20. A Stroll Through the Past

1 0 0
                                    


happy reading

jangan lupa vote & komen

🥐🥐🥐


Pagi di Paris, seperti biasa, penuh dengan energi dan keramaian. Suara lalu lintas, aroma kopi segar, dan bau roti yang baru dipanggang menyapa setiap penduduk kota yang memulai hari mereka.

Ethan dengan jaket tebal dan tas di bahunya, melangkah keluar dari apartemennya, senyum kecil di wajahnya. Hari ini adalah hari istimewa.

Beberapa minggu telah berlalu sejak pertemuan pertama Ethan.dengan Isabelle di toko rotinya, dan selama itu, kehidupan Ethan perlahan berubah.

Dari awal yang canggung dan terbatasnya kemampuan berbahasa Prancis, kini Ethan bisa berbicara lebih lancar, meski kadang-kadang harus memutar otaknya untuk mencari kata yang tepat.

Isabelle telah menjadi bagian penting dalam kehidupannya di Paris. Setiap kali Ethan mampir ke toko roti, Isabelle selalu menemaninya dengan senyum ramah dan cerita-cerita menarik tentang sejarah dan kebiasaan orang lokal.

###

Hari ini, mereka sepakat untuk bertemu bukan di toko roti, melainkan di Jardin des Tuileries, salah satu taman paling ikonik di Paris. Isabelle ingin menunjukkan kepada Ethan sisi Paris yang lebih tenang, jauh dari hiruk pikuk turis dan jalanan yang ramai.

Setelah berjalan selama beberapa menit, Ethan melihat Isabelle menunggunya di dekat pintu masuk taman. Dia mengenakan mantel wol abu-abu dan syal merah yang melilit lehernya, rambutnya tertiup angin. Senyumnya yang cerah seperti biasa menyambut Ethan.

“Salut!” kata Isabelle, melambaikan tangan dengan penuh semangat.

Salut, Isabelle,” jawab Ethan sambil mencoba menjaga logatnya tetap terdengar alami.

“Ça va? Bagaimana harimu sejauh ini?” tanya Isabelle dengan senyum.

“Ça va bien, merci. Hari ini dingin, tapi aku sudah siap untuk petualangan,” jawab Ethan dengan tawa ringan.

Mereka mulai berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah taman. Bunga-bunga musim gugur yang tersisa masih mekar di beberapa sudut, sementara daun-daun mulai jatuh dan memenuhi tanah, memberikan nuansa hangat di tengah udara dingin.

“Jadi, Isabelle, kenapa kamu pilih tempat ini untuk hari ini?” tanya Ethan, penasaran.

Isabelle menoleh padanya dengan senyum misterius. “Aku pikir ini tempat yang sempurna untuk melarikan diri sejenak dari kota. Paris itu bukan hanya tentang gedung-gedung megah atau toko roti kecil, tapi juga tentang sejarah dan tempat-tempat tersembunyi yang tidak banyak orang tahu. Jardin des Tuileries ini punya cerita panjang, dan aku ingin berbagi sedikit denganmu.”

Ethan tersenyum, tertarik dengan ceritanya. Dia memang tertarik dengan budaya dan sejarah Prancis, dan Isabelle selalu punya cara untuk membuat sejarah menjadi hidup. “Katakan, aku siap mendengar cerita sejarah kamu yang berikutnya.”

Isabelle tertawa pelan sebelum memulai. “Baiklah, tahukah kamu bahwa taman ini dulunya adalah bagian dari istana yang sangat besar? Istana Tuileries, dibangun pada abad ke-16 untuk Ratu Catherine de' Medici. Tapi istananya sendiri dihancurkan selama masa revolusi, hanya taman ini yang tersisa sebagai pengingat sejarah yang panjang.”

Ethan mendengarkan dengan kagum. Dia selalu tahu bahwa Paris penuh dengan cerita, tetapi mendengar langsung dari seseorang yang tumbuh di sini memberikan perspektif yang lebih dalam.

“Wow, jadi kita sedang berjalan di tempat di mana ratu dan bangsawan dulu juga berjalan?”

Isabelle mengangguk. “Benar sekali. Dan sekarang kamu, seorang mahasiswa dari Amerika, sedang menikmati suasana yang sama. Lucu bagaimana waktu berubah, ya?”

Ethan tertawa. “Benar. Kadang aku lupa bahwa setiap sudut kota ini punya sejarah. Hidup di sini rasanya seperti melangkah mundur ke masa lalu.”

Saat mereka melanjutkan perjalanan, obrolan mereka berubah dari sejarah menjadi sesuatu yang lebih pribadi. Isabelle menceritakan tentang keluarganya, toko roti yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, dan bagaimana dia selalu ingin menjaga tradisi keluarganya tetap hidup, meskipun dunia terus berubah di sekitarnya.

Sementara itu, Ethan mulai terbuka tentang tantangannya tinggal di negara asing. “Jujur saja, kadang rasanya berat tinggal di sini. Aku tahu Paris itu indah dan penuh inspirasi, tapi jauh dari rumah... itu tidak mudah. Ada saat-saat di mana aku merasa sendirian di tengah semua keindahan ini.”

Isabelle menatapnya dengan simpati. “Aku bisa mengerti. Pindah ke negara yang berbeda, dengan bahasa dan budaya yang berbeda, pasti sulit. Tapi kamu tidak sendirian, Ethan. Aku di sini, dan aku yakin kamu punya teman lain juga.”

Ethan tersenyum, merasa sedikit lega. “Terima kasih, Isabelle. Sejak bertemu denganmu, aku merasa lebih diterima di sini. Bukan cuma soal bahasa yang kamu ajarkan padaku, tapi juga bagaimana kamu membuat Paris terasa lebih seperti rumah.”

Isabelle tersenyum hangat. “Paris memang bisa terasa seperti rumah, jika kamu menemukan orang yang tepat di dalamnya.”

Mereka berdua berhenti sejenak di depan kolam air mancur yang tenang, memandangi air yang memantulkan langit biru cerah di atas mereka.

Suasana begitu damai, dan di saat itulah Ethan menyadari betapa berartinya Isabelle dalam hidupnya sekarang. Dia bukan hanya seorang kenalan di toko roti lagi, tetapi seseorang yang membawa cahaya dalam harinya yang terkadang suram.

“Isabelle,” kata Ethan perlahan, mengumpulkan keberaniannya. “Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi... aku sangat senang bisa bertemu denganmu. Kamu telah membuat hidup aku di sini jauh lebih baik daripada yang aku bayangkan.”

Isabelle menatapnya dengan mata lembut, lalu tersenyum kecil. “Kamu juga, Ethan. Aku juga senang bisa mengenalmu. Kita berdua belajar dari satu sama lain, dan itu hal yang sangat berharga bagiku.”

Mereka terus berjalan lagi, kali ini dalam diam yang nyaman. Tidak perlu ada kata-kata tambahan. Mereka tahu bahwa hubungan mereka telah tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan biasa.

Saat matahari mulai terbenam dan langit berubah menjadi warna oranye dan merah muda, mereka berdua berdiri di pinggir taman, melihat ke arah jalanan Paris yang mulai dipenuhi lampu kota.

“Mungkin suatu hari nanti, kita bisa punya lebih banyak momen seperti ini,” kata Ethan, setengah bercanda, setengah serius.

Isabelle menatapnya dan tersenyum, matanya berkilau dalam cahaya senja. “Mungkin kita bisa.”




🥐🥐🥐

tbc




wow ini chapter yg lumayan panjang chapter lain 900 words haha, vote & komen nya oke!

A Parisian Encounter | ANTON RIIZE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang