BEFORE THE INCIDENT

19 5 0
                                    

Sang bagaskara sudah muncul dan menyinari bumi saat aku sedang bersiap untuk pergi ke bioskop bersama Alsa. Kukenakan celana jeans dan kaos warna cokelat muda dengan sedikit sentuhan makeup bernuansa pink.

Aku turun menuju lantai satu untuk bertemu Bunda. Sedangkan Ayah selalu berangkat kerja di pagi buta, tapi Ayah selalu menyempatkan waktunya untuk pulang ke rumah ketika ada hal yang mendesak. Di lantai satu, aku melihat Bunda sedang menyiapkan roti dengan selai strawberry kesukaanku.

Bunda melihat ke arahku dan menyapa, "pagi anak Bunda yang paling cantik."

"Bunda bisa aja, pagi juga Bundaku yang paling cantik sedunia!"

"Ini sarapannya dimakan dulu, sambil nungguin Alsa, ya?"

Dengan riang gembira aku menjawab, "terima kasih Bunda!"

Apapun menu sarapan yang ada di meja makan setiap harinya, pasti selalu enak jika disiapkan oleh Bunda.

Aku melahap sepotong roti dengan selai strawberry dan sangat menikmatinya. Sederhana, namun membuat diri menjadi bahagia, itu yang utama. Sesudah makan roti aku minum teh hangat buatan Bunda.

"Permisi!" suara yang sama terdengar tempo hari.

Aku melangkah menuju pintu depan, membukakan pintu, dan melihat Alsa berdiri tepat di depanku.

Kataku, "selamat pagi, Al!"

Alsa tersenyum simpul, dia terlihat sangat bahagia dengan mengatakan, "selamat pagi juga, Na. Siap untuk membuat kenangan pada hari ini?"

Aku menaikkan alis, "tidak biasanya kamu seperti ini, Al? Sebahagia apa hidupmu saat ini?"

Dia justru tertawa mendengar pertanyaanku. Dengan santai dia menjawab, "aku ingin menikmati hari ini dengan kata-kata yang berbeda dari hari kemarin."

"Ohh, gitu toh? Yaudah, aku juga mau ikut kalau begitu."

"Apakah kamu tidak keberatan jika kita memulai perjalanan sekarang?"

"Sama sekali tidak, aku pamit kepada Bunda dulu, ya?"

"Dipersilahkan."

"Bunda, izinkan Na membuat kenangan bersama Alsa pagi ini," izinku kepada Bunda.

Bunda terheran-heran, "kalian baik-baik saja, kan?"

"Kami? Tentu saja selalu baik, Bunda," Alsa memberikan jawabannya kepada Bunda.

"Yasudah, hati-hati ya kalian? Seperti biasa, jangan ngebut-ngebut!" nasihat Bunda.

Kami berdua mengangguk tanda setuju. Aku mencium tangan Bunda, Alsa pun demikian.

"Dadah Bunda!" pamit kami berdua.

"Nanti waktu pulang, langsung pulang, ya? Jangan pergi lagi, okay?"

"Okay, Bunda, laksanakan!"

𖹭𖹭𖹭𖹭𖹭

Menghirup udara yang belum dipenuhi banyak polusi sangatlah menenangkan. Tidak banyak kendaraan yang berlalu-lalang saat ini, karena masih lumayan pagi untuk jam kerja seseorang. Alsa sengaja memilih berangkat di pagi hari, "Aku ingin kamu menikmati pagi hari ini, Na," katanya.

Bahkan saat sudah menginjak masa remaja, sikap Alsa kepadaku tidak pernah sekalipun berubah. Dia selalu memedulikan segala hal tentangku diatas keinginannya. Dia bisa menerima semua sikapku yang egois dan tidak mau mengalah. Kata-kata yang diungkapkannya, dirangkai dengan bahasa yang halus, dan jarang ditemui pada laki-laki manapun. "Beruntung sekali perempuan yang nantinya jadi milikmu, Al," ungkap ku di jalanan.

A Shoulder to Lean On [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang