BUCIN 15

7 6 0
                                    

Lima bulan telah berlalu sejak pertemuan terakhir mereka. Asya akhirnya merasa siap untuk menghadapi Kak Arno dan memberikan jawaban yang selama ini ditundanya. Hari itu, mereka bertemu di kafe kecil yang biasa mereka kunjungi, tempat yang dulu penuh dengan tawa dan cerita. Namun, kali ini suasana terasa berbeda, ada kekakuan yang tak dapat diabaikan.

Asya duduk berhadapan dengan Kak Arno, berusaha menyusun kata-kata yang tepat di kepalanya. Kak Arno menatapnya dengan penuh harap, meski mungkin di hatinya ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi.

"Kak Arno, aku udah mikir lama soal ini," Asya memulai dengan suara lembut, namun jelas. "Aku sangat menghargai perasaan Kakak, tapi... aku rasa, aku belum siap untuk hubungan lebih dari teman."

Ekspresi Kak Arno sedikit berubah, namun ia tetap tersenyum, meski senyum itu tidak sampai ke matanya. "Aku mengerti, Asya. Kamu berhak untuk memilih apa yang terbaik buat kamu. Aku hargai keputusanmu."

Asya merasa lega namun sekaligus bersalah melihat kekecewaan yang tak bisa disembunyikan Kak Arno. "Maaf, Kak. Aku nggak mau nyakitin Kakak."

Kak Arno menggeleng, seakan berusaha menenangkan dirinya sendiri. "Kamu nggak perlu minta maaf, Asya. Aku senang kita bisa bicara dengan jujur. Lagipula, aku juga mau pamit. Aku bakal kuliah di luar kota."

Perkataan Kak Arno itu bagaikan angin dingin yang menusuk hati Asya. "Kak Arno mau kuliah di luar kota?" tanyanya, seolah memastikan bahwa ia tidak salah dengar.

Kak Arno mengangguk. "Iya, aku diterima di universitas yang udah lama aku incar. Aku bakal mulai semester depan." Ada nada bangga dalam suaranya, tapi juga sedikit kesedihan.

Asya merasa ada yang hilang di dalam dirinya. "Aku senang Kakak akhirnya bisa kuliah di tempat yang Kakak mau. Aku cuma... nggak nyangka Kakak bakal pergi jauh."

"Kadang hidup memang begitu, Asya. Tapi kita harus tetap berjalan ke depan," Kak Arno tersenyum lemah, lalu berdiri. "Sebelum kita berpisah, boleh aku minta satu hal?"

Asya mengangguk, meski hatinya merasa berat. "Apa itu, Kak?"

"Kakak boleh minta pelukan terakhir?" tanya Kak Arno, suaranya pelan namun penuh harapan.

Asya terdiam sejenak sebelum akhirnya berdiri dan memeluk Kak Arno dengan erat. Ada rasa hangat yang mengalir di antara mereka, perasaan nyaman yang sulit dijelaskan. Namun, di balik pelukan itu, Asya tahu bahwa ini adalah perpisahan mereka.

Setelah pelukan itu berakhir, Kak Arno melepaskan diri dengan senyum lembut. "Jaga diri, Asya. Semoga kamu bahagia dengan pilihanmu."

Asya hanya bisa mengangguk, menahan air mata yang hampir tumpah. Ia melihat Kak Arno melangkah pergi, meninggalkan kafe dengan langkah yang mantap. Saat bayangannya menghilang, Asya merasakan kekosongan yang sulit diungkapkan.

---

Hubungan Asya dengan Rey berubah drastis sejak kejadian itu. Meski Rey tampak bersikap biasa saja, Asya tak bisa menghilangkan rasa canggung yang selalu muncul setiap kali mereka berinteraksi. Mereka sudah tidak sedekat dulu lagi. Rey semakin sibuk dengan pacarnya, sementara Asya tenggelam dalam rutinitas bimbel dan persiapan masuk kuliah.

Hari-hari berlalu tanpa banyak komunikasi antara mereka. Bahkan ketika mereka bertemu di sekolah, percakapan mereka terbatas pada basa-basi aja. Rey sering terlihat bersama pacarnya, sementara Asya semakin tenggelam dalam kesibukan akademiknya, mencoba melupakan perasaan yang pernah ada.

---

Hari kelulusan pun tiba. Asya dan Rey memilih kampus yang berbeda, membuat mereka semakin berjauhan. Waktu berlalu, dan tanpa disadari, mereka mulai kehilangan kontak. Awalnya hanya sekedar pesan yang tak terbalas, hingga akhirnya tak ada lagi percakapan di antara mereka. Asya merasakan kekosongan yang mendalam, namun ia berusaha menerima kenyataan bahwa hubungan mereka telah berubah.

Suatu hari, setelah 3 tahun perkuliahan. Asya mendengar kabar dari Kila yang ternyata sekampus dengan Rey. "Eh, tau nggak? Rey bakalan tunangan sama Kak Nara loh! Mereka bener-bener langgeng, ya," ujar Kila dengan semangat.

Asya tersenyum tipis, meski hatinya terasa perih. "Iya, aku dengar," jawabnya pendek, berusaha menutupi kesedihannya.

"Asya, kamu nggak apa-apa?" tanya Kila, menyadari perubahan ekspresi sahabatnya itu.

Asya menggeleng dan mencoba tersenyum. "Aku senang buat Rey. Cuma... sedih aja karena denger kabarnya bukan langsung dari dia."

Setelah Kila pergi, Asya duduk sendirian, merenung tentang semua yang telah terjadi. Dia menyesal karena tidak pernah jujur tentang perasaannya kepada Rey. Rasa takut akan menghancurkan persahabatan mereka membuatnya memilih untuk diam, tetapi ternyata persahabatan mereka tetap hancur karena Asya selalu menghindar saat Rey ingin memperbaiki hubungan mereka.

Ia termenung, memikirkan semua keputusan yang telah diambilnya. Perasaan takut untuk merusak persahabatan karena cinta ternyata tidak membuat segalanya lebih baik. Bahkan, justru karena pilihannya untuk terus menghindar, persahabatan mereka hancur dengan sendirinya.

Saat itu, Asya hanya bisa berdoa agar waktu bisa menyembuhkan lukanya. Meskipun hubungan mereka tak lagi sama, Asya berharap suatu hari nanti ia bisa benar-benar merelakan Rey dan kembali menemukan kedamaian dalam hatinya.

Namun untuk saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah menerima kenyataan bahwa semuanya telah berubah dan mulai berjalan ke depan, tanpa melihat kembali ke masa lalu yang penuh penyesalan.







- END -















BUCINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang