Epilog

257 46 15
                                    

Kalau sudah berkeluarga itu, pastinya suasana di rumah menjadi ramai, bukan? Karena hadirnya para buah hati yang kerap membuat orangtua jengkel pada sikap-sikapnya, tapi tak ayal, kasih sayang yang dimiliki para orangtua itu lebih luas dari samudra. Hingga tak dapat terkalahkan oleh apapun di dunia ini.

Tapi sepertinya, hal tersebut tak berlaku bagi (Nama).

(Nama) berkacak pinggang memandangi anak-anaknya yang duduk berjejer dengan anteng. Masing-masing dari mereka membaca buku tebal, yang tak (Nama) ketahui sejak kapan mereka mengambilnya. Tak hanya sifat Solar yang mendominasi kepribadian anak-anak mereka ini, bahkan fisik dari ketiganya merupakan cerminan dari Solar sendiri. Ha.ha.ha. Sudah percobaan yang ketiga kalinya pun, (Nama) tak kunjung berhasil mengalahkan gen Solar yang lebih dominan. Apa boleh buat.

"Ah. Mama, kenapa berdiri disitu? Sini duduk disampingnya Aya." Tangan mungilnya itu menepuk-nepuk lantai beralaskan karpet yang tengah menjadi tempat perkemahan bagi tiga bersaudara ini.

"Mama mau baca bareng Kak Cahaya, Cahya, sama Cahyani?" Tanya si anak ke-dua, Cahya.

"Mama! Cahyani mau belajar coding!!" Satu-satunya saudari diantara para saudara itu mengacungkan tangannya.

(Nama) melihat tiga Solar disini.

Setelah puas lama-lama berdiri, (Nama) pun akhirnya membaur dengan anak-anaknya. Memandangi buku-buku yang tengah dibaca dengan antusias oleh masing-masing dari mereka. Oh astaga, apa pula yang bocah seperti mereka ini baca? Padahal, (Nama) sendiri bukan tipe murid ambis. Ini pasti gen milik Solar lagi.

"Coding? Kamu mau ambil ilmu komputer, Cahyani?" Cahaya, Sang kakak tertua bertanya.

Cahyani, dengan rambut coklat yang dikepang dua dihiasi dengan pita di masing-masing ikatan itu mengangguk semangat. Oh ya ampun, Cahyani itu masih TK.

"Aku sih, mau ngambil hukum." Sekarang giliran si anak kedua, Cahya, mengutarakan cita-citanya. Astaga Nak, umurmu loh masih enam tahun.

(Nama) hanya bisa tersenyum. Ini anak-anaknya lagi bahas apa? Anak-anaknya lagi main rumah-rumahan, ya kan? Solar, cepatlah pulang.

"Keren ya, adik-adiknya Kak Aya." Si kakak tertua kini tersenyum bangga memandangi adik-adiknya itu.

"Kalau Kak Aya, mau ngambil apa?" Cahyani bertanya.

"Niatnya mau fakultas kedokteran sih. Tapi kata Papa, mending pikirin aja dulu." Cahaya berkeluh kesah. Lalu kemudian, tatapannya beralih menatap ibunya yang hanya diam menyimak pembicaraan mereka.

"Mama." Perasaan (Nama) tidak enak.

"Iyaa?" (Nama) merapikan anak rambutnya yang berantakan. Entah kenapa, rasa-rasanya (Nama) seperti menghadapi ujian setiap harinya karen terus-terusan diteror pertanyaan-pertanyaan dari para buah hati.

"Menurut Mama, Aya cocoknya ambil jurusan apa?" Tanya Cahaya.

Waduh. (Nama) jadi keringat dingin. Boro-boro nentuin anaknya mending milih jurusan yang mana, (Nama) sendiri bahkan enggak tamat SMA.

"Sayang-sayangnya Mama, Mama sama Papa enggak menuntut apa-apa pada kalian. Satu-satunya harapan kami, hanyalah agar kalian dapat tumbuh besar dengan raga yang sehat, dengan kebahagiaan yang menyertai." Lengan (Nama) tergiur untuk mengelus pucuk kepala Cahaya, duplikatnya Solar dengan sifat anak baik-baik.

"Enggak harus ranking satu, enggak harus juara olimpiade, enggak harus kuliah. Kesemua hal itu adalah pilihan kalian sendiri. Mama dan Papa hanya akan mendukung kalian, apapun jalan yang kalian pilih," sambung (Nama).

Ketiganya terdiam karena perkataan (Nama). Mereka saling memandang satu sama lain. (Nama) terkekeh karena pemandangan yang begitu menggemaskan di matanya. Anak-anaknya ini seolah sedang melakukan telepati.

"Tapi Ma, orangtua dari teman-temannya Cahya, semuanya mewajibkan teman-teman Cahya untuk belajar." Jelasnya.

