Prolog

521 67 34
                                    

Pernikahan itu menakutkan. Teramat menakutkan.

Ikatan tak kasat mata yang membelenggu kebebasan dari kedua insan konstan membawa malapetaka serta bencana yang begitu besar, entah bagi Si lelaki maupun perempuan.

Ketidaksiapan untuk hidup berdampingan dengan pasangan yang akan menemani hingga akhir hayat, hanya akan memperburuk situasi.

Berulang kali telah diutarakan olehnya. Sekeras apapun gadis itu menentangnya, dirinya tak pernah didengar. Keputusan tak pernah berada di tangannya. Gadis itu— (Nama), tak diberikan hak untuk menolak.

"Ayah, Aku mohon. Apapun, asalkan jangan pernikahan ini." Gadis itu mengeluarkan isak tangis, seraya duduk bersimpuh memohon kepada 'Ayahnya' yang telah mengatur segalanya.

"Aku mohon, Ayah. Aku ingin memilih suamiku sendiri, Aku juga ingin.. merasakan kebahagiaan," pintanya.

Plak!

Tamparan pahit itu membawanya kembali pada realita. Ah, mengapa pula gadis itu mengharapkan belas kasihan? Dirinya-lah yang paling tahu, hanya dirinya yang paling mengerti sifat angkuh dari ayahnya itu.

Masih dengan terisak, (Nama) dipaksa untuk mendongakkan wajah, karena rambut panjang yang terurai miliknya digenggam secara kasar oleh Borara untuk membuatnya menatap langsung ke wajah murka Si Borara.

"Enggak usah belagu. Kita itu orang miskin. Mau dapat uang makan darimana kalau kamu sok jual mahal begitu?" Murka Si Ayah.

"Masih syukur ada orang yang mau menampung. Jadi gak usah macam-macam, Maya." Pria paruh baya itu melepaskan cengkeramannya pada helaian rambut putrinya itu.

(Nama) mengusap wajahnya. Selalu saja begini. Setiap perkataan yang dilontarkan Ayahnya seolah adalah perintah mutlak yang tak boleh dibantah. Ingin sekali dirinya membangkang, tapi yang akan dihadapinya hanyalah pukulan-pukulan menyakitkan dari ayahnya itu.

"Namaku (Nama), Ayah."

Bahkan, Sang Ayah saja tak mengingat nama dari anak sematawayangnya.

Laki-laki itu makhluk yang menjijikan. Sepanjang hidupnya, (Nama) tak ernah sekalipun menjumpai sosok lelaki yang benar-benar memuliakannya.

Semua laki-laki itu sama.

Mereka hanyalah pecundang yang dikuasai nafsu sesaat, yang kemudian akan mencampakkan segalanya.

Dan kini, (Nama) pula yang harus menghadapi situasi serupa. Mengulangi kesalahan fatal yang telah diperbuat oleh Ibunya yang telah tiada; mempercayai kata-kata Ayahnya.

Dirinya dijual dengan harga tinggi, kepada entah siapa. Ayahnya bahkan tak pikir panjang dalam mempertimbangkannya. (Nama) jadi merasa bahwa dirinya adalah seorang pelacur. Mempersembahkan raganya kepada pria antah-berantah demi uang. Harga dirinya sudah hancur, tak dapat lagi (Nama) mengangkat wajahnya. (Nama) tahu malu. Begitu banyak pekerjaan serabutan yang dikerjakannya demi menghasilkan pendapatan, tetapi Ayahnya tak pernah merasa puas.

Gaun putih yang melilit figurnya itu terasa menyesakkan. Langkah-langkah kecilnya menuju altar pernikahan— dengan didampingi oleh Sang Ayah, sama sekali tak membahagiakan yang dikiranya. Padahal, momen ini adalah momen yang sangat ditunggu olehnya. Saat-saat (Nama) akhirnya dapat terbebas dari jeratan Sang Ayah. Tapi malangnya, takdir berkata lain.

Pernikahan langsung diselenggarakan, setelah Ayahnya mendapatkan uang yang diinginkan. (Nama) tak tahu pasti, berapa nominal yang begitu menggiurkan. Tapi setidaknya, uang itu tak akan pernah cukup untuk Sang Ayah. Mengingat keborosan darinya.

Hatred Towards You | Solar x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang