Kalau saja tak memikirkan tentang uang dan para pelanggan, mungkin Anggis lebih memilih meringkuk di atas tempat tidur. Kepalanya pusing, dan tubuhnya lemas. Bukan sakit, tapi karena lelah berpikir.
Tangannya kini mengepal, berusaha menghilangkan tautan yang mereka lakukan kemarin malam. Semakin Anggis ingin melepaskan, maka Rama semakin kuat menautkan jari jemari itu. Dan sebenarnya banyak hal yang mereka bicarakan, tapi semuanya tak bisa dicerna dengan baik oleh Anggis.
"Ini terlalu sulit." ucapnya lirih. Memperhatikan Rama yang baru saja membuka pagar dan menyeberangi jalan. Langkah lelaki itu semakin dekat, bahkan senyum itu semakin jelas terlihat. Tapi tidak begitu dengan Anggis, tubuhnya menegang dan ia sama sekali tak membalas senyum yang diberikan Rama.
"Wahh, Pak Rama sepertinya bahagia sekali, habis terima gaji ke 13 ya, Pak?"
"Belum saatnya gajian sih, Pak."
"Waduh! Tapi bahagianya terlihat jelas. Ini pasti rahasia besar yang nggak boleh disebarluaskan?" gelak tawa Pak Indra terdengar. Dan ia tak lagi bertanya setelah mendengar kekehan Rama. Untung yang bertanya adalah seorang lelaki, coba kalau yang bertanya seorang wanita berstatus Ibu - Ibu. Apa tidak menakutkan untuk mereka?
Tapi tunggu! Apa yang ditakutkan kalau nyatanya Anggis menolak. Anggis menolak permintaan Rama, dan tak ingin melakukan hal apa pun. Anggis pun meminta Rama untuk jangan bermain gila dan tidak mendekatinya lagi. Tapi Rama memang keras kepala, lihat saja sekarang! Ia tanpa takut menatap lekat wajah Anggis.
"Jangan macam - macam!" ucap Anggis tanpa suara. Meletakkan sepiring nasi uduk dan teh tawar ke hadapan Rama. Ia sedikit melotot pada Rama, berusaha tak peduli dengan senyum manis lelaki itu.
***
Ada kelegaan yang Anggis rasakan. Ini tentang Rama yang tak terlihat selama tiga hari ini. Sebenarnya bukan hal baru untuk Anggis, karena Rama memang sering tak terlihat dalam waktu yang lumayan lama. Dan sepertinya memang tidak mengherankan jika mengingat apa pekerjaan Rama.
Anggis juga sebenarnya bahagia, ada rasa tenang yang tak begitu kentara ia rasakan. Walau tak bisa dipungkiri, setiap ucapan Rama beberapa hari yang lalu selalu terngiang memenuhi otaknya. Rama gila! Itu adalah kata yang sering ia ucapkan akhir - akhir ini. Rama gila karena sudah membuatnya ikut gila! Gila karena memikirkan semua perbuatan lelaki itu.
Rama seolah ingin menunjukkan kepada semua orang tentang keanehannya. Ia semakin berani menatap Anggis. Ia semakin berani berbicara lembut pada Anggis, dan ia semakin tak tahu malu duduk menunggu Anggis yang melayani pembeli lainnya. Itu terlihat jelas, dan Anggis semakin takut. Bodohnya! Anggis sama sekali tidak takut dengan Rama, ia hanya takut dengan pandangan orang lain kepada mereka.
Dan kini, rasa takutnya semakin menjadi. Melihat lelaki yang baru saja ia pikirkan itu terlihat kembali. Mobil berwarna hitam yang sudah Anggis hafal di luar kepala, kini berbelok ke halaman kontrakan Anggis. Sosok menyebalkan itu keluar, dan tersenyum hangat padanya. Anggis masih saja bergeming, tak bisa tersenyum karena bingung dan malu. Ia menatap langkah yang semakin mendekat itu, memperhatikan tangan yang terulur memberikan paper bag kepadanya.
"Buat kamu dan Athar." ucap Rama lembut. Tangannya masih terulur, menunggu dengan sabar Anggis yang belum juga bergerak untuk menerima.
"Kamu kenapa?" tanya Anggis dengan suara bergetar. Anggis memberanikan diri menatap Rama, menatap tepat ke dalam bola mata lelaki itu. Dan ia terisak, setelah menyadari tatapan itu. Tatapan yang Rama berikan, adalah tatapan yang dulu ia berikan ketika berusaha mendekati Anggis.
Dulu, Anggis tanpa ragu menerima. Tapi sekarang?
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Permintaan Maaf Anggis [END]
General FictionTakdir hidup siapa yang tahu, begitu pun Anggis. Niat hati meninggalkan yang baik demi sesuatu yang lebih baik, ternyata tak berjalan mulus. Anggis tak lagi diberi pilihan, si baik memintanya kembali, tapi Anggis ragu!