Chapter II

38 16 11
                                    

Nirwana termangu...

Pikirannya berkecamuk mengingat dan mencoba menyimpulkan apa yang terjadi. Kenapa dia dipanggil 'Almathea'? Bagaimana bisa dia disini? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar bagaikan baling-baling kipas yang sudah berbunyi 'ngik-ngik'.

Dia tidak mungkin ada disini tanpa alasan dan penyebab pasti. Tapi pil kekecewaan harus ia telan. Sebab...

Baiklah, mari ke kejadian sebelum dia akhirnya reinkarnasi.

Hari itu, Nirwana atau Almathea, bersama teman-temannya menginap bersama. Sabrina, Devana, dan Nirwana memutuskan untuk menginap bersama di rumah Sabrina.

Hari-hari mereka terasa seperti biasanya. Monoton, bosan, dan sedikit menginap bersama bisa membuat mereka melupakan sejenak hiruk pikuk kehidupan sehari-hari mereka.

"Ah... Capek... Praktek ku belum selesai..." Gumam Devana sambil merebahkan dirinya di ranjang Sabrina yang luas.

"Sama ai, sabar-sabar ja..." Sahut Sabrina dengan bahasa Banjarnya yang sibuk merapikan sedikit kamarnya. Sedangkan Nirwana masih mengemas barang bawaannya.

"Mauk, kebanyakan mendedel..." (Mendedel merupakan aktivitas melepaskan jahitan pada kain dengan alat khusus.)

Sahutan Devana membuat mereka bertiga menghela nafas. Bersekolah di jurusan Tata Busana dan menjadi langganan membongkar ulang jahitan membuat mereka jengah.

Jujur, itu melelahkan. Mengulangi dan mengulangi tanpa dapat gambaran jelas tentang hasil.

Keheningan melanda di kamar sunyi itu, hanya suara mobil dan kendaraan lalu-lalang di luar rumah yang mendominasi ruangan. Lalu, Nirwana memutuskan untuk mengalihkan topik karena tidak betah dengan kesunyian.

"Sakit parut..." Keluh Nirwana. (Parut; artinya perut dalam bahasa Banjar.)

Malaikat pun juga makhluk. Mereka pastinya tidak akan menduga sahutan Devana setelah mendengar celetuk dari Devana. Hanya Tuhan dan Devana yang tau cara berpikirnya.

"Sakit lagi kada beparut." ("Sakit lagi tidak punya perut")

Sabrina dan Nirwana hanya menghela nafas. Mengiyakan saja ungkapan yang secara mengejutkan, bersifat acak tetapi juga benar.

"Eh btw..." gumam Nirwana tiba-tiba, menggantung kalimatnya, membiarkan Devana dan Sabrina penasaran.

"Lawang ganal di samping lemari tu palang nya diambil kah? Pabila??" ("Pintu besar di samping lemari itu, palangnya diambil kah? Kapan?") Nirwana mengutarakan rasa penasarannya.

"Oh, lawang dua di luar kamar itu kah? Lawas sudah"
("Oh, dua pintu di luar kamar itu? Sudah lama") jawab Sabrina.

"Handak melihat..." ("Mau lihat...") Devana bergumam, menatap Sabrina berharap dia mau menjadi pembimbing study tour rumah luas itu.

"Ayo..." Ajak Sabrina. Mereka berjalan menuju pintu yang dimaksud. Pintu besar itu sudah lama nampak terkunci dan berdebu. Warnanya yang coklat gelap membuat pintu itu terkesan seperti barang antik.

Tinggi pintu itu lebih dari dua meter. Nirwana tidak bisa hitung pasti, tapi dengan entah keyakinan darimana, dia tau pintu itu lebih dari dua meter.

"Kawa dibuka lah?" ("Bisa dibuka ga?") Tanya Devana, penasaran sambil menyentuh pintu kayu besar dan berat itu.

"Kawa ai... Kalok..." ("Bisa sih... Mungkin..") Jawab Sabrina dengan ragu. Rasa ingin tau Nirwana mencuat.

Membuat dia berlonjak dengan semangat dan dipenuhi rasa ingin tahu nya.

Angan-angan Di Negeri Sang PemimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang