Chapter 10

204 43 7
                                    

Di rumah sakit,

"Iihh, buat apa make kursi roda? Ga mau!" (Nama) menggeleng kuat.

Solar berkacak pinggang. Padahal Solar kira, kalau Solar sengaja membeli kursi rodanya, (Nama) akan langsung menurut dan duduk manis. Tapi ternyata Solar salah.

"Pasien gak boleh banyak protes." Solar pun bergegas menggendong (Nama), namun saat hendak menempatkan (Nama) di kursi rodanya, (Nama) memberontak.

"Enggak mauuuu, Solar!! Gua enggak lumpuh!" (Nama) menggerak-gerakkan kedua kakinya, yang membuat Solar semakin kesusahan.

Enggak sih. Solar mana mungkin kesusahan. Cuman ya, (Nama) itu kan tangannya lagi luka dua-duanya, di gips pula. Kalau (Nama) mencak-mencak begitu kan, Solar takutnya luka (Nama) malah makin parah.

"Ck. Diem, (Nama). Elu juga pasti masih lemes karena baru sadar. Toh, make kursi roda bukan cuma buat orang lumpuh." Solar mengeratkan cengkramannya pada tubuh (Nama); satu tangannya berada di pundak (Nama), sedangkan yang satunya lagi di bagian belakang kedua kakinya (Nama).

(Nama) bukannya overreacting atau gimana-gimana. (Nama) beneran trauma sama yang namanya kursi roda.

Pernah dulu, (Nama) dihajar habis-habisan oleh Borara karena beasiswanya dicabut. Padahal, (Nama) tak melakukan apa-apa. Kedua kaki (Nama) berakhir dipukuli dengan rotan. Karena hanya sedikit lowongan kerja yang menerima lulusan tingkat SMP. Borara benar-benar murka pada kala itu, karena (Nama) juga sudah dijanjikan posisi bagus di restoran kalau sudah lulus, tapi malangnya beasiswa (Nama) dicabut begitu saja tanpa peringatan apapun.

Berakhirlah (Nama) jadi tak bisa berdiri dengan tumpuan kedua kakinya sendiri. Borara bahkan tak segan-segan meninggalkan (Nama), hingga (Nama) akhirnya ditolong oleh Fang yang kebetulan lewat di gang sekitaran rumahnya (Nama). Fang bergegas membawa (Nama) ke rumah sakit, sampai-sampai dokter merekomendasikan (Nama) untuk menggunakan kursi roda. (Nama) diantar pulang dengan baik oleh Fang. Tapi tidak dengan Borara.

Borara mendorong kursi rodanya (Nama) ke tepian jurang. (Nama) yang tak bisa apa-apa, jadi mengalami luka yang lebih parah lagi.

Ceklek

Pintu rumah terbuka.

"Gua bisa jalan tauuu. Lagian, yang luka juga tangan gua. Enggak perlu make kursi roda begini!" Pekik (Nama) kesal.

Pasalnya, Solar ini keras kepala sekali kalau sudah menyangkut soal kehidupannya (Nama). Padahal (Nama) itu tipe yang ayo-aja-gwe-mah. Di rumah sakit tadi juga, Solar sampai memancing perhatian orang-orang, cuma agar (Nama) akhirnya mengalah dan menurut untuk duduk di kursi roda.

"Diam atau gua cium?" Pertanyaan Solar itu berhasil membungkam (Nama).

Solar pun membawa (Nama) memasuki ruangan mereka, setelah mengunci pintu rumah. Kalau ditanya, Solar sudah tahu. Solar tahu mengapa (Nama) begitu takut dengan kursi roda. Gila saja Solar berani mengaku cinta pada (Nama) kalau Solar bahkan tak dapat mengetahui hal-hal yang tak disukai (Nama). Orang-orang dengan harta, selalu memiliki cara mereka sendiri untuk mengais informasi di masa lampau.

Cukup sudah dengan bacotannya. Solar jadi khawatir karena (Nama) benar-benar terdiam setelah mendengar ancamannya. Padahal, Solar enggak serius.

Setelah menghela nafas, Solar pun berjongkok di hadapan (Nama) yang masih di kursi roda.

"(Nama), gua tanya satu hal. Lu percaya gua?" Solar menatap (Nama) lamat.

(Nama) perlahan mengangguk. Seberapa menyebalkannya Solar, (Nama) selalu selamat sentosa saat berada di dekatnya.

"Makanya gak usah takut, oke?" Salah satu dari kedua lengannya Solar terangkat, mengusap lembut sisi wajah (Nama) yang tampak hendak menangis.

"Huu.." (Nama) malah jadi semakin ingin menangis karena perlakuannya Solar.

Pasangan yang satu ini memang cukup berbeda dari pasangan lainnya. Tak seorangpun dari keduanya yang tumbuh besar di lingkungan yang baik. Tak seorangpun dari keduanya yang merasakan hangatnya kasih sayang, indahnya kekeluargaan. Makanya, baik (Nama) maupun Solar, keduanya sama-sama tidak tahu bagaimana caranya bertindak sebagai sepasang kekasih.

Solar tumbuh besar tanpa hadirnya sosok ibu yang seharusnya mengajarkan hal yang baik dan benar pada anaknya. Solar tak pernah diajarkan caranya memberikan kasih sayang, tak pernah sekalipun.

Maka dari itulah, Solar ingin mengusahakan yang paling terbaik saat berkeluarga. Solar ingin membahagiakan istrinya, Solar ingin memberikan kasih sayang yang melimpah— yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya. Walaupun mungkin, ada kalanya Solar-lah yang membutuhkan kasih dari istrinya, ucapan-ucapan semangat yang akan menguatkan dirinya untuk terus bertahan. Walaupun Solar tak tahu-menahu segalanya tentang cinta. Tetapi, cinta itulah yang membuat Solar terus bertahan hidup.

"Dengar, (Nama). Mulai sekarang, tak akan ada rasa sakit lagi..." Kedua tangan Solar menangkup wajah istrinya yang mulai terisak-isak.

"Aku ada disini, di sisimu. Melindungimu sampai akhir hayatku." Itu adalah kalimat terakhir yang diucapkan Solar, sebelum akhirnya tangisan (Nama) pecah dan memenuhi kamar mereka.

Sepanjang tangisannya (Nama), Solar hanya diam mendengarkan. Membiarkan luapan emosi (Nama) tertuju padanya. Kedua matanya terpejam, selagi jari-jarinya mengusap air mata yang kian membasahi sisi wajah (Nama). Solar tahu, hilangnya keberadaan orangtua yang seharusnya mengasihi buah hatinya benar-benar berdampak besar. Seorang Ayah, yang seharusnya merupakan cinta pertamanya malah menjadi sumber kesakitannya. Solar paham.

Betapa beruntungnya Solar, karena bisa memiliki (Nama)— yang terasa mustahil baginya. (Nama) adalah bentuk terindah, dari baiknya Tuhan padanya. Solar telah melalui segala cobaan-Nya, dan hal yang menunggunya di balik semua siksaan serta cercaan itu adalah (Nama). (Nama), seseorang yang begitu murni diinginkan olehnya.

Tak peduli sekeras apapun bayaran yang harus dibayarkannya untuk memiliki (Nama).

Bahkan, jika waktu diputar kembali, Solar akan tetap memilih terlahir sebagai seorang 'Solar von Gamma,' terlahir sebagai putra cacat dari Retak'ka. Dihantui oleh tekanan untuk menjadi sempurna meskipun terlahir secara tak sempurna, dihina, dicambuk, dibohongi, dikhianati. Apapun itu tak masalah.

Karena pada akhirnya, (Nama) akan berada di sampingnya. Sebagai pasangan yang akan menemani Solar hingga maut memisahkan.

Kenyataan hidup yang dijalaninya tak seberapa, dibandingkan nikmat yang dirasakan saat menikmati waktu-waktunya bersama (Nama).

Kala waktu Solar tak sanggup untuk bangkit dari kegagalan, maka bayang-bayang (Nama) akan terus terputar dalam benaknya, menjadi alasan untuk terus bangkit dari tiap-tiap kejatuhannya.

Dua raga yang lelah, dua jiwa yang begitu terluka. Keduanya benar-benar dihakimi secara sepihak. Tapi hal itu tak lantas menjadi alasan, bahwa mereka tak layak mendapat kebahagiaan.

Bersama dengan kasih, keduanya dapat membagikan cinta yang tak pernah mereka dapatkan, hanya dari presensi satu sama lain.

Tak ada lagi tangis histeris, tak ada lagi permohonan maaf, tak ada lagi cemoohan, tak ada lagi paksaan. Hanya ada mereka berdua, sebagai pasangan suami-istri yang akan menjalani kehidupan.

"Solar.. A-aku, aku mencintaimu. Terimakasih.. atas segalanya." (Nama) mengatakannya disela-sela tangisnya.

Serasa waktu terhenti, hatinya pun tergelitik mendengar kalimat ajaib yang selalu dimimpikannya. Walaupun dunia membenci, Solar akan tetap menjadi dirinya sendiri, karena (Nama) mencintainya. Sebagaimana Solar pun mencintai (Nama).

Seorang lelaki tak pantas menangis di hadapan seseorang yang begitu berarti untuknya. Seorang suami, harusnya tegar untuk menghadapi segala cobaan, agar istrinya tak perlu mengkhawatirkannya. Tapi Solar, tak dapat menahan tetesan kebahagiaan yang mulai membasahi permukaan wajahnya. Keduanya berlinang air mata, tapi hati bernafas lega.

Solar mengusap air matanya, mengeluarkan kekehan untuk menghilangkan tangisnya. Kedua lengannya mulai membawa (Nama) mendekam dalam pelukannya, membiarkan detak jantungnya membisikkan kebenarannya.

"Aku juga mencintaimu, (Nama). Tak perlu terimakasih atas segala hal yang kulakukan untukmu."

Hatred Towards You | Solar x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang