Chapter 3

272 61 28
                                    

Solar hari ini tak pergi bekerja. Lebih tepatnya— Solar mengambil izin untuk tidak hadir. Mengapa? Karena perkara anomali— Ayahnya yang sekarang duduk bersebrangan di hadapannya Solar. Tiada angin, tiada hujan, tiada badai, Retak'ka tiba-tiba datang berkunjung. Jadi Solar mau tak mau menghadapi Sang Ayah tercinta.

"Ayah. Ada perlu apa sampai kemari?" Solar bertanya lembut, senyuman cerah terpancar dari wajahnya. Tapi oh, jangan terperdaya. Itu semua hanyalah topeng, tipu muslihatnya.

Retak'ka hanya diam, dan menatap Solar dengan intens. Wajah Retak'ka terangkat dengan angkuh, tatapan matanya begitu tajam.

"Salah? Ku hanya mau menengokmu dan istrimu," ucap Retak'ka.

Solar menanggapinya dengan senyum. Kaki kirinya naik ke pangkuan kaki kanannya, punggungnya bersandar pada sandaran sofa untuk merilekskan diri.

"Tidak kok. Ayah bebas mau berkunjung kapan saja. Tapi lain kali, mohon beritahu dulu. Siapa tahu Solar sama istri lagi enggak di rumah, lagi kencan gitu." Solar membalas dengan ramah.

Dari arah dapur, muncullah (Nama) yang memegang nampan berisikan dua buah gelas dengan tekonya sekaligus. (Nama) tremor. (Nama) grogi hebat. Bagaimana tidak? (Nama) sama sekali enggak kenal dengan Retak'ka. Berterimakasihlah pada Solar yang tak pernah menyinggung soal keluarganya. (Nama) dengan perlahan meletakkan nampannya di atas meja, dan menyeduh teh untuk masing-masing suami dan mertuanya.

"Tehnya, silahkan diminum, erm, Ayah..?" (Nama) berucap dengan kikuk.

Retak'ka hanya menatap (Nama) dengan tatapannya yang menusuk hingga ke paru-paru. Nyali (Nama) jadi menciut. (Nama) takut. Kalau dari gosipnya waktu sekolahan dulu, teman-temannya dulu bilang kalau Ayahnya Solar ini suka main mukul. Enggak jauh beda sama Ayahnya (Nama).

Menyadari (Nama) yang terdiam membisu, Solar lekas menarik lengan (Nama) ke belakang. Membuat (Nama) jadi terduduk tepat di sampingnya.

"Oh ya, Ayah. Mumpung Ayah disini juga, Solar mau ngomongin soal.. anak haramnya Ayah, Halilintar." Solar berkata dengan tenang, senyuman senantiasa menemani disaat Solar menambahkan tiga sendok teh gula ke gelas miliknya.

Alis tak kasat mata milik Retak'ka menekuk. Bersamaan dengan itu, (Nama) menelan salivanya.

"Kenapa soal Halilintar?" Retak'ka menyilangkan lengan.

Suara dentingan dari sendok terdengar saat hening melanda. Solar sibuk melarutkan gula yang ada pada tehnya itu. Selagi membiarkan Retak'ka menunggu jawabannya.

"Soal warisan tentunya. Begini," Solar menetralkan ekspresinya. Kini, tak ada lagi senyuman menawan miliknya. Raut wajahnya tak jauh berbeda dengan Retak'ka.

Solar kembali menegakkan punggungnya, netra abu yang jarang dijumpai itu bertabrakan dengan netra coklat milik Retak'ka. Selagi saling menatap, Solar mengoperkan teh yang sudah diberi gula olehnya kepada (Nama). (Nama) yang masih gugup setengah mati itu pun dengan lemot menerima tehnya.

"Secara garis besar, yah, walaupun Solar tak begitu paham. Ayah membutuhkan kesenangan, sebagai seorang pria. Padahal bagi Solar, satu wanita saja sudah cukup. Tapi okelah. Oke. Baik. Tapi tetap saja, Solar tak bisa terima jika Ayah hendak membagi harta warisan sama rata. Enggak adil bagi Solar," katanya.

"Lantas? Anak itu juga darah dagingku. Ia tak memiliki salah apapun." Retak'ka menggesekkan gigi-giginya.

(Nama) hanya bisa duduk manis di antara dua pria yang kini menjadi anggota keluarganya. (Nama) hanya bisa berdoa, semoga saja tak ada pertumpahan darah di reuni ini.

"Lucu sekali. Apa karena Halilintar lahir duluan, makanya Ayah menganggapnya anak? Tapi ya, sudahlah. Solar enggak pernah ngelarang Ayah membagi warisan pada Halilintar. Tapi itu tergantung dari rasionya," Solar mengeluarkan kekehan sarkas.

Hatred Towards You | Solar x ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang