Anggis menatap sendu paper bag di hadapannya, merasa ragu untuk membuka walau ia mulai penasaran. Anggis memang menerima pemberian Rama, terpaksa menerima karena dipaksa. Anggis masih ingat senyuman lelaki itu, senyum lega yang terlihat menenangkan. Entah apa yang mereka lakukan, tapi yang jelas, hal seperti ini tidak dibenarkan!
Semakin Rama berusaha, maka semakin besar rasa takut yang Anggis rasakan. Semua perasaan tak nyaman itu bercampur menjadi satu, membuat Anggis menyesal tapi dengan sadar melakukannya lagi.
Rama sama sekali tak memiliki rasa takut. Ia seolah menikmati semuanya, menikmati peran sebagai pemaksa yang harus diiyakan. Sedangkan Anggis, menikmati perannya sebagai wanita jahat yang menjijikkan.
Anggis menolak! Menolak dan menolak! Tapi nyatanya ia tak benar - benar menolak.
Dan kini, tangannya sudah cekatan mengeluarkan apa saja yang ada di dalam paper bag itu. Mengeluarkan satu persatu dengan helaan napas yang terdengar berat. Baju, mainan dan.......Anggis menarik napas sepanjang mungkin dan mengeluarkan secara perlahan. Ia menatap sendu sebuah tas kecil di tangan kanannya. Bukan tas baru, melainkan tas lama yang masih terlihat bagus. Lama Anggis menatap tas itu, mengelusnya dengan sayang. Ada senyum yang terlihat walau dengan cepat berganti datar, dan kini ia termenung, memikirkan sesuatu yang tiba - tiba saja muncul.
"Seharusnya kamu buang, bukan malah dibalikin lagi ke aku." ucap Anggis lirih. Kembali menatap tas itu dan mendekapnya. Tas itu pemberian Rama, bukan tas mahal tapi untuk lelaki yang saat itu masih meminta uang jajan kepada orang tua, tentu saja itu lumayan. Dan setelah berpisah, Anggis berinisiatif mengembalikan tas itu.
"Lelaki baik seperti kamu, nggak pantas bermain gila dengan wanita bodoh seperti aku. Aku bodoh karena sudah menyakiti kamu. Dan aku bodoh karena malu meminta maaf untuk semua kesalahanku." ucapnya mulai terisak. Athar sedang berada di rumah Bude Lastri. Jadi, ia punya kesempatan untuk menangis sepuasnya.
Anggis baru menyadari, ternyata menangisi mantan kekasih itu menyakitkan!
***
Bude Lastri memang sering berkunjung, tapi untuk hari ini Anggis sedikit berat untuk menerima. Setelah mengantar Athar pulang, Bude Lastri tidak langsung pulang, ia malah ikut bergabung dengan Anggis yang sibuk memotong tempe. Tidak ada yang salah sebenarnya, hanya saja Anggis malu karena matanya yang masih sembab. Anggis takut Bude Lastri terlalu banyak bertanya dan ia tanpa sadar menjawab.
"Tadi, Bude ada lihat mobilnya Rama. Dia ngapain ke sini?" tanya Bude Lastri. Tentu saja pertanyaan itu membuat senyum kecut terlihat dari wajah Anggis.
"Cuma ngasih oleh - oleh, Bude."
"Owalah! Pak Rama itu memang baik, orangnya royal. Bude sama Pakde juga pernah dikasih oleh - oleh."
"Oh ya?! Kapan Bude?" Anggis tidak benar - benar sadar ketika bertanya.
"Kalau nggak salah seminggu yang lalu. Dia kasih baju sama celana, kalau kamu dikasih apa, Nggis?"
"Hahh!! Oh nggak ada, Bude. Cuma buat Athar aja!" jawab Anggis cepat. Tapi memang benar, Rama sama sekali tidak memberinya apa - apa selain tas itu. Tas yang sudah Anggis simpan di dalam lemari. Ia serba salah, ingin mengembalikan atau tetap menyimpannya. Tapi setelah dipikir - pikir, ya sudahlah! Ia berusaha memaklumi.
Anggis kembali melanjutkan kegiatannya, memotong tempe yang akan ia jadikan orek tempe. Tapi, sekali lagi ia menghentikan kegiatannya, menatap sekilas Bude Lastri karena ada hal yang ingin ia tanyakan. Anggis tahu, pertanyaannya bisa saja menimbulkan kecurigaan, tapi biarlah!
"Bude, memangnya Pak Rama sudah lama ya tinggal di sini?" tanyanya hati - hati. Kembali melanjutkan kegiatannya karena takut dengan tatapan Bude Lastri. Dengan was - was Anggis menunggu, berharap cemas apakah akan dijawab atau sebaliknya, ia yang akan ditanya!
"Kalau nggak salah sudah sekitar dua tahun, habis keterima jadi PNS langsung pindah ke sini. Kalau rumahnya sih sudah lama dibeli, tapi pindahnya sekitar dua tahunan itu. Memang kenapa, Nggis?"
"Mmm, nggak papa sih, Bude. Pengin tahu aja asal usul tetangga di sini." jawab Anggis malu - malu. Ia menyadari wajahnya yang memerah, tapi sudahlah, sudah terlanjur.
"Oh gitu! Anggis, kamu masih ingat kan pesan Bude?!"
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Permintaan Maaf Anggis [END]
General FictionTakdir hidup siapa yang tahu, begitu pun Anggis. Niat hati meninggalkan yang baik demi sesuatu yang lebih baik, ternyata tak berjalan mulus. Anggis tak lagi diberi pilihan, si baik memintanya kembali, tapi Anggis ragu!