Solar sudah mulai bekerja sebagaimana mestinya. Padahal (Nama) kira, Solar udah bangkrut makanya menganggur terus di rumah. Ternyata (Nama) salah.
Karena Solar yang sudah mulai bekerja juga, maka dari itu rutinitas (Nama) juga kembali pada awalnya. Walaupun Solar masih tak mengizinkan (Nama) banyak-banyak bergerak. Katanya, Solar akan memantau tiap gerak-gerik (Nama) lewat CCTV. Dan kalau (Nama) ketahuan melakukan hal yang berbahaya, Solar akan langsung menyeret (Nama) ke rumah sakit. Tanpa perbincangan lebih lanjut.
Solar ini memang jadi was-was sendiri. Padahal (Nama) bukanlah boneka kaca yang mudah pecah. Dahulu saja, (Nama) sering dibanting sama Borara. Gak kenapa-kenapa tuh.
Oh iya. Ngomongin soal Borara, (Nama) belum ada mendapat kabar soal ayahnya itu selepas pernikahan. Sudah berbulan-bulan loh, masa iya ayahnya benar-benar berhemat hingga uang hasil menjual (Nama) masih cukup? Padahal (Nama) sudah memperkirakan tanggal-tanggal Borara akan meminta uang. Tapi ya sudahlah. Siapa peduli. Borara binasa juga (Nama) jadi lega.
(Nama) kembali menoleh pada jam dinding. Rasa-rasanya, waktu berjalan lambat sekali. Padahal (Nama), sudah merindukan Solar.
Kali ini, (Nama) benar-benar menanti akan kedatangannya Solar. (Nama) udah masakin Solar nasi goreng spesial, telornya dua. Tapi Solar kok, belum pulang-pulang sih.
Ceklek.
Wajah muramnya (Nama) itu langsung berubah sumringah begitu mendengar suara pintu terbuka. Padahal (Nama) tak mendengar suara mesin mobilnya. Eh, apa karena (Nama) yang kebanyakan bengong ya? Mungkin aja sih. (Nama) kan kangen berat sama Solar.
"Sol—" sambutan dari (Nama) yang hendak memeluk Solar terhenti. Karena Solar yang menahan kepala (Nama) untuk mendekat padanya.
"Oh?" (Nama) menoleh ke atas. Menatapi lengan Solar yang masih menahan jidatnya (Nama).
(Nama) mengerjap tak mengerti. Kenapa pula (Nama) ditahan begini? Padahal (Nama) mau peluk-peluk Solar.
"Gua kotor, (Nama). Habis dari luar. Jangan biasakan peluk-peluk," katanya.
(Nama) menatap datar Solar.
"Emangnya kotor kenapa? Lagian, kamu kan suami akuu!" Kedua lengan (Nama) kembali terbuka, hendak memeluk Solar sebagaimana niat awalnya.
Solar tak menyangka. Bahkan Solar sampai menggunakan kedua tangannya untuk menahan (Nama) yang hendak mendekat. (Nama) ini dibilangin susah banget sih. Solar melarang juga demi kebaikannya (Nama). Seberat apapun Solar menginginkan pelukannya (Nama), Solar lebih tak ingin menjadi penyebab penularan virus antah-berantah yang dibawanya dari luar. (Nama) kan, habitatnya di rumah. (Nama) jarang banget keluar. Makanya Solar takut imun tubuh (Nama) lemah.
"(Nama). Gua bilangin jangan, ya jangan. Batu banget sih?" Solar berdecak lidah. Kedua daun telinganya memerah karena ucapan (Nama) yang mulai dengan lantang mengucapkan bahwa Solar adalah suaminya.
"Alay."
—
Ya Tuhan. Demi apapun, demi jagat raya, demi semesta. Dari lubuk hati Solar yang paling paling banget dalam, sedalam palung mariana, Solar memohon. Tolong kuatkan imannya Solar.
Sedari tadi, selepas Solar membasuh diri, sudah wangi dan bersih dari kuman-kuman, (Nama) terus-terusan memeluknya. Bahkan disaat Solar menyantai di sofa dengan berkas-berkas pekerjaannya, (Nama) masih setia menemani dengan lengannya melingkari tubuhnya Solar.
"Udahan dulu peluknya, (Nama). Gua.. masih harus nyusunin ini," Solar berusaha menarik pergelangan tangannya (Nama) melepaskannya.
(Nama) menggeleng. Solar dapat merasakan gelengan kepala (Nama) dari samping tubuhnya. (Nama) menempelinya bagaikan bayi koala. Memang Solar suka, tapi tak baik untuk jantungnya Solar. Bisa-bisa Solar terkena serangan jantung.
