Chapter 11

245 42 19
                                    

Walaupun berat rasanya untuk sekedar membuka kelopaknya, (Nama) memaksakan dirinya untuk bangun. Setelah mengerjap untuk beradaptasi dengan pencahayaan dikala pagi, (Nama) pun lekas mendudukkan dirinya dengan bersusah payah. Menjalani kesehariannya tanpa dapat menggunakan kedua tangannya itu begitu menyiksa.

Kedua sisi wajahnya kini mulai terasa panas, setelah menyadari bahwasanya Solar memeluknya sepanjang malam. (Nama) malu, akibat dari pengakuan dari masing-masing mereka. Perasaannya terbalaskan, yang rasanya begitu aneh untuk menjadi kenyataan. Segala halnya tentang Solar terasa begitu berbeda sekarang.

Entah kenapa, sedari tadi jam weker milik Solar tak kunjung berbunyi. Padahal, (Nama) memang sengaja menunggu. Tapi rasanya, Solar sengaja tak mengaktifkannya, mungkin agar tidurnya tak terganggu. Perutnya (Nama) jadi terasa tergelitik.

Grep!

"Mau kemana?" Cekalan Solar pada fabrik gaun tidurnya (Nama) entah kenapa begitu kuat, padahal Solar baru bangun.

".. Aku, mau masak..." (Nama) memalingkan wajah.

Alis Solar menekuk. Aduh. Gawat. (Nama) secara tidak sengaja membuat Solar emosi di pagi hari yang cerah secerah hatiku padamu. Solar memejamkan matanya seraya menghembuskan oksigen keluar dari mulutnya. Solar lalu melepaskan cekalan tangannya, berangsur mengacak-acak rambut tidurnya. Tetap waspada. (Nama) enggak mau salfok sama kemeja Solar yang enggak terkancing rapi. Soalnya tadi malam, (Nama) enggak bisa berhenti menangis. Maka berakhirlah (Nama) tertidur di pelukannya Solar.

"Lu lapar?" Solar bertanya dengan mata yang menahan kantuk. (Nama) jadi merasa bersalah.

(Nama) menggeleng.

"Engga si.." gumam (Nama).

Setelah mengutarakan jawabannya itu, (Nama) kembali dibawa berbaring di atas matras kasur empuk milik mereka berdua. Dengan lengannya Solar yang memenjarakan (Nama).

"Yaudah, tidur aja lagi. Gua masih ngantuk." Salah satu lengannya Solar mengelus-elus pucuk kepalanya (Nama). Solar dengan senang hati mengeloni (Nama) agar (Nama) kembali tertidur di pelukannya.

"Mhm..." (Nama) berdehem.

(Nama) bersyukur karena Solar masih mengantuk dan langsung terlelap begitu saja. Kalau tidak, Solar pasti sudah akan mengejek (Nama) yang sudah memerah 'bak kepiting rebus.

"Duduk manis disitu," tukas Solar.

(Nama) mengangguk sajalah. Semenjak (Nama) terluka, Solar jadi semakin cerewet. Bawel. (Nama) duduk tanpa bantuan Solar saja, Solar marah. Padahal, (Nama) kan duduk enggak pakai tangan.

Setelah puas tidur tambahan tadi, Solar langsung membopong (Nama) ke dapur untuk membuatkan sarapan. Kedua kaki (Nama) masih berfungsi dengan baik kok, Solar saja yang melebih-lebihkan.

Sekarang (Nama) hanya bisa memandangi Solar yang sibuk mempersiapkan sarapan mereka berdua. Bapak rumah tangga. (Nama) enggak pernah tau kalau Solar mahir memasak. Lagian, Solar ternyata bisa melakukan segalanya. Terus, kenapa pula selama ini Solar meminta (Nama) yang melakukannya? (Nama) tak habis pikir.

Setelah puas mengotak-atik dapur dengan sesuka hatinya, Solar pun menghidangkan makanan sehat dan sangat sempurna itu di hadapannya (Nama). (Nama) terharu. (Nama) udah lama enggak ngerasain rasanya diperhatiin sama orang lain. Solar bisa aja.

"Solar..." (Nama) mengerucutkan bibirnya, hendak menangis karena perilaku Solar yang mendadak membuat hati (Nama) teriris oleh kebahagiaan. Soalnya biasanya Solar itu cuma bisa bikin (Nama) esmoci.

"Hem," Solar berdehem. Ia lantas duduk tepat di samping (Nama), selagi mengangkat piringan (Nama) tadi untuk menyuapi (Nama) dengan sepenuh hati. Padahal, (Nama) belum bilang apa-apa.

Hatred Towards You | Solar x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang