. Percakapan sehari-hari. Angka. Warna. Buah. Sayur. Semuanya penuh dengan foto-foto tangan yang terlihat begitu ruwet. Dia nyaris menyerah. Namun, benaknya berpikir berapa banyak waktu yang Lisbeth gunakan untuk menyusun ini semua?
Ternyata tidak sesulit yang dia pikir. Alfabet Bisindo, bentuknya mirip dengan huruf abjad biasa. Tak terasa pelajaran mereka sudah memasuki minggu kedua.
Tepukan lembut di bahu Bryan membuyarkan khayalannya. Di belakangnya Lisbeth berdiri menawarkan bantuan.
"Perlu dibantu?" tanya Lisbeth.
Bryan menggeleng. Dia menunjuk ke arah pintu bertepatan dengan masuknya Ayu. "Ada Ayu." Lisbeth spontan berbalik dan menyapa Ayu.
[Selamat pagi!] sapa Ayu. Tangan kanan Ayu menyentuh dagunya lalu turun ke bawah membentuk isyarat selamat.
"Loh, kamu bisa juga?" tanya Bryan heran disambut tawa Ayu.
"Gampang, Ko Boss. Anak-anak semua juga bisa. Selamat pagi. Selamat malam. Terima kasih." Dengan sigap Ayu memasang celemek dan memberikan gerakan mengusir Bryan. "Ko Boss belajar. Aku yang beresin."
Bryan melangkah ke pojok kedai tempat Lisbeth menaruh tas canvasnya.
[Mulai?] tanya Lisbeth yang segera mengambil posisi berhadapan dengan Bryan. Mereka selalu memulai dengan alfabet lalu mengulang isyarat-isyarat yang mereka sudah pelajari.
Bryan tak pernah kesulitan dengan A,B,C,D,E dan F. Karena alfabet-alfabet itu bentuknya seperti bentuk tulisannya. Tetapi jarinya selalu terbelit ketika dia membuat H. Lisbeth memberi contoh yang ditirukan Bryan. Lisbeth tiba-tiba mengulurkan tangannya, jarinya membetulkan orientasi jari Bryan. Her hands are soft.
[H]
Kini tangan Bryan membentuk huruf H dengan sempurna. Spontan Lisbeth bertepuk tangan. "Bryan pintar!"
Yang dipuji malah menunduk. Awalnya, Bryan jengah dengan Lisbeth yang menurutnya kerap bertindak tak perlu seperti bertepuk tangan, memuji dengan mata berbinar, memberikan jempol disertai senyum lebar. Lama kelamaan, dia menanti pujian Lisbeth. Lebih menyenangkan dipuji daripada dibentak dengan kata-kata Dasar, bo nao! Ga punya otak lo!
"Lisbeth yang pintar," balas Bryan.
[Terima kasih] Tangan kanan Lisbeth menyentuh pelan bibir dan dagunya lalu turun ke bawah, gerakan yang selalu disertai dengan senyuman. Mata Lisbeth selalu lekat menatapnya setiap Bryan bicara. Tatapan Lisbeth membuat Bryan salah tingkah.
YOU ARE READING
Dunia Lisbeth
RomanceBagi Lisbeth, laki-laki dengar hanya akan membuatnya patah hati. Berkaca dari kegagalan percintaan di antara orang Tuli dan orang dengar yang ia lihat, Lisbeth bertekad hanya sudi membuka hati untuk pria Tuli. Lagi pula, dia sibuk mengejar mimpi mem...