"Iyaa! Menduduki peringkat terakhir itu, seolah hal yang tabu bagi mereka." Cahyani mengangguk setuju.

Aduh. (Nama) bisa diabetes ditatapi oleh tiga Solar. Semuanya lucu-lucu gemesin. (Nama) jadi pingin nambah anak.

"Pembelajaran itu diperlukan agar kalian dapat membedakan yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruknya. Lagipula, Mama percaya sama anak-anaknya Mama! Kalian itu anak-anak yang rajin. Mama sama Papa bangga sekali menjadi orangtua kalian, Nak." Kini gilirannya si bungsu, Cahyani, yang menjadi sasarannya. (Nama) menangkup wajah mungil putri kecilnya dan mengecup singkat sisi wajahnya.

Si bungsu Cahyani meronta-ronta dari pelukan ibunya. Geli katanya. Yang ditanggapi oleh kekehan dari kedua kakak laki-lakinya.

"Aya juga bangga, karena terlahir sebagai anaknya Mama." Ucap Cahaya, dengan senyuman yang mirip dengan senyuman tulusnya Solar. Namanya juga bapak anak.

"Mama. Makasih, karena sudah membesarkan kami dengan kasihh sayangmu." Cahya kini memeluk (Nama), menghimpit Cahyani— sang adik, di antara keduanya.

"Aduh aduh. Anak-anaknya Mama kok lucu-lucu banget?" (Nama) terkekeh.


Ceklek.

Keempatnya langsung sumringah. Baik ibu maupun anak-anaknya saling bersitatap dengan senyuman yang menyertai. Sebuah rutinitas yang telah berjalan sejak mereka menempati rumah ini.

"(Nama), lu dima—"

"Papa!" Teriak dari ketiganya.

Sebelum diterjang oleh anak-anaknya, Solar terlebih dahulu menahan mereka dengan memeragakan rambu stop dengan lengannya.

"Papa belum mandi. Bau. Jangan peluk-peluk dulu, ya." Solar jadi deja vu. Anak-anaknya ini tingkah lakunya mirip (Nama) semua.

"Tapi Papa, Papa kan kerjanya cuma duduk di kantor." Cahyani mengerucutkan bibirnya. Ceritanya sedang kesal.

"Iyaa. Papa kan bosnya. Masa kerja sampe berkeringat?" Cahya ikut-ikutan ngambek.

"Ruangan Papa kan pake pendingin ruangan. Masa Papa bisa berkeringat?" Curiga si Cahaya.

Nah loh. Solar jadi bingung sendiri. Ini (Nama) ngasih makan anak-anaknya apaan? Perasaan, tiga-tiganya lahirnya normal. Lah kok tumbuh gede jadi bocah-bocah jenius begini? Ngomong-ngomong soal (Nama), istrinya ini kemana coba?

Sepasang tangan melingkar melintasi dadanya Solar bahkan tanpa Solar sadari. Tiba-tiba saja istrinya ini sudah berdiri di belakangnya. Licik sekali ibu dan anak-anaknya ini. Mereka bersekongkol untuk memperdayai Solar. Untung Solar sayang.

"Tertangkap! Hehe," (Nama) menampilkan deretan giginya, begitu lengannya mengunci pergerakan Solar.

Setiap pulang kerja, Solar sama sekali enggak mau dipeluk siapa-siapa. Katanya takut menularkan virus yang terbawa dari luar. Tapi malangnya, istri dan ketiga anaknya ini sama sekali enggak peduli.

Sekarang, di rumah ini Solar harus menghadapi empat orang (Nama). Solar mendesah frustasi, "Jangan, (Nama)..."

"Serbuu, anak-anak!" Pekik (Nama), tak membiarkan Solar lolos begitu saja.

Cahaya, Cahya, dan juga Cahyani ikutan tertawa menyaksikan harmonisnya hubungan antara ibu dan ayah mereka. Mereka saling melempar pandang, sebelum akhirnya menyerbu Solar dengan pelukan hangat untuk menyambut kepulangannya.

"Selamat datang, Papa!" Ucap istri beserta anak-anaknya dengan serentak. Masih setia memeluknya dengan penuh kehangatan.

"Kalian semua menyebalkan," ucapnya. Tetapi senyumnya merekah begitu lebar, begitu akhirnya impiannya terwujud dengan begitu indah.

Semua penderitaan yang dilaluinya benar-benar terbayarkan.

Bahkan, jika manusia diberikan kesempatan untuk mengulang waktu, Solar akan tetap menjalani hidupnya yang sekarang ini. Mendapatkan siksaan, menyaksikan berulang kali (Nama) menghilang dari pandangannya, hingga akhirnya Tuhan mempercayainya untuk menghidupi tiga buah hati yang akan dijaganya sepenuh hati.

Terimakasih atas karunia-Mu, Tuhan.

—TAMAT—

Hatred Towards You | Solar x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang