|| 11

720 110 10
                                    

Selamat Membaca!
.
.
.
.
.

Shani yang baru saja keluar dari kamar mandi, tidak menjumpai suaminya di dalam kamar. Tak ingin ambil pusing, ia langsung duduk di meja rias, mengeringkan rambutnya yang basah. Evan masuk sembari membawa nampan dan meletakkannya di nakas.

"Baby makannya udah aku siapain," ujar Evan, yang berdiri di belakang Shani lalu mengambil alih hairdryer dan membantunya mengeringkan rambut.

Shani tersenyum, "Mending kamu mandi habis itu kita makan bersama." Evan mengangguk tetapi masih terus melanjutkan aktivitasnya.

Senyum Shani tak pernah luntur sedikit pun sedari tadi, ia memperhatikan suaminya dari pantulan cermin. Rasanya senang dan bahagia, tentunya tidak menyangka dengan pertemuan awal keduanya. Hanya karena tidak sengaja tabrakan, berujung malah dipersatukan dalam sebuah ikatan janji suci.

Ingatannya menerawang ke kejadian pada masa itu. Hingga sebuah tangan dingin menyentuh kulit tubuhnya. Tetesan air membuatnya terperangah dan sedikit mendongak ke atas. Shani bisa melihat Evan yang baru saja selesai mandi dengan rambut basahnya. Selama itukah ia melamun?

"Sekarang kamu duduk, gantian biar aku yang keringin," ucap Shani lembut.

Kini giliran Shani yang mengeringkan rambut suaminya. Evan sendiri hanya melihat istrinya dari pantulan cermin. Senyum terbit dibibirnya. Karena dirasa sudah kering, Shani meletakkan hairdryer ke meja rias.

Dengan sigap, Evan memutar badannya lalu memeluk perut ramping istrinya. Menempelkan kepalanya di sana. Shani yang sempat terkejut dengan gerakan cepat itu, segera menormalkan detak jantungnya. Dia mengusap lembut bagian belakang kepala Evan.

"Shan.."

Hening beberapa saat. Shani mengerutkan keningnya, bingung kenapa tidak dilanjutkan, pikirnya.

"Boleh aku minta satu hal?"

Deg

Shani mengerjap beberapa saat guna menetralkan detak jantungnya yang begitu cepat. Ia masih berperang dengan dirinya sendiri. "Dia mau minta haknya sekarang? Apapun yang dia minta, sudah sepatutnya aku harus ngelayaninya, itu bentuk berbakti pada suami. Semangat Shan, pasti bisa," batinnya menyemangati diri sendiri.

"Bo-boleh," balasnya dengan nafas tercekat.

Evan menyadari kegugupan istrinya, lalu melepaskan pelukannya. Diraihnya kedua tangan Shani dan ia genggam sembari menatap mata indah itu. Senyumnya lagi-lagi terbit.

"Kenapa gugup sayang, hm?" Shani hanya menggeleng saja.

"Tenang aja, aku gak bakal minta sekarang kok. Aku tau kamu masih capek, yaudah kita makan malam dulu terus istirahat," ujar Evan berdiri lalu menarik tangan Shani ke sofa. Sebelum itu, ia juga membawa nampan yang tadi ia taruh di nakas.

Usai makan malam, keduanya langsung berbaring di kasur king size. Shani menghadap ke arah suaminya yang terlentang. Namun mata itu terpejam, mungkin lelah karena mengurus semuanya. Tangannya terulur untuk mengusap dada bidang itu.

"Tadi kamu mau ngomong apa?" tanya Shani memberanikan diri.

Evan mengubah posisi tidurnya jadi miring dan lebih mendekat ke arah istrinya. Mengecup singkat kening Shani lalu menatap matanya lekat.

"Shan, aku bukan laki-laki sempurna. Jika suatu saat nanti pernikahan kita diterpa badai, kita selesaiin baik-baik ya. Kalo ada yang mengganjal dalam hati kamu, tolong kamu ngomong ya. Ini yang paling penting, tegur aku jika caraku salah dan sebaliknya, aku gak mau kehilangan seseorang yang aku sayangi untuk kedua kalinya," ujar Evan, matanya berembun.

Helaan nafas tidak mengenakkan itu keluar dari mulutnya. Dadanya bergemuruh, mengingat masa itu di mana keduanya sama-sama tersulut emosi. Sebelum kepergiannya, badai itu berulang kali menerjang pernikahan mereka, menguji pondasi yang mereka bangun bersama. Hingga salah satu dari mereka menyerah dan pulang kepada Sang Pencipta.

