BUCIN 4

40 14 1
                                    

Sejak kejadian di sekolah tadi sore, hujan belum juga berhenti. Jadi, aku memutuskan untuk ikut pulang ke rumah Rey, karena rumahnya tidak jauh dari sekolah.

"Sya, lu mandi dulu gih, biar gak sakit," kata Rey saat kami sampai di rumahnya.

"Enggak ah, gak ada gantiannya," jawabku, sedikit enggan.

"Ck, gampang, Sya kalo soal baju, lu bisa pakai kaos gue dulu. Yang penting sekarang lu ke kamar mandi, nanti gue simpen kaos buat lu di tempat handuk. Gue mau bikin mie instan sama teh dulu," kata Rey, seolah sudah terbiasa mengurusku.

"Buat siapa? Emangnya lu bisa masak?" tanyaku, sedikit meremehkan.

"Gampang, cuma bikin mie instan doang mah. Buat gue lah. Gue lapar gara-gara lu gamau nemenin ke kantin tadi," balasnya, setengah kesal.

"Gue juga mau mie instan, Rey!" pintaku cepat.

"Yaudah iya, nanti gue bikinin juga buat lu. Sekarang lu mandi, sekalian cuci itu luka di kaki lu," katanya tegas.

"Iya, iya, bawel amat sih," jawabku sambil melangkah ke kamar mandi.

Baru saja aku mau keluar dari kamar mandi, tiba-tiba Rey sudah berdiri di depan pintu, membuatku kaget.

"Ih, Rey! Ngapain lu di sini? Ngintip gue mandi ya?!" tanyaku, setengah bercanda tapi juga waspada.

"Dih, ngapain gue ngintip lu mandi. Gue kesini cuma mau ngasih lu kotak obat ini. Buat bersihin luka lu," jawabnya dengan wajah yang seolah tidak bersalah.

"Oh, gitu. Yaudah, sini gue bersihin di depan aja," kataku sambil meraih kotak obat dari tangannya.

"Sini, gue bantu bersihin," katanya sambil menarik kotak obat dari tanganku.

Saat aku mau membersihkan luka dengan alkohol, Rey tiba-tiba menepis tanganku.

"Ck, apaan sih, Rey? Gue kan cuma mau bersihin pake alkohol," protesku.

"Sini, biar gue aja yang bersihin. Lu lama banget, mau netesin alkohol doang," katanya sambil mengambil alih.

Entah kenapa, hatiku berdegup kencang saat Rey mulai membersihkan lukaku. Rasanya seperti ada yang berdisko di dalam dada.

"Udah, gue aja yang bersihin, Rey," kataku pelan, mencoba mengendalikan diri.

"Udah lah, gue aja. Tahan ya, kalau sakit," katanya sambil mulai meneteskan alkohol pada lukaku.

"Aw, aw, aw! Rey, perih banget!" jeritku, berusaha menahan sakit.

"Lu tahan dulu aja. Gue mau kasih salep nih. Nah, udah beres," katanya sambil mengoleskan salep dengan lembut.

"Thanks ya, Rey. Sorry, gue jadi ngerepotin lu," kataku tulus.

"Yoi, sama-sama. Tenang aja, lu gak ngerepotin gue kok, Sya. Sekarang lu makan aja mie instan yang udah gue bikin," jawabnya sambil tersenyum.

"Lah, kok cuma satu? Lu gak makan juga, Rey?" tanyaku heran.

"Udah, waktu lu lagi mandi tadi, gue udah makan mie. Minum juga tuh teh angetnya biar badan lu gak dingin," katanya sambil menunjuk ke arah cangkir teh di meja.

"Makasih ya, Rey. Hehe," kataku sambil tersenyum.

"Makasih mulu lu, makan sono," balasnya sambil mengacak-ngacak rambutku.

"Iya, Pak Reybin galak," kataku sambil mulai menyantap mie instan.

Di tengah suasana yang tiba-tiba hening, Rey tiba-tiba nanya yang membuatku tersedak.

"Sya, sebenernya lu sama Kak Arno ada hubungan apa?" tanyanya serius.

"Uhuk, uhuk," aku tersedak, sambil buru-buru mengambil teh hangat untuk diminum.

"Kenapa lu, Sya? Nih, minum dulu tehnya," katanya sambil menyodorkan cangkir teh.

"Gw kaget aja tiba-tiba lu ngeluarin pertanyaan yang aneh," jawabku setelah berhasil menenangkan diri.

"Lah, apa yang aneh? Gue cuma nanya doang," katanya sambil menatapku penasaran.

"Gue gak punya hubungan apa-apa sama Kak Arno. Tapi sejak dia balikin buku gue, dia jadi suka deketin dan ngajak jalan gue mulu," jawabku pelan.

"Jangan-jangan Kak Arno suka sama lu, Sya," kata Rey sambil mengerutkan kening.

"Hah? Yakali Kak Arno suka sama gue. Ngaco lu, Rey," jawabku, setengah tidak percaya.

"Dih, udah kebukti dari perlakuan Kak Arno ke elu, Sya. Tadi sore dia bela-belain kehujanan demi bantuin lu," katanya, masih bersikeras.

"Iya sih. Tapi sebenernya gue itu risih sama kelakuan Kak Arno," kataku, mulai merasa terbuka.

"Kenapa risih?" tanyanya dengan nada prihatin.

"Ya, gue risih aja. Setiap Kak Arno deketin gue, gue selalu diliatin sama yang lain. Terus, gue juga jadi bahan pembicaraan anak kelas," jawabku, sedikit curhat.

"Jangan dipikirin, Sya. Orang kaya gitu biasanya iri sama lu," kata Rey, berusaha menenangkanku.

"Iya sih, tap—eh bentar, Bunda gue nelepon," kataku saat ponselku bergetar.

"Ya, angkat sana," jawab Rey sambil memberi isyarat agar aku segera menjawab.

Setelah menelepon, aku kembali ke ruang tamu. "Rey, gue disuruh pulang sama Bunda," kataku dengan nada menyesal.

"Yaudah, gue anter lu sampai rumah," kata Rey tanpa ragu.

"Gak usah, gue bisa pakai ojek online," jawabku cepat.

"Ck, ini udah malam, Sya. Nanti lu diapa-apain sama abang ojeknya gimana? Udah, biar gue aja yang anter," katanya tegas.

"Yaudah, tapi jangan ngebut-ngebut," kataku, sedikit takut.

"Iya, Syantik," ucap Rey sambil mencubit hidungku.

Hah? SYANTIK? JANTUNG GW KENAPA INI? KENAPA KAYA MAU COPOT YA?

"Heh, jangan ngelamun aja. Ayo naik," kata Rey sambil menepuk pundakku.

"Eh, iya iya," jawabku gugup.

"Pegangan ke pinggang gue, Sya. Biar lu gak jatuh," katanya sambil menyalakan motor.

"OGAH! Modus aja lu, Rey," tolakku tegas.

"Udah, cepet pegangan aja," katanya, lebih tegas.

"Ck, ogah ah," jawabku lagi, tapi kali ini lebih pelan.

"Yaudah, terserah lu. Kalau lu jatuh, gue gak tanggung jawab," katanya, sambil mulai mengendarai motor.

"Iya, iya. Ah, bawel lu," jawabku sambil akhirnya memegang pinggangnya.

"Nah, gitu," katanya sambil tersenyum kecil.

"Buruan nyalain motornya, Rey," kataku, mencoba menyembunyikan kegugupanku.

"Yayaya," jawabnya sambil mengemudi.

Selama perjalanan, jantungku terus berdebar tidak karuan. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tidak bisa berhenti memikirkan kenapa Rey membuatku merasa seperti ini. Kenapa jantungku bisa berdisko seperti ini?

"Tuhan tolong akuuuuu," teriak ku dalam hati.



- TBC -



Ada yang tau kenapa jantung Asya bisa disko guys? wkwkkwk - Author

BUCINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang