Anggis menatap tanpa minat uang seratus ribu di hadapannya, dan ia hampir saja mencebik kalau tak mengingat akan sopan santun. Wangi parfum yang menguar dari tubuh lelaki itu, tiba - tiba saja membuatnya mual. Tak tahu kenapa, hanya saja ia kesal!
"Nggak perlu, Pak. Itu saya kasih gratis kok." ucap Anggis ramah. Tapi dari raut wajahnya, sudah dipastikan ia sedang menahan kesal. Ia kembali menggeser uang ke arah Rama, berharap uang itu tak lagi kembali padanya.
"Ambil aja, Anggis. Lagian kalau semua kamu gratiskan, kamu dapat untung dari mana?"
"Pak, nasi uduk yang saya gratiskan nggak bikin saya semakin miskin kok! Udah deh, saya mau kerja!" jawaban ketus yang Anggis berikan, ternyata mampu membuat suasana semakin canggung. Anggis sadar akan tatapan Rama, tapi ia berusaha untuk tak peduli.
Anggis menghela napas setelah mendengar langkah seseorang yang semakin menjauh. Tidak ada orang lain selain lelaki itu. Dan benar saja, Anggis mencuri pandang pada punggung tegap yang hari ini menggunakan seragam berwarna khaki. Jujur! Ia sangat lega karena Rama tak lagi berada di dekatnya.
Tapi tanpa diduga perasaan sakit itu tiba - tiba datang, setelah melihat apa yang ia tolak masih berada di sana. Bukan hanya satu, tapi lima lembar dengan warna yang sama.
Sumpah! Tidak ada rasa bahagia yang Anggis rasakan. Justru, ia sakit diperlakukan seperti ini.
***
Rama mungkin keras kepala, tapi Anggis lebih dari itu. Kalau tak bisa mengembalikan uang kepada pemiliknya langsung, maka Nia lah yang harus bertindak. Dan Anggis masih tetap menutup mulut setiap Nia bertanya kenapa uang yang diberikan Rama lebih banyak dari yang seharusnya. Tidak ada yang boleh tahu ada apa dan kenapa, dan jujur saja! Anggis pun tidak mengerti dengan keangkuhan lelaki itu.
Kasihan? Sumpah! Jangan mengasihani Anggis. Kehidupannya tak seburuk itu sampai harus dikasihani. Ia masih bisa makan dengan layak walau banyak keinginannya yang belum terwujud. Saat ini, Anggis memang tak bisa merawat diri dengan baik. Tapi bukan berarti ia tak peduli dengan penampilannya. Ia bersih, ia tidak bau walaupun wangi tak menguar seperti lelaki itu. Intinya jangan mengasihaninya!
"Om kamu buru - buru, jadinya salah kasih uang" Bohong Anggis. Ia mulai lelah dengan kecerewatan Nia yang tak henti bertanya.
"Iya sih, Om Rama akhir - akhir sering linglung, bawaannya bengong terus!"
"Maksudnya?!" tanya Anggis tanpa sadar. Ia bahkan langsung menggigit bibir bawahnya karena terlalu lancang bertanya.
"Maksudnya, Om Rama tuh jadi sering diam. Om sering ngelamun sambil lihatin taman, nggak tahu lagi mikirin apa?" tunjuk Nia pada taman yang berada di halaman rumah. Anggis mengikuti arah yang ditunjuk Nia, tak terlalu melihat karena pagar yang menghalangi pandangannya.
"Om Rama nggak duduk di taman sih, Mbak. Om ngelihatnya dari dalam rumah, dari situ tuh!" sekali lagi Nia menunjuk tempat di mana lelaki itu melakukan kegiatannya. Dan tak tahu kenapa, Anggis tiba - tiba lemas dan risih. Ia tertegun dengan mata yang tak henti menatap kaca besar yang berada di depan sana. Kaca berwarna gelap yang tak bisa melihat apa yang terjadi di dalam. Tapi sebaliknya, apa yang terjadi di luar akan terlihat jelas dari dalam. Dan nyatanya, kaca itu mengarah langsung ke kontrakan Anggis.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Permintaan Maaf Anggis [END]
General FictionTakdir hidup siapa yang tahu, begitu pun Anggis. Niat hati meninggalkan yang baik demi sesuatu yang lebih baik, ternyata tak berjalan mulus. Anggis tak lagi diberi pilihan, si baik memintanya kembali, tapi Anggis ragu!