Shani mengerti dengan perasaan pria di hadapannya ini, yang sekarang berstatus sebagai suaminya. Mendekap tubuhnya ke dalam pelukannya, mengusap lembut punggungnya yang bergetar. Shani membiarkannya menangis sepuasnya, biarkan apa yang selama ini dipendam sedikit mereda.

Tangisnya mulai reda dan tenang. Shani melepas pelukannya, lalu mengusap jejak air mata itu. Ia memberanikan diri untuk mengecup kedua kelopak mata itu agar tak menangis lagi, dan terakhir mengecup singkat bibir suaminya, lalu menenggelamkan wajahnya pada dada bidangnya. Mukanya merah karena malu sudah mencuri start duluan.

Cukup lama Evan mematung. Setelah sadar, ia menyentuh bibirnya sendiri. Sedikit menunduk melihat istrinya yang sudah memejamkan matanya. Kemudian ia mengeratkan pelukan itu dan ikut terpejam, menyusul istrinya ke alam mimpi.
.
.
.
Pagi hari, masih di kamar pengantin. Shani terbangun lalu mengerjapkan matanya guna menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya. Hingga sebuah usapan tangan kekar di perutnya membuat matanya terbuka lebar.

Tangan itu menelusup masuk ke dalam baju piyamanya. Terdapat sensasi geli yang dirasakannya. Apalagi hembusan nafas suaminya mengenai lehernya, membuat tubuhnya meremang.

Sebisa mungkin Shani menyingkirkan tangan itu, namun semakin ia berusaha, semakin erat pula pelukannya. Akhirnya ia menyerah dan berbalik badan menghadap ke arah suaminya. Shani membelai pipinya, kemudian membangunkannya.

"Sayang bangun yuk udah pagi," ucapnya lembut.

"Hmm sebentar"

Evan mendusel ke dada berisinya mencari posisi ternyaman. Tangannya kembali masuk ke dalam piyama itu, usapan di punggungnya makin menjadi. Kakinya juga tak tinggal diam, ia menindih kaki Shani agar tak pergi dan sengaja mengunci pergerakannya. Anggap saja ia sedang modus sembari memancing hasrat istrinya.

Shani merasakan sesuatu yang keras menusuk paha dalamnya. Tangan yang semula meraba punggungnya lama-kelamaan mulai turun. Menekan pinggulnya agar bersentuhan dengan benda keras itu, meski masih terhalang pakaian masing-masing. Shani tidak kuat dengan rangsangan yang diberikan, ia mendongak ke atas sembari menggigit bibir bawahnya. Meredam suara aneh itu agar tidak keluar dari mulut manisnya.

Evan mendongak, tatapan keduanya bertemu. "Apa boleh?" ucapnya meminta izin.
.
.
.
Sementara di lantai bawah, keluarga Abraham dan kedua besannya, serta para sahabat dari Evan tengah berkumpul di meja makan. Mereka akan melaksanakan sarapan bersama sambil menunggu sang bintang utama mereka yang tak kunjung turun.

"Selesai ngeronda jam berapa sih, kok nggak turun-turun apa gak laper," celetuk Roland, mengundang tatapan kebingungan dari mereka semua.

"Ngeronda?" seru mereka kebingungan.

"Ituloh.." balas Roland mempraktikkan dengan menyatukan kedua tangannya.

Mereka mengangguk paham sembari terkekeh kecil. "Yaudah kita mulai aja makannya terus siap-siap buat balik ke rumah. Biarkan mereka menghabiskan waktunya berdua, nanti kalo laper pasti turun dengan sendirinya," ujar Kenzie mempersilahkan yang lain untuk segera menyantap hidangan tersebut.

Selesai sarapan, mereka benar-benar pergi dari hotel tersebut. Menyisakan kedua pasutri yang masih bergulat didalam kamar. Berperang dengan hasrat yang tak kunjung tertuntaskan.

TBC.

Sheng mau tanya serius nih, unboxing nya diperlihatkan atau sensor?

Mulai chapter 11-20 bakal double up, berikutnya 21-30 kembali normal begitupun seterusnya yaa...

Jangan lupa vote dan komen
See you next chapter!
.
.
.
https://saweria.co/kaylaravsa
.
.
https://whatsapp.com/channel/0029VaiSFs8CMY0J9vGMG70z

Duda dan Keempat IstrinyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang