Esok harinya saat di kantin sekolah, Rani bertanya kepadaku, "Udah tau kan apa yang ku maksud kemarin?"
Aku membalas, "udah Ran," dengan sebuah anggukan.
"Jadi gimana? Kamu terima?" tanya Rani.
"Nggak, Ran, aku belum bisa terima," balasku.
Raut muka Rani yang tadinya bahagia berubah menjadi kecewa. Terlihat dirinya yang menungguku untuk memulai hubungan baru dengan Alsa dan melupakan Ganesh, tetapi harapannya pupus ketika mendengar jawaban dariku.
"Kenapa nggak kamu coba jalanin dulu, Na? Aku yakin kalau Alsa adalah orang yang tepat, karena dia udah kenal kamu dari kecil juga. Coba buka hati buat Alsa, Na," pinta Rani.
"Aku nolak dia, tapi aku juga egois, Ran."
"Kok egois, Na?"
"Aku egois karena minta Alsa buat bikin aku jatuh cinta sama dia. Tapi tetep aja aku takut bikin Alsa lebih sakit hati karna sikapku ke dia, Ran. Aku takut setelah Alsa punya hubungan sama aku, dia jadi nggak nyaman."
Rani berkata, "Alsa pernah segan sama kamu, Na? Nggak kan? Dia apa-apa juga ke kamu, dia nggak pernah ngerasa nggak nyaman kalau ada di deket kamu, Na. Dia pun bisa menerima semua sifatmu dan segala tingkah lakumu. Dan aku yakin kalau Alsa bisa bikin kamu jatuh cinta sama dia."
Di tengah-tengah percakapan, Alsa datang menghampiri kami ke kantin.
"Na, ini barusan ada titipin dari Bunda buat kamu. Kata Bunda kamu harus makan yang banyak biar tetep sehat dan harus makan sayur juga."
"Dari Bunda atau dari kamu, Al?" tanyaku.
"Dari Bunda buat Ana, aku perantaranya hehe," jawab Alsa.
"Terima kasih buat Bunda, juga kamu ya, Al. Mau makan bareng, nggak?"
"Kamu aja Na, aku udah sarapan kok. Ini Bunda tadi lupa bawain pas kita berangkat, jadi dititipin ke satpam atas namaku."
"Ya ampun, Bunda effort banget bawain bekal buat Na. Na mau cobain deh!"
"Hati-hati, sayurnya masih panas, Na!"
"Aduhh, panas banget ternyata!"
"Sini Na, aku bantuin, ya?" Alsa mulai membukakan sayur dari wadah terpisah dan menganginkannya sebentar agar tidak terlalu panas. Aku melihat perlakuan tulus dari Alsa untukku.
"Ceritanya aku jadi nyamuk, gitu?" kata Rani.
"Nggak Ran, nggak bermaksud gitu. Apa mau aku suruh Ragna buat nemenin kamu di sini?" kekeh Alsa.
"Nggak mau ya!" tolak Rani.
"Ragna? Anak kelas sebelah itu?" tanyaku.
"Iya, Na, kemarin Rani juga cerita kalau Ragna confess ke dia, tapi Rani tolak karena belum berani buka hati."
"Kataku sih gas aja, Ran!" jawabku.
"Kalian kenapa sih kok malah ngedukung aku sama Ragna?"
"Kalau ada yang tulus, kenapa nggak coba buat buka hati dan malah disia-siakan?" kataku.
"Itu kamu sadar, Na?" jawab Rani.
"Maka dari itu aku juga lagi coba buka hati, Ran," Alsa tersenyum mendengar jawabanku.
"Nggak janji ya, Na, aku masih trauma sama kejadian waktu masih sama Tama."
Aku mengangguk mengiyakan perkataan Rani. Kemudian Alsa memberikan sayur yang sudah menjadi hangat itu. Aku mulai menikmati suapan demi suapan masakan Bunda Alsa.
Saat istirahat, aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan karena sudah lama aku tidak mengunjunginya. Aku berniat mencari novel baru, rumornya perpustakaan sekolah sudah menyediakan banyak novel baru untuk para siswa. Hal tersebut didasari karena minat baca siswa-siswi sekolahku sangat tinggi.
Aku menemukan judul buku yang menarik, tetapi buku tersebut berada di rak yang cukup tinggi hingga aku tidak sampai mengambilnya. Tiba-tiba ada seseorang yang mengambilkan novel yang aku mau, dia adalah Alsa.
"Ini novelnya, selamat membaca!" ucap Alsa lirih. Aku terkejut dengan kedatangan Alsa di sana.
"Kok kamu tau aku di sini?"
"Kata Rani, kalau pas istirahat kamu ngilang tandanya kamu ke perpustakaan."
Aku menemukan tempat untuk membaca, ternyata Alsa juga mencari novel untuk dibaca bersamaku. Seperti inikah rasanya library date?
Ternyata seru sekali ya mengetahui banyak orang yang menghargai dan sayang dengan kita. Alsa benar-benar menepati janjinya.
Hari demi hari berlalu, Alsa menjadi lebih dan lebih perhatian kepadaku. Dia menjadi seseorang yang menonjolkan act of service di era gempuran physical touch. Aku suka caranya berjuang untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku suka kegigihannya, kerja kerasnya, sikapnya, dan semua hal yang telah dia lakukan untuk membuatku jatuh cinta.
Dia selalu siap saat aku membutuhkan sandaran dan tempat bercerita. His shoulder is the best place to lean on. Semua curahan hatiku selalu dia dengar dan dia nasihati. Tidak pernah ada kata lelah untuk menghiburku. In a world of boys, he's a gentleman.
Beberapa hari kemudian saat sekolah libur, aku menemui Alsa di rumahnya. Aku mengetuk pintu rumahnya. Ternyata dia yang membukakan pintunya.
"Eh, Na, ada apa?" tanya Alsa.
"Al, kamu sibuk nggak hari ini?"
"Nggak nih, aku mau diajak ke mana?"
"Keliling kota, yuk? Mau nggak?"
"Okay! Aku siap-siap dulu ya, nanti aku jemput ke rumah!"
"Okay, Al!"
Beberapa menit kemudian, Alsa sudah sampai di depan rumahku. Setelah berpamitan, kami berdua mulai motoran mengelilingi kota.
"Na, tumben kamu yang ngajak?"
"Sebenernya, aku mau bilang sesuatu, Al."
"Bilang aja, Na."
"Boleh berhenti di tempat kamu mengutarakan perasaan ke aku waktu itu?"
"Boleh aja!"
Alsa memenuhi permintaanku untuk pergi ke tempat paling indah di kota ini. Sampai sana, aku langsung melihat pemandangan yang indah, dan kemudian membuka pembicaraan.
"Al, terima kasih," ucapku.
"Terima kasih untuk apa, Na?"
"Untuk..."
To be continued...
𓇢𓆸
Pemilik akun whoopschn mengucapkan banyak terima kasih untuk chensbae yang telah meluangkan waktu untuk membaca bagian ketiga ini.
Semoga pemilik akun ini bisa konsisten dalam menulis bab-bab selanjutnya. Selalu dukung whoopschn dengan vote dan comment, ya!
Warm regards,
Whoopschn🌷
KAMU SEDANG MEMBACA
A Shoulder to Lean On [SEGERA TERBIT]
Teen FictionHidup ini memang berat, apalagi ketika memasuki fase jatuh cinta. Untungnya, Anala Naladhipa mempunyai seseorang yang siap menjadi sandaran baginya jika dia sedang tidak baik-baik saja. Namun, seperti yang orang lain katakan, tidak ada kata perteman...