Anggis sedang melipat pakaian ketika Bude Lastri datang berkunjung. Di tangan kanan wanita paruh baya itu, terdapat satu kantong plastik besar yang Anggis yakini berisi jajanan. Dan Anggis tahu jajanan itu ditujukan untuk siapa.
"Athar mana, Nggis?"
"Lagi menggambar di kamar, Bude."
"Owalah! Ini Bude sama Pakde barusan keluar, terus beliin Athar jajan." ucap Bude Lastri. Menyodorkan kantong itu ke arah Anggis.
Anggis berulang kali mengucapkan terima kasih sebelum meraih kantong itu. Ia meneliti sejenak sebelum meletakkan di samping tubuhnya. Anggis tidak begitu khawatir dengan jajanan yang diberikan Bude Lastri. Walau terlihat pemarah dan kadang menyebalkan, Bude Lastri pasti menuruti apa yang Anggis minta, termasuk makanan apa saja yang boleh Athar makan.
Bukan maksud Anggis menjadi wanita yang cerewet apalagi kepada Bude Lastri, tapi ia berani seperti itu karena kedekatan mereka. Dan Bude Lastri memang luar biasa baik, dia royal dan tak pernah perhitungan, hanya mulutnya saja yang berisik.
"Kamu lihat kan, Nggis?! Istrinya Pak Rama setiap ada kegiatan pasti nggak mau ikut. Dia juga nggak mau tinggal di sini, katanya sih nggak betah."
"Dia nggak ikut karena nggak di sini, Bude."
"Halah! Ada juga nggak bakal keluar rumah, mana mau dia bergaul sama kita. Kamu lihat gayanya, modis sekali!"
Anggis tersenyum, memilih melanjutkan kegiatannya. Ia bingung harus berkata seperti apa. Di satu sisi, ia lebih memihak kepada istri Rama, karena ia pun akan memilih seperti itu. Kalau saja bukan tuntutan pekerjaan dan lingkungan, Anggis lebih suka berdiam diri di rumah, semakin tidak keluar rumah maka akan sedikit cerita menyeramkan yang ia dengar. Tapi ia juga tak membenarkan hal itu, karena nyatanya ia masih memerlukan para tetangga dan orang terdekat.
"Untung Pak Rama orangnya ramah, setiap ada kegiatan pasti ikut. Orangnya juga mudah akrab, lihat aja sama kamu, padahal baru kenal tapi sudah akrab, iya kan? Eh, memang kapan kamu jualan perkedel jagung? Kok Bude nggak tahu?!"
***
Anggis terbangun dan tak bisa tidur lagi. Matanya melirik jam di ponsel, dan menghela napas karena hari belum juga berganti. Ia baru saja tertidur satu jam yang lalu, dan sekarang terbangun entah karena apa. Seperti ada alarm di otaknya, memintanya berpikir dan berpikir lagi.
Dengan terpaksa Anggis beranjak, meninggalkan Athar yang sudah terlelap. Ia melangkah gontai menuju dapur yang tak begitu jauh. Entah apa yang harus ia lakukan, yang jelas sekarang bukan waktu yang tepat untuk memasak.
Setelah lumayan lama di dapur, Anggis kembali berbalik dan memilih masuk ke dalam kamar. Bukan kembali berbaring, melainkan duduk di dekat jendela kamar. Ia membuka sedikit gorden, melihat sekitar dan tertegun menatap sesuatu di depan sana. Ada Rama di sana, berdiri di depan pagar entah sedang apa?
Lumayan lama Anggis menatap lelaki itu, sebelum mengalah dan berbalik menjauh. Helaan napasnya terdengar lelah karena memikirkan sesuatu yang tak seharusnya dipikirkan.
Matanya tertutup, mengingat pembicaraannya dengan Bude Lastri tadi sore. Tidak ada jawaban yang ia berikan karena Athar datang mengganggu. Tapi ternyata itu menjadi beban untuk Anggis. Banyak hal yang ia takutkan, dan semuanya tentang Rama. Rama seolah sengaja membuatnya mengenang tentang kebersamaan mereka dulu.
Anggis tidak bermaksud percaya diri, tapi ia bisa menyadari seseorang yang masih memiliki rasa kepadanya. Dan itu bukan sesuatu yang menyenangkan!
Sumpah, Anggis takut!
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Permintaan Maaf Anggis [END]
General FictionTakdir hidup siapa yang tahu, begitu pun Anggis. Niat hati meninggalkan yang baik demi sesuatu yang lebih baik, ternyata tak berjalan mulus. Anggis tak lagi diberi pilihan, si baik memintanya kembali, tapi Anggis ragu!