Tak ada yang berubah sebenarnya, Anggis tetap berjualan seperti biasa dan Rama tetap menjadi pelanggan setia yang sedikit berani dari pelanggan lainnya. Lelaki itu, tanpa takut selalu memperhatikan semua pekerjaan Anggis. Rama juga menjadi menyebalkan karena sering menyela pertanyaan para pelanggan yang berjenis kelamin laki - laki. Tidak sopan sebenarnya, tapi Anggis akui ia harus berterima kasih kepada Rama.
Sebagai janda muda yang bisa dikatakan cantik, Anggis menyadari banyak lelaki yang berusaha mendekatinya. Tapi sumpah! Anggis tidak pernah berlaku kurang ajar apalagi nakal kepada mereka. Ia hanya memerankan tugasnya sebagai penjual yang ramah kepada pembeli, kalaupun ada yang berani, ia selalu berusaha menghindar.
Selama ini, bisa dikatakan mereka masih sopan. Meskipun mulai risih, Anggis bisa apa selain diam dan menjaga jarak. Seperti sekarang, Pak Indra yang merupakan tetangga kontrakannya dan seorang duda, terang - terangan bertanya kapan siap untuk menikah lagi. Tentu saja Anggis tak menjawab, ia lebih memilih diam dengan wajah yang tak lagi menampakkan senyum.
Pak Indra awalnya tidak seperti itu, ia masih bersikap layaknya tetangga pada umumnya. Tapi semua berubah semenjak Anggis menyapa Pak Indra sebulan yang lalu. Jujur, Anggis tidak memiliki maksud lain selain beramah tamah. Ia tidak ingin dianggap sombong karena tak menegur. Tapi nyatanya, itu menjadi bumerang untuk dirinya sendiri. Pak Indra yang awalnya jarang membeli nasi uduk, jadi sering membeli dan duduk berlama - lama di warung Anggis. Ia juga sering mengajak Anggis mengobrol, dan puncaknya adalah hari ini. Lelaki itu menanyakan sesuatu yang sensitif untuk Anggis!
"Anggis sudah punya calon, Pak!" Bukan Anggis yang menjawab, melainkan lelaki yang duduk di hadapannya itu. Wajah dan suara Rama sama sekali tak ramah. Ia bahkan menatap Pak Indra dengan wajah marah.
"Wah! Kok Pak Rama tahu?" tanya Pak Indra dengan wajah menyebalkan. Jujur! Anggis tiba - tiba takut dengan lelaki berusia empat puluh lima tahun itu.
"Tahu lah! Iya kan, Nggis?!"
Anggis mengerjap, dan dengan cepat mengangguk tanpa berpikir lagi. Setelahnya ia menunduk, mencari apa saja agar tak terlihat gugup. Entah apa maksud Rama berkata seperti itu, tapi ia merasa tenang karena perkataan lelaki itu.
"Tapi selagi ijab kabul belum terlaksana, bisa dicoba dulu kan?"
"Maksud Pak Indra apa?" Rama bertanya dengan suara yang sangat tenang. Tapi Anggis tahu, lelaki itu sedang berusaha menahan amarah.
"Anggis pasti ngerti? Janda kan nggak bisa lama - lama sendiri, kasihan yang di bawah!" Gelak tawa Pak Indra terdengar nyaring. Dan Anggis memekik melihat Rama yang sudah berdiri dengan tangan mengepal. Ia tanpa sadar menarik tubuh Rama, membawa lelaki itu menjauh dari hadapan Pak Indra. Untungnya tak banyak pembeli di pagi ini, tapi Anggis tahu sebentar lagi akan banyak cerita yang terdengar di mana - mana.
Untuk pertama kali setelah sekian lama, Anggis memberanikan diri menggenggam tangan Rama. Ia berusaha membuat tangan itu tak lagi mengepal. Anggis tak ingin ada keributan di sini, ia tak mau nama Rama tercoreng karena ulahnya. Apa kata orang jika tahu lelaki beristri itu membuat masalah karena membela seorang janda?
"Sudah," pinta Anggis. Menatap wajah Rama yang juga menatapnya. "Aku nggak papa." ucapnya lagi. Berusaha tersenyum berharap Rama tidak lagi marah. Dan rasa lega itu datang dengan tiba - tiba, ketika Anggis melihat senyum yang diberikan Rama. Sedangkan Pak Indra, terlihat biasa saja dan melenggang masuk ke dalam kontrakannya.
Anggis yang merasa suasana sudah mulai tenang, dengan cepat menjauhkan tubuhnya dari Rama. Tapi sebelum itu terjadi, elusan pelan yang dulu sering ia rasakan, kini tanpa permisi bermain di rambutnya. Rama melakukan itu, melakukan hal yang dulu sering ia lakukan.
"Mainin rambut kamu tuh bikin aku tenang, sayang."
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Permintaan Maaf Anggis [END]
قصص عامةTakdir hidup siapa yang tahu, begitu pun Anggis. Niat hati meninggalkan yang baik demi sesuatu yang lebih baik, ternyata tak berjalan mulus. Anggis tak lagi diberi pilihan, si baik memintanya kembali, tapi Anggis ragu!