"Masaa kamuu di kantor kerja, di rumah juga kerja lagii?? Kamu udah gak sayang aku lagi?" Duh. Duh. Tuh kan, (Nama) jadi mewek.
Solar sendiri enggak ngerti. Kenapa pula sifat mereka jadi berkebalikan begini? Padahal, sejak pernikahan mereka, Solar berani-berani saja tuh mengganggu (Nama). Tapi sekarang, setelah mengetahui perasaan (Nama) padanya, melihat wajahnya (Nama) saja Solar tak bisa. Bisa mati rasanya.
"Enggak gituu, (Nama)... haish." Solar frustasi. (Nama) memang biasanya mood swing, tapi setelah mereka jadi lebih dekat begini, mood swing (Nama) jadi makin parah.
Sebenarnya, berkas-berkas dokumen tadi itu enggak ada urgensinya sama sekali. Solar sengaja, biar gak keliatan canggung kalau lagi bareng (Nama). Solar enggak bisa benar-benar mengontrol diri kalau (Nama) ada disekitarnya. Presensinya saja, sudah dapat mengacak-acak isi hatinya Solar. Mengalahkan naluri pemikirannya. Tiap gerak-geriknya yang ada menyangkut tentang (Nama) tak memerlukan logika. Solar bergerak atas perintah dari hatinya, perasaannya.
Helaan nafas panjang lolos dari bibirnya. Kertas-kertas itu dibiarkannya tergeletak di atas meja, sedangkan lengannya membawa (Nama) mendekat pada tubuhnya. Walaupun mungkin Solar terlihat biasa saja, nyatanya rasanya Solar akan pingsan detik ini juga karena berada di proximity yang begitu dekat dengannya.
"Hehehe," (Nama) malah cengengesan.
Suasananya hening, keduanya hanya menikmati detak jantung yang dapat dirasakan dari kedua tubuh mereka yang menempel dengan satu sama lain. Tak ada yang ingin memulai percakapan, bahkan Solar. Solar sendiri, lebih memilih untuk memainkan mahkota rambut sang dara, selagi (Nama) duduk anteng di pelukannya.
"Solar," panggil (Nama).
"Hm?"
(Nama) tak lekas menjawab. Malahan, (Nama) memilin kaus bajunya Solar. Yang dimana, Solar jadi heran lagi apa maunya (Nama) kali ini.
"Kamu.. kenapa enggak pernah nagih jatah?" Tanya (Nama).
Jatah? Solar mengernyitkan dahi. Maksudnya hubungan suami istri? Solar tak mengerti kenapa bahasanya ada banyak sekali. Maklum lah ya, lingkungan mereka berbeda.
"Dengar, (Nama). Gua nikahin elu karena cinta. Gua pengen nyelamatin lu dari siksaan bokap lu. Di saat itu juga, kita kan.. enggak dekat-dekat amat. Karena cuma gua yang suka waktu itu."
Wah gila. Ternyata Solar romantis banget. (Nama) jadi terharu.
"Tapi kan, udah kewajibannya istri buat nurut sama suami..." (Nama) menyatukan telunjuknya.
"Gua enggak mau maksa. Cinta bukan selamanya perkata nafsu semata, (Nama). Ngeliat elu sehat dan banyak tingkah begini aja, gua udah seneng. Ngeliat elu lahap makan aja, gua bahagia, (Nama). Teramat." Kata Solar.
"Asalkan lu bahagia, gua rela hidup bermandikan darah. Jadi gak usah sok-sokan overthinking begitu. Gak cocok," dengus Solar.
"Jadii.. bukan karena kamu belok?" Pertanyaan (Nama) itu membuat Solar tak bisa berkata-kata.
"Ya enggaklah. Lu yang bener-bener aja." Solar menyentil dahinya (Nama). Enak saja orang se-kece Solar ini dikata berotak miring? Solar ini 100% berada di jalan yang lurus tanpa kesesatan.
"Kann kirainn," kekeh (Nama).
(Nama) pun semakin gencar memeluk Solar. Hingga rasanya, Solar pun tak lagi bisa bernafas dengan leluasa. Tapi biarlah, asalkan (Nama) bahagia.
"Jadi, kalau semisalnya aku kasih jatah, kamu beneran gamau?"
"Hah?" Beo Solar.
—
KAMU SEDANG MEMBACA
Hatred Towards You | Solar x Reader
FanfictionSebuah cerita fiksi Solar x Reader | Pernikahan ialah suatu adat yang dilakukan untuk mengikat kedua insan berbeda gender untuk selalu bersama dalam suka dan duka. Akan tetapi, tak jarang dijumpai rumah tangga yang hancur karena pernikahan yang di...