Asya menutup pintu kamar dengan napas yang masih berat setelah kejadian tadi, dadanya berdebar kencang dan pikirannya penuh dengan kebingungan. Setelah beberapa saat, ia memutuskan untuk berbaring di tempat tidurnya, mencoba meredakan kekacauan yang ada pikirannya.
Namun, meskipun ia mencoba untuk tenang, bayangan ciuman tadi terus berputar di kepalanya. Asya menarik napas dalam-dalam, tetapi rasa sesaknya tidak juga hilang. Dia tahu, ada sesuatu yang berubah antara dirinya dan Rey, sesuatu yang tidak bisa lagi mereka abaikan.
---
Hari berikutnya, Asya kembali menghindari Rey dan Kak Arno. Rey terus mencoba menghubunginya, namun Asya selalu mengabaikan telepon dan pesan-pesannya. Dia merasa bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Setiap kali dia melihat notifikasi dari Rey, perasaannya menjadi kacau, seolah-olah ada dua suara dalam dirinya yang saling berdebat.
"Harusnya aku bicara sama Rey... Tapi, aku takut," bisiknya pada diri sendiri.
Di sisi lain, Kak Arno juga terus mencoba mendekatinya. Dia tetap bersikap hangat dan perhatian, meski Asya jelas-jelas menghindarinya. Namun, Asya tidak bisa lagi menyembunyikan rasa bersalahnya. Ia tahu bahwa ia harus segera memberi jawaban kepada Kak Arno, tapi entah kenapa, setiap kali ia ingin mengatakannya, lidahnya selalu kelu.
---
Seminggu berlalu, dan Asya merasa semakin tertekan dengan situasi ini. Dia tahu bahwa menghindar hanya membuat segalanya semakin sulit. Akhirnya, di satu sore yang sepi, setelah pulang dari sekolah, Asya memutuskan untuk menyelesaikan semuanya.
Dia mengirim pesan singkat kepada Kak Arno, mengajaknya bertemu di taman dekat rumah. Tak butuh waktu lama, Kak Arno tiba dengan motor scopynya. Senyumnya tetap sama, hangat seperti biasa, tapi ada sedikit kekhawatiran di matanya.
"Asya, ada apa?" tanya Kak Arno lembut, mencoba mengurai kecemasan yang tergantung di antara mereka.
Asya menelan ludahnya dan mengambil napas dalam-dalam. "Kak... Aku..." Ia berusaha mengatur kata-kata yang sudah ia siapkan sejak tadi pagi. "Aku... Aku mau jujur sama Kakak."
Kak Arno mengangguk, menunggu dengan sabar.
"Aku ngerasa... nyaman sama Kakak. Kakak baik, perhatian, dan selalu ada buat aku. Tapi..." Asya terdiam sejenak, mengumpulkan keberaniannya. "Aku cuma bisa lihat Kakak sebagai kakak, bukan yang lain. Maaf, Kak... Aku nggak bisa balas perasaan Kakak."
Raut wajah Kak Arno sejenak berubah, namun ia segera tersenyum tipis, meski jelas terlihat ada kekecewaan di sana. "Aku udah menduga ini, Sya. Dan aku hargai kejujuranmu."
Asya merasa lega, tapi sekaligus bersalah. "Maaf, Kak. Aku nggak bermaksud nyakitin Kakak."
"Nggak apa-apa, Sya. Yang penting, kamu udah jujur sama perasaanmu. Aku akan tetap jadi kakak yang selalu ada buat kamu, kalau kamu masih mau."
Asya mengangguk pelan. "Makasih, Kak Arno."
Setelah percakapan itu, suasana di antara mereka sedikit lebih ringan, tapi ada perasaan kehilangan yang tidak bisa diabaikan oleh Asya. Mereka mengobrol sebentar lagi sebelum Kak Arno pamit pulang, meninggalkan Asya sendirian di taman.
---
Saat kembali ke rumah, Asya merasa lebih tenang. Setidaknya, satu masalah sudah terselesaikan. Namun, ketika ia duduk di tempat tidurnya dan melihat ponsel yang berdering—sebuah pesan dari Rey—hatinya kembali bimbang.
"Asya, bisakah kita bicara? Aku nggak mau ada yang berubah di antara kita," tulis Rey dalam pesannya.
Asya menarik napas panjang. Dia tahu, perasaan yang dia miliki untuk Rey lebih rumit daripada yang pernah ia akui, bahkan kepada dirinya sendiri. Tapi dia juga tahu bahwa ia tidak bisa terus menghindar. Tidak lagi.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Asya mengetik balasan.
"Bisa. Kita harus bicara, Rey. Ketemu di tempat biasa besok?"
Dan dengan itu, Asya memutuskan untuk menghadapi semua yang selama ini ia hindari. Besok, mungkin, semuanya akan menjadi lebih jelas—atau lebih rumit. Tapi yang pasti, dia siap untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi.
- TBC -

KAMU SEDANG MEMBACA
BUCIN
FanfictionTernyata lu bukan cinta sama gua ya.. ⚠️ Cerita ini hanya untuk hiburan semata!