Bab 8 : Bryan

220 42 13
                                    

Bryan mengeluarkan serangkaian kunci dan mulai membuka pintu kedai yang masih gelap. Seperti biasa dia datang paling pagi dan mulai melakukan rutinitasnya. Menyalakan semua lampu, memasak air untuk membuat boba, memeriksa stok. Lima menit kemudian, satu per satu karyawannya mulai berdatangan. Dari luar Bryan tampak biasa. Namun, benaknya sedang mempersiapkan rangkaian argumen.

Dimas, ini enggak akan bisa jalan!

Lalu Bryan akan memaparkan ide-ide promosi lain, menggaet KOL lebih banyak, promosi menu baru. Pokoknya apa saja asal bukan mempekerjakan disabilitas!

Dia sudah bertandan ke Butik Lisbeth. Hasilnya kosong besar! Sia-sia dia sudah mengeluarkan uang membeli bunga dan menyisihkan waktu. Jangankan untuk memulai ide membuat inklusif cafe, Bryan kesulitan menangkap Lisbeth bicara apa! Suara Lisbeth punya aksen aneh. Lalu ... dia kesulitan menyandingkan wajah Lisbeth yang ... Bryan menghela napas. Lisbeth cantik. Kulitnya halus, matanya besar dengan rambut hitam panjang. Lisbeth bahkan lebih cantik dari deretan gadis yang dikencaninya. Namun, sekali Lisbeth berbicara, Bryan kehilangan selera. Bayangan cantik langsung berubah menjadi aneh.

Pemuda itu menyusun alasan untuk dibeberkan kepada Dimas.

Kita sudah kenal Lisbeth dari kecil, gue aja enggak ngerti dia ngomong apa!

Bryan mantap dengan pendiriannya. Ini bencana!

Ketika bel pintu berdentang dan suara Ayu dengan riang menyambut, "Pagi, Ko." Bryan mengusap kedua telapak tangannya yang berkeringat ke celemeknya seraya memantapkan hati.

Senyum lenyap ketika dia melihat sosok yang berdiri di hadapannya dengan senyum pepsodent.

"Morning, Bryan."

Semangat Bryan menguap. Kata-kata yang sudah dia hafalkan hilang ditelan bayang-bayang Benny.

"Ngapain lo di sini?" Bryan bersedekap berusaha membuat pernyataan bahwa kakaknya tidak diharapkan kedatangannya.

Benny tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Begini cara lo nyambut customer? Bryan, Bryan," decak Benny masih tetap tersenyum.

Jangan terpancing.

Dengan santai, Benny memasukkan kedua tangannya ke saku lalu pandangannya menyusuri daftar menu.

"Special hari ini apa?"

"Sejak kapan lo minum Boba? Enggak takut diabetes?" balas Bryan pedas.

Tawa Benny makin keras sementara matanya kembali menjelajah daftar menu. "Dragon fruit Matcha, 0% sugar, no topping. Take away."

Bryan tak beranjak dari tempatnya. Dari sudut matanya dia melihat Ayu dengan ragu-ragu berdiri di depan meja kasir.

"Ada promo credit card?" tanya Benny sambil menyodorkan kartunya kepada Ayu.

"Ehmm ... ah ... ada, Ko," gagap Ayu.

"Lain kali kalau ada promo langsung dikasih tahu," pesan Benny. "Lalu biasakan upselling. Mau coba oat milk-nya, Kak? Kita sedang ada promo. Atau mungkin Kakak mau upsize? Ada tambahan diskon." Benny menirukan kalimat standar yang biasanya digunakan para pelayan di gerai-gerai lain.

"Kita enggak pakai upselling di sini," potong Bryan.

Benny mengerutkan dahinya. "It's 101 Marketing strategy. Ah, tentu saja lo enggak tahu." Nada mengejek Benny membuat darah Bryan mendidih. Alih-alih menunggu di konter, Benny menuju area makan, menarik kursi dan duduk di situ. Di belakangnya Ayu, berbisik, "Ko Boss." Dengan takut-takut, Ayu menyodorkan segelas Dragonfruit Matcha yang sudah tersaji.

Bryan menyambar minuman tersebut dan membawanya ke meja Benny. Tanpa berkata apapun, Bryan meletakkan pesanan Benny di hadapan kakaknya.

"Lo inget kan, ruko ini punya siapa?" tanya Benny tenang tetapi bibirnya tak lagi tersenyum. Matanya sibuk melekat pada ponsel tanpa sedikit pun memandang Bryan. "Duduk."

Sesaat Bryan berdiri mematung.

"Duduk." Nada suara Benny tak seramah yang sebelumnya. Dengan enggan, Bryan menarik kursi di hadapan Benny. Benny menutup ponselnya, menyeruput minumannya lalu menatap Bryan.

"Dimas enggak bisa datang, dia minta gue ke sini. Lo perlu ngomong apa?" Benny melirik jam tangan yang melingkar di tangannya. "Gue punya 7 minute. Shoot."

"Cafe inklusif enggak akan bisa jalan."

"Why?"

"Kesulitan komunikasi." Bryan memaparkan semua keraguannya. "Kombinasi menu kita terlalu banyak! Mereka ga akan bisa ngikutin! Nanti banyak salah pesan, pelanggan enggak seneng. Usul gue, kita bisa bikin menu baru."

"Basi."

"Undang influencer."

Benny mendesah kesal. Dia menunjuk keluar. "Tiga bulan lagi, di ruko sebelah akan buka Cafe. Lima bulan lagi, di ujung sana ada boba baru yang buka. Dan lo bahkan belum BEP, Bryan!"

"Salah lo sama Dimas ambil franchise fee kemahalan!" debat Bryan.

"We need something new!"

"Gue udah ketemu Lisbeth. Gue bahkan enggak ngerti dia ngomong apa," debat Bryan dengan frustrasi.

Benny melirik Bryan. "That's your problem. Gue bisa ngerti Lisbeth ngomong apa."

"Sejak kapan lo peduli sama charity!"

"Siapa bilang ini charity?" cemooh Benny. "Ini bisnis. Mereka kerja, kita bayar. We have good branding. Customer datang. Sederhana! Ini masalah mindset." Benny menepuk telunjuk ke atas telinganya dua kali. "Lo terlalu negatif, lo enggak bisa lihat peluang."

Tanpa menunggu respon Bryan, Benny membuka ponselnya dan dengan cepat menyodorkannya kepada Bryan. "Penjualan tiap hari 350-400 cups, bagus. Tapi ini masih bisa dinaikkan, lokasi ini premium! Dekat sekolah, sebelah jalan besar."

Benny menarik ponselnya lagi dan beranjak berdiri, "Lo punya tiga bulan."

"Kalau gue enggak mau?" tantang Bryan.

Tangan Benny kini berpindah ke pelipisnya. Dia memijat pelan keningnya. "Don't make things harder, Bryan."

"Ini enggak bisa jalan."

"I can fire you." Nada suara Benny rendah. "Lo enggak mau gue pecat." Itu bukan pertanyaan, itu pernyataan. Benny bangkit dan mengangkat gelasnya ke arah Ayu. "Makasih, Yu. Enak."

"Sama-sama, Ko," balas Ayu tersenyum.

"Oh." Benny berputar kembali ke arah Bryan, dia mengambil dompetnya lalu mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu. "Buat jajan."

"Enggak butuh."

"Ambil," Benny bersikeras. "For you girlfriends." Dengan sengaja Benny menekan pelafalan huruf s.

"Gue enggak punya pacar."

Benny tertawa. "Punya otak lo. Kerja sana yang benar. Btw ini kedai Boba, bring happiness. Tapi tampang lo cemberut kayak lihat setan. Terlalu banyak aura negatif."

"Aura negatif? Lo ikut Julia yoga sekarang?" sindir Bryan.

"Julia? That's not how you call my wife. Sao-sao,"  koreksi Benny dengan nada tak suka. Bryan tahu dia harusnya memanggil kakak iparnya dengan sebutan sao-sao. 

"Iya-iya, Sao-sao. Bawel banget sih."  

"Namaste!" Benny mengatupkan kedua tangannya lalu berbalik dan berjalan keluar. Dia menepuk bahu Bryan.

Kedua tangan Bryan terkepal. Dengan lemas dia terduduk lalu memainkan ponselnya. Yang muncul, pesan Lisbeth yang dikirim setelah dia berkunjung.

Thank you for coming, Ko Bryan. Terima kasih untuk bunganya

Dunia LisbethWhere stories live. Discover now