Chapter 6

211 45 16
                                    

Kicauan dari para burung membangunkan Sang dara. (Nama) mengusap wajahnya, berusaha untuk menghilangkan kantuk yang masih menguasai. Lalu (Nama) tersadar, ada sebuah lengan yang melingkari tubuhnya. Apa-apaan? (Nama) lantas menoleh pada Solar; suaminya. Solar tertidur nyenyak, entah sengaja ataupun tidak sembari memeluk (Nama). Yah, mereka sudah sah sih. Lagian (Nama) yakin Solar enggak sengaja meluk (Nama), karena Solar itu tipe yang enggak bisa tidur kalau enggak ada guling.

(Nama) kemudian menyingkirkan lengannya Solar dan beranjak bangkit dari tempat tidur. Kedua lengannya menjuntai ke atas, untuk meregangkan otot-otot tubuhnya yang lelah berada di posisi tidur yang sama selama berjam-jam lamanya. (Nama) benar-benar tidur nyenyak semenjak menjadi istrinya Solar. Mungkin, karena (Nama) percaya bahwasanya Solar tak akan melakukan hal-hal buruk padanya, tak seperti ayah kandung (Nama) sendiri.

(Nama) lekas memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, (Nama) pun pergi ke dapur. Mengacak-acak isi kulkas yang dipenuhi begitu banyak bahan-bahan makanan, sebelum akhirnya memasak menu sarapan untuk dirinya dan suaminya.

Setelah diceramahi begitu panjang lebar oleh Solar, (Nama) pun mulai belajar dari kesalahannya. (Nama) tak lagi 'pelit' dalam memasak. Karena Solar selalu saja berkomentar pasal itu.

"SOOOLAAAAAAARRRR!! BANGUUUN!" (Nama) berteriak.

Kedua tangannya menghidangkan masakannya yang baru jadi, selagi terus-menerus berteriak memanggil Solar. Solar ini manja sekali, setiap pagi, wajib (Nama) bangunkan. Kalau enggak, Solar enggak mau bangun.

Padahal, (Nama) ingat banget dulu sewaktu masih sekolah, Solar ngakunya kalau dia orang yang gampang terusik. Bahkan suara tikus saja dapat membangunkan Solar. Lantas, kenapa sekarang bahkan teriakan (Nama) yang menggelegar tak dapat membangunkannya? (Nama) jadi harus repot-repot ke kamar lagi, menggoyang-goyangkan tubuhnya Solar— atau bahkan menampar pipinya untuk membangunkan Solar.

"Haduh.." (Nama) mendesah frustasi.

Sebelum menuju kamar, (Nama) menyempatkan untuk membasuh kedua tangannya di wastafel. Kan kasihan Solar kalau matanya jadi pedas gara-gara (Nama) yang enggak cuci tangan.

(Nama) berdiri dengan berkacak pinggang. Lagi-lagi pemandangan yang didapati (Nama) ialah Solar yang tengah memeluk gulingnya. Wong kok unik. Tapi ya sudahlah. (Nama) sedikit membungkukkan tubuhnya, sambil menoel-noel lengannya Solar.

"Solarrr. Banguunnn," katanya.

"Mhm.. lima menit lagi," racau Solar, ia malah semakin mengeratkan pelukannya pada guling kesayangan (Nama).

(Nama) mendengus. Padahal (Nama) sudah bangunin baik-baik. Kalau begini kan, (Nama) jadinya harus memakai opsi yang kedua.

"Bangun atau gua siram?!!" Ancamnya.

Solar yang mendengar ancaman itu pun langsung bangkit dari tidurnya. Kantuknya kini telah sirna, mengapa? Karena Solar benci air dingin. Solar pernah sampai demam karena (Nama) menyiramnya dengan air. Padahal, Solar kalau mandi itu selalu disediain air hangat sama (Nama), tapi (Nama) malah nyiram Solar make air dingin :(

"Siap, Kanjeng Ratu."

Solar pun terbirit-birit pergi ke kamar mandi, sebelum (Nama) mengancam lebih jauh lagi.

(Nama) menghela nafasnya. Jadi ibu rumah tangga itu tidak mudah. Apalagi kalau suaminya itu Solar.

Selagi Solar membersihkan diri, (Nama) membuka lemari pakaian. Lengannya terulur dan mengambil setelan jas yang sudah disetrika, dengan kemeja putihnya sekaligus. (Nama) lalu meletakkan setelan formal itu di atas kasur, agar Solar tidak heboh menanyakan keberadaan-keberadaan barang-barang miliknya. Dirasa sudah beres, (Nama) pun beranjak ke dapur.

Solar yang sudah rapi dengan jas formalnya itu menghampiri (Nama) yang ada di dapur. Biasalah, rutinitas. Solar mengulurkan dasi pada (Nama). Memang banyak mau. (Nama) pun mau tak mau membantu Solar memasang dasinya agar terlihat rapi dan lebih nyaman dipandang. (Nama) yang fokus memakaikan Solar dasi, tak akan menyadari, bahwa semua hal yang dipinta Solar hanyalah modus semata.

"Udah nih," (Nama) membetulkan posisi dasinya yang agak miring.

Solar mengangguk sambil membetulkan jasnya yang sempat tertekuk, "Makasih, Jelek."

(Nama) tak mempedulikan ejekannya itu. Sudah biasa. Lagian, (Nama) enggak pernah insecure soal muka. Menurut (Nama) sih, wajahnya lumayan. Enggak buluk-buluk amat.

Piring yang berisikan masakan empat sehat dan sangat sempurna itu digeser (Nama) pada Solar yang baru saja mendudukkan dirinya di meja makan. Sebelum ikut mendudukkan diri, (Nama) menyeduh teh hangat pada gelas milik Solar. Soalnya Solar enggak demen minum kopi.

Solar sih, aslinya seneng banget. Ingin rasanya teriak, tapi Solar masih tahu malu. Masih belum waktu yang tepat kalau kata Solar. (Nama) memang aslinya kalem dan tidak banyak tingkah, makanya Solar enggak suka. Bukan, Solar enggak sukanya bukan karena itu sih. Solar enggak suka, karena (Nama) enggak bakal pernah cerita ataupun mengeluh soal hal-hal yang membuatnya kesal ataupun sedih. Solar enggak mau (Nama) memendam segalanya. Makanya Solar rela-rela saja dipukuli (Nama), asalkan (Nama) enggak memendam segalanya seorang diri. (Nama) yang suka bertingkah kekanakan pun, sebenarnya karena (Nama) yang ingin meluapkan emosinya. Contohnya ambil saja pada kasus cemburu tempo hari lalu, (Nama) benar-benar meluapkan kekesalannya dengan mencaci maki Solar. Oleh karena itulah Solar senang-senang saja saat dibentak. Asalkan (Nama) baik-baik saja, Solar tak masalah.

"Um.. Solar." (Nama) memanggil. Tatapan mata (Nama) terpaku pada makanan yang terhidang di piringnya.

Solar memiringkan kepalanya. Jarang-jarang suasana hati (Nama) muram begini.
"Apa?"

(Nama) tak lekas menjawab. (Nama) terlihat ragu-ragu, yang membuat Solar semakin penasaran. Apa ada yang mengganggu (Nama)? Siapa orangnya? Solar akan hajar sampai tak terbentuk.

"Makasih," gumam (Nama) malu-malu.

Solar mengerjap karena gumaman (Nama) itu. Makasih kenapa? Tiba-tiba banget? Mendadak begini? (Nama) sakit kah? Haduh, ini salahnya Solar. Harusnya Solar enggak bawa (Nama) keluar malem-malem, (Nama) bisa aja masuk angin.

"Makasih... Kenapa?" Solar bertanya was-was. Solar berulang kali berdoa dalam hati, agar semua pikiran buruk yang singgah di pikirannya bukanlah hal yang dimaksudkan (Nama).

"Karena udah.. jadi suami yang baik." Kedua pipinya (Nama) memerah karena perkataan jujur dari lubuk hatinya itu.

Solar terdiam terpaku. Jujur saja, rasanya jantung Solar berhenti berdetak. Solar bisa pingsan saat ini juga. Solar bahkan sampai menjatuhkan utensil makan miliknya.

"Itu doang? Yaelah. Gua kira apaan," balasnya. Walaupun ketus begitu, aslinya jantungnya Solar sedang berdetak tak karuan. Solar sampai lupa caranya bernafas.

(Nama) mengerucutkan bibirnya, "Diam."

Menyaksikan respon dari (Nama), Solar terkekeh. Oh Tuhan, sungguh bahagianya ciptaanmu yang satu ini karena telah Engkau persilahkan untuk merasakan kebahagiaan yang sedari dulu diinginkan olehnya. Solar tak akan pernah berhenti mengucap syukur, karena dapat membahagiakan (Nama) sebagai istrinya.

"Sama-sama, sayang."

A little fun fact:

Yup, Solar emang aslinya orang yang gampang bangun, gais. Terbukti dari omongannya waktu dulu itu, Solar lagi pamer soal kelebihannya. Solar memang sengaja pura-pura tidur setelah kebangun karena suara alarm dari hpnya. Solar mau nunggu sampai (Nama) bangunin, kalau (Nama) enggak bangunin, Solar enggak mau bangun. (Nama) yang nyiapin bajunya Solar diatas kasur mereka juga modusnya Solar. Solar suka banget digituin sama (Nama). Solar juga suka waktu dipasangin dasi, biar Solar bisa ngeliat wajah (Nama) dari dekat sewaktu (Nama) bangun. Karena biasanya Solar cuma bisa ngelihat dari dekat waktu (Nama) tidur nyenyak. Pokoknya semuanya udah direncanain Solar.

Terkadang kalau Solar lagi sakit, Solar juga bakal modus minjem tangan (Nama) buat diletakin di kepalanya. Katanya tangan (Nama) dingin, padahal mah, emang aslinya mau dielus-elus (Nama).

Kenapa Solar bucin sama (Nama)? Jawabannya akan terungkap di chapter lain, hehehehe.

Hatred Towards You | Solar x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang