Mulai hari ini, Anggis berusaha menjadi wanita yang tak melirik rumah di depan sana. Bukan hanya itu, Anggis mulai membiasakan diri untuk bertingkah biasa saja ketika bertemu dengan Rama. Jika lelaki itu berusaha mengingat semua kenangan mereka, maka yang harus Anggis lakukan adalah menghindar tanpa ikut mengenang.
Dan itu berlaku mulai detik ini. Rama, lelaki yang sudah rapi dengan baju dinas berwarna khaki itu, baru saja duduk di kursi yang memang Anggis sediakan. Kali ini ia tidak sendiri, ada Aira dan Nia yang mengekori kedatangannya.
"Ayah, Aira mau nasi uduk." pinta Aira. Perempuan mungil dengan rambut kepang dua itu, terlihat sangat cantik dengan seragam sekolah yang ia kenakan. Tiga bulan lagi, Athar juga akan bersekolah, dan Anggis sudah menemukan sekolah yang cocok untuk anaknya.
"Iya, nanti dibuatin Ibu."
Anggis mendengus, merasa malu dengan perkataan Rama. Aira memanggilnya Tante, bukan Ibu seperti yang lelaki itu ucapkan. Tanpa bertanya, ia langsung membuatkan nasi uduk untuk ketiga pelanggannya itu, tentunya dengan porsi berbeda. Aira hanya setengah porsi, Nia sedikit lebih banyak dari porsi Aira, sedangkan lelaki yang memperhatikan kegiatannya itu, tentu saja satu porsi dengan orek tempe yang dua kali lebih banyak!
"Nia, Mbak tinggal ke dalam dulu ya. Nanti kalau ada yang beli tolong panggil aja." pinta Anggis, setelah meletakkan pesanan mereka bertiga. Ia dengan cepat berlalu ke dalam kontrakan. Seperti janjinya, ia harus menghindar dari Rama. Berada di satu tempat dengan lelaki itu semakin tidak baik untuk jantungnya.
Dan seperti inilah Anggis sekarang, duduk diam tanpa melakukan apa pun. Ia pun bingung, tapi menurutnya seperti ini lebih baik. Detik dan menit tak lagi bisa ia hitung. Sampai...
"Anggis?"
Anggis mengusap wajahnya kasar. Dengan cepat berdiri dan tanpa sadar mendorong bahu Rama agar keluar dari kontrakannya. Apa yang sebenarnya lelaki itu pikirkan, kenapa ia senekat ini?
Dorongan yang Anggis lakukan, seolah tak memberikan dampak apa pun pada Rama. Tubuh yang lebih besar darinya itu, tak bergerak sedikit pun. Malah sebaliknya, lelaki itu terlihat bingung, menatap Anggis dengan kening berkerut. "Anggis, kamu kenapa?"
"Kamu yang kenapa?" tanya Anggis kesal. Apa maksudnya masuk tanpa permisi ke dalam kontrakan? Apakah Rama tak memikirkan pandangan orang lain?!
Dan Anggis dengan cepat berlalu, berusaha tak mendengar apa yang Rama ucapkan. Itu tidak penting, tak ada yang harus ia dengar lagi!
***
Seperti janjinya, Anggis tetap berusaha tak menghiraukan keberadaan Rama. Anggis sebenarnya kesal, menyadari semakin ia berusaha menghindar maka kesempatannya untuk bertemu dengan Rama semakin sering terjadi.
Dan itu kembali terjadi sore ini. Anggis yang sedang duduk di teras rumah Bude Lastri, dikejutkan dengan kedatangan lelaki itu. Rama baru saja pulang bekerja, tapi bukannya pulang ke rumahnya, ia malah bertamu ke rumah Bude Lastri. Sebenarnya bukan untuk mengobrol dengan Anggis ataupun Bude Lastri, melainkan dengan Pakde Arif. Tapi masalahnya, kenapa harus duduk berdekatan dengan Anggis?
Oke, Anggis mungkin berlebihan, jarak mereka tidak begitu dekat, tapi bukankah masih banyak tempat kosong yang bisa lelaki itu duduki? Anggis sedang sensitif dengan hatinya sendiri, banyak hal yang ia takuti, termasuk detak jantung yang mulai nakal bergemuruh.
Tapi takut itu, kini berubah menjadi serba salah. Athar yang sedang bermain di halaman rumah, tiba - tiba menghampiri Rama tanpa takut sama sekali. Athar memang duplikat almarhum Ardan, mudah akrab dan pintar berbicara. Dan itulah yang membuat Anggis semakin was - was, ia sedang berusaha menghindar tapi Athar seolah sengaja mendekatkan diri dengan Rama. Atau sebaliknya, Rama yang berusaha mendekatkan diri dengan Athar?
"Athar suka robotnya?"
"Suka! Robotnya pintar, bisa jalan sama diajak ngobrol."
"Om senang kalau Athar suka, besok Om beliin lagi ya."
"Jangan!!" Pekik Anggis. Tak lagi peduli dengan Bude dan Pakde yang terkejut mendengar suaranya. Ia menampilkan wajah marah, berharap Rama takut dan mengurungkan niatnya. Tapi ternyata, wajahnya kini memerah karena melihat senyum dan tawa Rama. Lelaki itu mengangguk, dan membisikkan sesuatu di telinga Athar. Entah apa yang ia bisikan, tapi sialnya Anggis sangat ingin tahu!
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Permintaan Maaf Anggis [END]
Fiksi UmumTakdir hidup siapa yang tahu, begitu pun Anggis. Niat hati meninggalkan yang baik demi sesuatu yang lebih baik, ternyata tak berjalan mulus. Anggis tak lagi diberi pilihan, si baik memintanya kembali, tapi Anggis ragu!