CONCEALED

22 5 1
                                    

Pagi ini, aku tetap berangkat sekolah bersama Alsa. Hari kedua ini tidak banyak orang yang memperhatikanku dan Alsa. Mungkin karena perkenalan kemarin sudah memperjelaskan semuanya, bahwa aku dan Alsa hanyalah teman. Sikap Alsa pagi ini sedikit aneh, dia tidak sekalipun mengajakku bicara, kecuali saat ada di depan rumah.

Sampai di kelas kemudian, Alsa masih jadi bahan gombalan anak-anak jones yang butuh pacar, katanya. Alsa tidak terlalu menanggapi mereka dengan serius. Dia lebih memilih untuk berbincang bersama Rania. "Tumben sekali dia mau interaksi sama perempuan lain," batinku.

"Ran, nanti ketemuan di kafe deket sekolah, ya?" ucap Alsa.

"Okay, mau jam berapa?"

"Jam 17:00 aja gimana?"

"Boleh tuh!"

Sedikit percakapan yang aku dengar dari mereka. "Mereka mau ketemuan? Aku nggak diajak nih?" batinku.

Benar saja, hari ini aku dan Alsa kurang memiliki interaksi antara kami berdua. Saat jam istirahat, aku penasaran dengan apa yang terjadi. Aku pergi ke kantin bersama Rania dan berniat untuk menanyakan hal yang ada sangkut pautnya dengan Alsa. Setelah menemukan tempat duduk dan memesan makanan serta minuman, aku membuka pembicaraan.

"Ran, Alsa ada cerita apa ke kamu? Kok hari ini dia kurang cerita ke aku ya? Tadi aku juga denger kalian mau ketemuan di kafe?"

"Aman kok Na, dia belum cerita apa-apa sih. Kita udah jadi bestie, jadi lumayan deket juga, Na. Iya memang aku sama Alsa mau ketemuan nanti di kafe, buat sharing-sharing aja sih."

Aku hanya menganggukkan kepala dan tidak melanjutkan pertanyaanku. Jawaban dari Rania sudah cukup membuatku sedikit lega, meskipun rasa penasaranku masih ada dan sangat kuat. Aku berusaha memendamnya agar tidak mengarah ke overthinking. Seharusnya aku senang karena Alsa bisa beradaptasi dengan lingkungan yang baru setelah pindah dari luar kota. Dia bahkan bisa langsung akrab dan memiliki teman. Lagi pula, tak selamanya aku akan terus bersama Alsa. Dia harus bisa mengajak berbicara orang lain juga di kelas dan menambah relasi pertemanan. "I'm glad that you feel happy here, Al," batinku.

Pulang sekolah pun tiba, aku menghampiri Alsa dan bertanya, "gimana kalau hari ini aku pulang sendiri? Biar kamu nggak bolak-balik dari rumahku ke kafe deket sekolah, Al."

"Nggak apa-apa, Na, aku udah janji sama Bunda buat jagain kamu. Aku tetep antar kamu pulang, ya?"

Aku tidak menolak, mengingat akan panjang urusannya jika aku pulang tidak bersama Alsa. Dalam perjalanan pulang pun Alsa masih saja diam, lagi-lagi tidak ada percakapan antara kami berdua.

Alsa sepertinya buru-buru ingin bertemu dengan Rania. Sampai rumahku, dia langsung pamit dan tidak mampir terlebih dahulu. Aku mengiyakan.

Bunda membukakan pintu dan berkata, "Lho, biasanya Alsa mampir dulu, langsung pulang?"

Aku mencium tangan Bunda lalu menjawab, "Nggak Bun, Alsa balik lagi ke kafe deket sekolah buat ketemuan sama Rania."

Bunda hanya menganggukkan kepala dan tidak memberikan komentar apapun. Aku langsung bersih-bersih dan berniat untuk mengerjakan tugas, tapi malah ketiduran.

Alsa's pov :

Aku kembali menuju jalan ke sekolah. Sebenarnya aku tidak cukup hanya diam saat mengantar Ana ke sekolah juga ketika pulang. Tapi, aku tidak ingin menambah beban di pikiran Ana karena sikapku yang aneh dan kurasa terlalu dekat dengannya meskipun kami berdua sudah kenal sejak kecil.

Kemarin pun teman-temannya mengira bahwa aku ini adalah pacarnya. Aku merasa bersalah telah menambah beban pikiran Ana. Aku menuju kafe dengan kecepatan yang terbilang tinggi, 80 km/jam. Ana sudah melarangku, namun aku harus cepat untuk pergi ke kafe.

Saat sampai di kafe, ternyata Rania sudah ada di sana. Dia langsung melambaikan tangannya ke arahku. Aku pun membalas lambaian tangannya, kemudian menuju tempat pemesanan untuk memesan secangkir kopi. Setelahnya baru menuju tempat di mana Rania duduk.

"Gimana Al? Ada yang bisa aku bantu?"

"Ran, kamu udah kenal lama ya sama Ana?"

"Eh, Ana? Nala maksudnya?"

"Ah iya, aku terbiasa memanggil dia Ana sejak kecil."

"Iya, aku sudah lama kenal dengannya, ada apa?"

" Aku yakin kamu bisa menjaga rahasia ini, Ran. Aku ingin memberitahumu sesuatu. Aku suka sama Ana, sudah lima tahun lamanya aku memendam perasaan ini. Aku juga tau dia baru saja patah hati, aku tidak mau dia merasa sedih. Apa yang bisa aku lakukan?"

"K-kamu, suka sama Nala? Sudah lima tahun? Alsaki, kamu kok bisa memendam rasa begitu lamanya? Kenapa tidak jujur saja kepadanya?" mata Rania melotot tidak percaya dan raut mukanya kaget.

"Laki-laki memang jagonya memendam perasaan, Ran. Jika memang aku bukan tipe dari orang yang kusuka, aku nggak akan mengutarakan perasaanku ke dia. Karena ya percuma saja, aku suka dia, tapi dia nggak suka sama aku."

"Tapi kamu cakep, Al. Menurutku, Nala nggak mungkin juga sih nolak kamu. Kenapa nggak dicoba dulu?"

"Cakep aja nggak cukup buat nembak cewek, Ran. Kata hati itu tidak bisa dilawan. Mau seganteng apa orang, kalau bukan dia yang diinginkan tetap saja ditolak. Lagi pula, Ana hanya menganggap aku sebagai temannya dari kecil. Sulit untuk memenangkan hatinya, Ran."

"Kamu masih punya kesempatan buat dapetin hatinya kok, Al. Percaya deh sama aku. Waktu itu, dia pernah cerita sedikit tentang kamu. Dia kangen sama kamu karena udah lama nggak ketemu. Itu bisa jadi peluang buat kamu masuk ke hatinya Nala, Al. Jangan pesimis dulu sebelum memulai."

"Dia kangen, tapi tetap saja menganggap aku sebagai temannya, Ran."

Di sela-sela pembicaraan, kopi pesananku sudah sampai. "Pesanan atas nama Kak Alsa, iced coffee Americano less sugar ya, Kak?" ucap pelayan kafe.

"Iya Kak, terima kasih!" aku menerima pesananku. Percakapanku dan Rania pun berlanjut.

"Coba dulu, Al. Bicarakan baik-baik, setulus hatimu yang udah suka sama dia selama lima tahun lamanya. Langsung besok aja nggak sih? Kalau terlalu lama, nanti dia direbut sama orang lain, gimana?"

Aku berpikir sejenak, mencerna seluruh perkataan Rania. Sebenarnya aku juga tidak yakin bahwa mengutarakan perasaan adalah hal yang tepat untuk mengobati rasa sakit hati Ana. Karena peristiwa itu terjadi belum lama ini, mungkin saja Ana punya sedikit trauma dengan pengungkapan perasaan. Aku mulai bertanya kembali kepada Rania.

"Kalau ditolak?"

"Tinggal cari cewek lain, gampang kan, Al?"

"Ran... Dikira gampang ngelupain orang yang disukai?"

"Hahaha, bercanda Al," kekeh Rania. "Masalah ditolak atau diterima itu belakangan, Al, yang paling penting itu Nala udah tau kalau kamu suka sama dia. Jadi dia bisa mempertimbangkan jawabannya, Al. Menurutku kamu nggak mungkin ditolak sama Nala."

"Menurutku bisa jadi ditolak, Ran. Dia bisa aja belum ngelupain ex-crush-nya itu."

"Mau dicoba dulu nggak, Al? Pesimis terus kamu ini."

"Boleh aja sih, aku udah siap kok kalau semisal ditolak."

Rania mengacungkan jempolnya kepadaku. Aku dan Rania menikmati minuman pesanan kami dan langsung pulang saat sudah selesai meminumnya. Aku kembali ke rumah dengan jantung yang berdebar karena aku memutuskan jika hari esok aku akan mengutarakan perasaan kepada Ana. Aku berharap hal itu terjadi dengan lancar.

Pov end.

To be continued...

𓇢𓆸

Pemilik akun whoopschn mengucapkan banyak terima kasih untuk chensbae yang telah meluangkan waktu untuk membaca bagian keempat belas ini.

Semoga pemilik akun ini bisa konsisten dalam menulis bab-bab selanjutnya. Selalu dukung whoopschn dengan vote dan comment, ya!

Warm regards,

Whoopschn🌷

A Shoulder to Lean On [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang