|| 04

1.2K 149 4
                                    

Selamat Membaca!
.
.
.
.
.

Sementara di meja makan, Shani dan bibi menyusun makanan tersebut sambil ngobrol ringan.

"Bibi udah lama kerja disini?"

"Lumayan lah dari sejak den Reva masih bayi"

"Ini nasi apa ya, Shani belum pernah lihat sebelumnya"

"Oh ini nasi biryani kesukaan den Reva. Kalo gitu saya tinggal ya non," ucap bibi, saat menyadari majikannya telah turun.

"Bibi makan bareng aja," ujar Cindy.

"Ngga usah nyah, den Reva tadi sudah menyisihkan bagian saya dan mang asep," jawabnya.

Cindy mengangguk lalu Bibi kembali ke belakang. Habis itu barulah Evan turun, karena tadi sempat ke ruang kerjanya sebentar. Ada hal yang perlu dicek.

Shani duduk bersebelahan dengan Evan dan di hadapannya ada orang tua dari bosnya. Ia merasa sedikit gugup, jantungnya berdebar kencang. Shani berusaha bersikap tenang, mencoba untuk menikmati makan malam bersama keluarga Evan.

"Makan yang banyak Shan gak usah sungkan," ucap Cindy yang melihat piring Shani hanya sedikit.

"Anggap rumah sendiri, bentar lagi kamu juga jadi bagian keluarga kami," timpal Kenzie.

"Mau saya tambahin," ucap Evan ingin menambahkan nasi dan lauk ke piringnya.

"Eh nggak usah," tolaknya.

"Bisa jangan saya saya gitu, sama calon masa gitu ngomongnya," tegur Cindy.

"Iya ma nanti Reva ubah," balasnya nurut.

Usai makan malam, mereka ngobrol sebentar. Setelahnya Shani pamit pulang, karena hari sudah semakin malam.

"Om tan, Shani pamit ya udah malam nanti dicariin lagi," ucapnya pamitan.

"Ya udah, kapan kapan main lagi kesini. Reva anterin Shani nya," ujar Cindy pada putranya yang masih anteng dengan cemilannya.

"Siap ma. Reva anterin Shani dulu, mau titip sesuatu?" tanyanya.

"Enggak ada. Udah sana, jangan sampai lecet," ujar Cindy.

"Ngusir nih, mama gitu banget sama anak sendiri," keluhnya, lalu menarik tangan Shani keluar rumah.

"Ngambek dia haha.." Tawa Cindy dan Kenzie bersamaan. "Gimana bujuknya," ucapnya lagi.

"Alah tinggal masakin aja makanan kesukaannya nanti juga luluh sendiri," ucap Kenzie dan Cindy membenarkan hal itu. Membujuk Reva itu mudah, disogok makanan kesukaannya aja udah selesai.
.
.
.
Di dalam mobil, Evan masih menggerutu dari tadi. Padahal itu hanya candaan saja, ia juga tau itu. Malam ini suasana hatinya sedikit buruk, entah karena apa juga tidak tau.

"Shan, kita mampir ke rumah seseorang dulu nggak papa kan?" tanya Evan melirik ke samping.

"Ke rumah siapa?" tanya Shani.

"Ada seseorang, cuma mau nenangin hati aku aja. Nggak lama hanya sebentar," ucap Evan dan Shani hanya mengangguk saja.

Mobil mereka berhenti di toko bunga dekat dengan rumah yang mereka tuju. Mereka membeli beberapa bunga, lalu kembali masuk ke mobil. Hanya perlu melewati beberapa rumah lagi, dan akhirnya mereka sampai ke tempat tujuan.

"Ayo ikut turun," ujar Evan menatap Shani.

"Aku disini aja," tolak Shani.

"Udah ayo," ajak Evan membuka pintu sebelah dan membantu Shani turun dengan selamat.

Tok tok tok...

Tak berselang lama, pintu utama dibuka oleh seorang wanita paruh baya, namun masih terlihat sangat cantik. Wanita itu tersenyum ke arah Evan lalu memeluknya dengan erat. Kening Shani mengerut heran, siapa wanita di hadapannya.

"Sayang kok nggak pernah kesini sih?" ucapnya lalu mengajak mereka berdua masuk ke dalam rumah.

"What sayang? Wah nggak bener nih cowo," batin Shani berspekulasi sendiri.

"Maaf ya ma, Reva kerjaannya numpuk banget. Papa kemana belum pulang?" tanya Evan.

"Semenjak itu, papa kamu jarang dirumah," keluhnya dengan sedih.

"Nanti biar Reva yang ngomong sama papa ya. Mama jangan sedih-sedih lagi, aku mau ke atas dulu. Oh ya ini bunga buat mamaku tersayang," ucap Evan, setelah memberikan salah satu bunga, ia berlalu dari sana.

Wanita itu menatap Shani dengan intens, kemudian duduk di sampingnya. "Kamu siapanya menantu saya?"

Shani terkejut bukan main, ia tidak mengerti maksud dari situasi ini. "S-saya Shani sekretarisnya," ucapnya.

"Sekertaris apa sekertaris?" ucapnya menggoda. "Biar nggak canggung, kenalin saya Sisca mertua dari Reva. Kamu udah tau kalau Reva itu duda?"

"D-duda tante.." Shani benar-benar sangat terkejut.

"Iya, foto paling besar itu foto pernikahan putri saya dan Reva. Mereka terlihat sangat serasi, tetapi takdir membuat mereka berpisah. Amy terkena kanker lambung dan dia nggak bisa bertahan," ucap Sisca sendu.

"Ikhlasin Amy ma, dia udah tenang disana. Kalau mama sedih nanti Amy juga sedih, udah ya. Masih ada Reva yang bisa nemenin mama dan papa. Jangan terus-terusan berlarut dalam kesedihan itu nggak baik," ujar Evan yang duduk disamping Sisca, sembari menenangkan mamanya.

"Mama kalau kangen datang ke makamnya. Besok mau Reva temenin?" ucapnya lagi.

"Makasih ya, kamu memang paling pengertian. Pantesan Amy tergila-gila sama kamu," ucap Sisca dengan senyuman.

Evan hanya tersenyum dan melirik ke arah Shani. "Udah malam Reva pamit ya ma, soalnya masih harus nganterin Shani pulang," ucapnya.

"Iyaa, kapan-kapan ajak Shani nya main kesini lagi. Oh ya, mama tunggu undangannya," ujar Sisca mengantar mereka ke depan.

"Pasti, Reva minta doa restunya," ucapnya menghadap ke Sisca sembari mencium punggung tangannya.

"Papa dan mama pasti merestui kamu dengan siapapun, asal dia baik dan bisa nerima kamu dengan status kamu yang sekarang," ujar Mirza yang baru saja pulang dari kantor.

"Pa.." Evan segera memeluk tubuh pria paruh baya itu. Ia sangat merindukan beliau. "Papa tuh kalau kerja jangan pulang terlalu larut gini dong, kasihan mama dirumah sendirian," ujarnya.

"Iya iya, kamu tuh mirip banget sama Amy," ucap Mirza lalu melepas pelukan keduanya.

"Kita sebagai anak juga mau yang terbaik buat kalian. Mama kesepian di rumah nggak ada yang nemenin, terus papa lembur di kantor sampai lupa waktu. Mama tuh nungguin papa bahkan sampai ketiduran di sofa, apa papa nggak kasihan? Sekali kali bawa kerjaan ke rumah, ya seenggaknya kalau papa perlu sesuatu ada istri yang siap siaga," jelas Evan menasehati mertuanya itu.

"Udah bisa nasehatin ya sekarang, dulu aja masih kaku. Tapi papa suka pertahankan," ujar Mirza bangga dengan perubahan sikapnya yang semakin dewasa.

"Yaudah ya, kami pamit. Assalamu'alaikum," ucap Evan menyalami keduanya diikuti oleh Shani.
.
.
.
Mobil itu masuk ke pekarangan rumah yang tidak terlalu besar tapi tetap terlihat mewah. Evan dan Shani turun bersamaan dan mengantar perempuan itu sampai di depan pintu utama. Shani membuka pintu tersebut dan pada saat yang bersamaan, seseorang dari dalam rumah hendak keluar.

"Shan kok baru pulang?" tanya pria paruh baya.

TBC.

Jangan lupa vote dan komen
See you next chapter!

Duda dan Keempat IstrinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang