Hujan deras turun tanpa permisi di siang yang baru saja menghampiri. Membuat wanita berhidung mancung itu memilih menepi di sebuah warung yang berada di pinggir jalan. Sekali lagi Anggis ceroboh, ia tak membawa jas hujan yang membuatnya harus berteduh. Jadi, di sinilah ia sekarang, menumpang duduk di bangku kosong dengan wajah yang terlihat sendu. Senandung sumbang mulai terdengar, menemani kesendirian dengan hujan yang semakin lebat. Tak tahu sampai kapan ia harus menunggu, tapi melihat dari derasnya hujan, sepertinya akan lama.
Dan benar saja, sudah tak terhitung waktu yang terbuang karena menunggu. Anggis mulai bosan, tapi tak punya pilihan selain bersabar. Beberapa kali mulutnya mencebik, merutuki kebodohannya yang meninggalkan ponsel di kontrakan. Kalau saja membawa ponsel, ia pasti tak akan bosan seperti ini. Berusaha mengalihkan rasa bosannya, Anggis memperhatikan lalu lalang kendaraan roda dua dan empat yang tetap nekat menerobos hujan. Ia sedikit iri karena mereka sebentar lagi akan sampai ke tempat tujuan, tidak sepertinya yang tetap di sini menunggu hujan yang tak tahu kapan berhenti.
Helaan napas kembali terdengar. Anggis mulai mengantuk, tapi tak mungkin tertidur di sini. Tak ingin kantuk itu semakin menyerang, Anggis memilih menghitung kendaraan yang terlihat angkuh melaju di jalanan. Satu, dua, tiga dan mobil keempat yang ia hitung, terlihat lebih angkuh karena berhenti tepat di depannya. Kaca mobil itu turun dengan cepat, menampilkan lelaki yang tadi pagi ia pikirkan. Tak ada suara yang terdengar, tapi pintu samping kemudi itu terbuka, mempersilakan Anggis masuk walau wanita itu tak meminta.
"Aku bawa motor." Anggis berteriak, berusaha mengalahkan suara hujan yang masih riuh terdengar. Ia tak akan mau menumpang walau Rama semakin keras kepala untuk meminta.
Tapi sepertinya Anggis memang jahat! Karena di sinilah ia sekarang, duduk dengan canggung untuk pertama kalinya di dalam mobil Rama. Suara hening semakin tercipta karena tidak ada yang bersuara, sedangkan hujan di luar sana seolah tak terdengar karena degup jantung yang semakin berisik. Anggis gugup, semakin takut dan serba salah.
"Loh, kita mau ke mana?" tanya Anggis. Jalan yang mereka lewati seharusnya bukan ini, Rama tak mungkin lupa arah rumahnya sendiri?
"Kita ngobrol sebentar."
***
Beberapa tahun silam, Anggis pernah menjadi remaja nakal yang tak takut akan dosa. Ia pernah menjadi gila bersama lelaki ini dalam meraih kenikmatan yang semu. Hanya berdua dalam satu ruangan tanpa sehelai benang pun bukan hal menakutkan bagi mereka. Apa itu malu? Mereka tak pernah tahu.
Tapi itu dulu! Dulu sekali, sampai Anggis tak berpikir akan terjadi kembali. Tidak! Mereka tidak melakukan hal gila itu. Anggis sudah waras kecuali Rama!
Lelaki itu tanpa memberitahu, membawanya ke sini. Ke sebuah kamar hotel dan hanya berdua. Anggis mungkin bodoh, kenapa tak menolak dan kabur? Ia malah menjadi patung gemulai yang mengikuti setiap langkah Rama. Terpaku tanpa kata, dan perlahan mulai sadar.
"Aku nggak mau lagi." ucap Anggis dengan suara bergetar. Ia berdiri dengan lutut yang sebentar lagi akan menjadi jelly. Gugup, takut, dan hal mengerikan lainnya berkecamuk di otaknya. Selain Tuhan, ia malu dengan anaknya.
"Kita cuma ngobrol, Anggis. Bukan mau ngapa - ngapain!"
"Kenapa harus di sini?!"
"Kita perlu tempat yang nyaman untuk ngobrol."
Anggis menghela napas kasar, begitu pun dengan Rama. Entah apa dan kenapa dengan mereka? Yang pasti mereka terlihat seperti manusia yang tak memilik akal.
Langkah Rama terlihat pelan, mendekati Anggis yang masih setia berdiri mematung. Dengan pasti ia mengulurkan tangannya, berharap Anggis menerima dan mengikuti langkahnya. Dan Rama tak bisa menahan senyum, melihat Anggis yang menerima ulurannya walaupun terlihat ragu. Mereka berjalan mendekati sofa, duduk di sana dan menatap hujan dari balik jendela.
KAMU SEDANG MEMBACA
Permintaan Maaf Anggis [END]
General FictionTakdir hidup siapa yang tahu, begitu pun Anggis. Niat hati meninggalkan yang baik demi sesuatu yang lebih baik, ternyata tak berjalan mulus. Anggis tak lagi diberi pilihan, si baik memintanya kembali, tapi Anggis ragu!