20. Rama Khawatir

101 24 3
                                    

Suara ketukan di pintu tak membuat Anggis beranjak. Ia lebih memilih duduk bersila di ruang tamu, dan tetap setia dengan kemalasannya. Ada Rama di sana, memanggil namanya berulang kali. Biarkan saja, Anggis tak ingin tahu dan bertemu lelaki itu lagi.

Sejujurnya, Anggis takut dengan tingkah Rama yang seperti itu. Kenapa lelaki itu tak mengerti? Di mana kepintarannya sampai harus terlihat bodoh?

Anggis malu! Banyak hal salah yang sudah terjadi walau Anggis ingin menyangkal. 

"Anggis?" Suara itu kembali terdengar. Membuat Anggis menutup mata dan juga telinga. Bolehkah Anggis berteriak dan meminta Rama tak lagi memanggil? 

"Sudah." ucapnya lirih. Berusaha menghentikan suara di depan sana yang terdengar putus asa. Rama gila! Apa yang ia pikirkan sampai senekat itu. Ada banyak mata dan telinga yang bisa melihat dan mendengar perbuatannya. Tolong! Jangan membuat Anggis semakin takut.

Anggis takut akan banyak hal. Ia takut dengan tatapan istri Rama. Ia takut semakin mengecewakan Bude dan Pakde, dan ia takut menyakiti Athar. Tapi kenapa, ada apa dengan Rama yang tidak takut akan semuanya?


***

Anggis merasa tenang tapi tidak benar - benar tenang. Ada yang mengganjal di hatinya dan ia tahu!

Rama masih berusaha, bahkan tanpa lelah selalu menghubunginya. Entah dari mana ia mendapatkan nomor telepon Anggis, tapi yang pasti Anggis mulai risih dengan kegilaan Rama. Dan sudah dua hari ini, Anggis mengurung diri di dalam kontrakan, sama sekali tidak menampakan diri kepada dunia luar. Ia malu dan takut bertemu semua orang. Rasanya ia ingin secepatnya pergi dari sini, meninggalkan tempat yang membuatnya terlihat jahat. 

Sumpah! Anggis tidak pernah menggoda Rama, hanya saja Anggis akui ia mulai tergoda dengan kegilaan Rama. 

Astaga! Apakah pantas ia seperti ini? Rasa lelahnya sudah membuncah. Tapi, ia tak tahu bagaimana cara menumpahkannya. Mungkin pergi dari sini bisa menyelesaikan semuanya?

"Ibu kok nggak jualan lagi?" tanya Athar. Lelaki tampan dengan rambut keriting itu, kini duduk di pangkuan Anggis. Jemari kecil itu mulai bermain di pipi Anggis yang semakin tirus, mengelusnya sayang dengan wajah kebingungan. Tentu saja ia bingung, karena tak biasanya sang Ibu seperti ini.

"Istirahat dulu ya, nak. Nanti kalau Ibu sudah nggak capek, kita jualan lagi." jawab Anggis. Tapi ia menyesal karena sudah berbohong, karena setelah ini ia tak lagi memiliki niat untuk berjualan. Dan sekarang pikirannya bertambah, memikirkan cara memberitahu Athar tentang kepergian mereka. Anggis sangat tahu bagaimana dekatnya Athar dengan Bude Lastri, tidak hanya Bude Lastri, tetapi juga Rama. 

Lagi - lagi Anggis terpikirkan tentang Rama, teringat pesan lelaki itu yang tak satu pun ia baca. Mungkin Anggis terlalu jual mahal, tapi apa yang ia lakukan ini sudah benar kan?

Anggis pun bingung, ia sama sekali tak ingin seperti ini. Bingung dan takut seolah berkecamuk di hatinya, dan ia tanpa sadar membuka sedikit celah untuk semakin terluka.

"Ibu, kemarin Om Rama nanyain Ibu."

"Oh ya?!"

"Iya."

"Mmm, terus Athar bilang apa?"

"Athar bilang Ibu lagi tiduran." Anggis tersenyum, tak tahu harus berkata apa. Dan memang benar, selama dua hari ini, ia tak melakukan apa pun. Yang ia lakukan hanyalah mondar - mandir di dalam rumah dan mengintip rumah lelaki itu.






Bersambung

Permintaan Maaf Anggis [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang