Entah sudah berapa kali kata syukur itu terucap dari mulut Anggis, menandakan ia benar - benar bahagia dengan apa yang menghampirinya saat ini. Ada perasaan lega yang ia rasakan karena kembali mendapatkan tempat berteduh. Ya walaupun bukan miliknya, tapi seperti ini saja ia sudah bersyukur. Kini, matanya memperhatikan dengan seksama ruangan demi ruangan yang tak begitu besar itu. Ada banyak rencana yang bersarang di otaknya, dan ia ingin semuanya terwujud.
"Semoga kamu dan Athar betah di sini ya." pinta wanita paruh baya yang biasa dipanggil Bude Lastri. Wanita itulah yang meminta Anggis untuk tinggal di sini.
Anggis dengan cepat mengangguk, mengiyakan apa yang Bude Lastri harapkan. "Semoga aja, Bude." ucapnya. Ia menatap wanita di sampingnya ini dengan tulus, tak menyangka akan bertemu seseorang sebaik ini.
Kalau dipikir - pikir, Bude Lastri tak perlu sebaik itu pada Anggis, karena Anggis bukan lagi siapa - siapa ketika suaminya sudah tiada. Tapi ternyata tidak! Bude Lastri tidak seperti itu, ia banyak membantu, seperti ini contohnya. Walaupun terlihat galak dan berbicara ceplas ceplos, tapi percayalah! Hatinya tidak sejahat itu. Dia baik, bahkan saking baiknya mau menampung seorang janda dengan satu anak itu.
"Anggis, kamu harus ingat pesan Bude. Kalau ada yang tanya biaya sewa kontrakan ini, bilang aja satu juta. Jangan bilang yang sebenarnya. Kamu ngerti kan?!"
"Iya, Anggis ngerti, Bude." Wanita bernama Anggisa Putri itu, mengangguk lemah. Sejujurnya, ia tak enak hati harus berbohong. Tapi mau bagaimana lagi, dirinya sudah banyak merepotkan.
Bude Lastri hanya minta dibayarkan tiga ratus ribu dari biaya sewa yang seharusnya satu juta. Ia dengan sukarela melakukan itu demi istri dari keponakannya yang sudah tidak. Sebenarnya, Anggis bisa saja pulang ke rumah orang tuanya dan melanjutkan hidup di sana. Tapi masalahnya adalah, orang tuanya sudah cukup direpotkan dengan adik bungsunya yang masih tinggal bersama mereka. Itulah alasan kenapa Anggis lebih memilih mengikuti permintaan Bude Lastri, selain karena sudah dekat, Anggis sangat tahu bagaimana sayangnya wanita itu kepadanya dan juga Athar. Ya walaupun...........
"Awas ya kalau kamu sampai genit! Kamu itu janda, dan janda itu sensitif di sini!"
***
Anggis memeluk dengan sayang tubuh mungil yang sudah terlelap di sampingnya itu. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi ia masih terjaga tanpa berniat menutup mata.
Suara kendaraan yang berlalu lalang, sayup - sayup terdengar. Tidak terlalu bising, tapi mampu membuatnya was - was. Tidak ada yang aneh sebenarnya, ini hanya tentang dirinya yang belum terbiasa. Begitu pun ketika ia mendengar pagar rumah yang dibuka, membuatnya tanpa sadar beranjak mendekati jendela kamar yang berhadapan langsung dengan rumah di seberang sana.
Ia membuka sedikit gorden, memperhatikan seseorang yang baru saja membuka pagar dan kembali masuk ke dalam mobil.
"Yang di depan itu rumahnya Pak Rama, dia seorang PNS merangkap pengusaha. Orangnya ramah tapi istrinya sombong! Bude benci sekali sama istrinya. Nggak sudi Bude kalau harus ngobrol sama istrinya!"
"Kenapa gitu, Bude?"
"Ya mana Bude tahu! Intinya kalau kamu ketemu sama istrinya, lebih baik jangan ditegur, biarin aja!"
"Mungkin kalau sama Anggis, istrinya jadi ramah."
"Malah ngeyel! Orang di sini pada nggak suka sama istrinya."
Anggis tersenyum, mengingat pembicaraannya dengan Bude Lastri tadi sore. Ia kembali berbalik dan mulai membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Bukan maksudnya ingin tahu akan sosok itu, semua hanya gerakan refleks karena teringat perkataan Bude Lastri.
Kini, pemilik bulu mata lentik itu mulai menutup mata. Sebenarnya belum mengantuk, tapi kalau ia memaksa untuk tetap terjaga, sudah dipastikan besok pagi semua rencananya akan berantakan. Sekarang, ia adalah tulang punggung, dan tidak ada alasan untuk tulang punggung bermalas - malasan dalam mencari nafkah.
Anggis sudah menjadi janda dari empat bulan yang lalu, dan mirisnya tidak ditinggalkan harta sedikit pun oleh suaminya. Bukan karena suaminya pemalas atau tidak sanggup menafkahinya. Suaminya sakit keras sehingga harta mereka hilang satu persatu.
Tapi tidak apa - apa, ia masih bisa tersenyum walau tak lagi manis.
Bersambung.
Ada cerita baru, silakan dibaca 😁
Ini cerita sederhana tanpa drama yang bikin emosi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Permintaan Maaf Anggis [END]
Tiểu Thuyết ChungTakdir hidup siapa yang tahu, begitu pun Anggis. Niat hati meninggalkan yang baik demi sesuatu yang lebih baik, ternyata tak berjalan mulus. Anggis tak lagi diberi pilihan, si baik memintanya kembali, tapi Anggis ragu!