21. The Language of Feelings

1 0 0
                                    

🥐🥐🥐

flashback sebelum Ethan nembak  Isabelle ( chapter 12)


Pagi di Paris selalu terasa istimewa bagi Ethan, namun belakangan ini, ada sesuatu yang berbeda. Udara segar yang membawa aroma croissant dan kopi seakan-akan lebih hidup, dan langkah-langkahnya menuju toko roti Isabelle lebih ringan dari sebelumnya.

Setelah berbulan-bulan belajar bahasa, Ethan mulai merasa lebih percaya diri berbicara dalam bahasa Prancis, meskipun kadang masih ada kata-kata yang tersangkut di tenggorokannya.

Hari ini, dia memutuskan akan melakukan sesuatu yang lebih berani. Sudah terlalu lama dia menyimpan perasaannya untuk Isabelle, gadis lokal yang membuat setiap hari di Paris terasa lebih berarti.

Mereka sudah berbagi begitu banyak momen hangat—tawa, canggungnya belajar bahasa, dan perbincangan panjang tentang budaya. Namun, ada satu hal yang belum ia sampaikan. Perasaan yang ia rasakan lebih dari sekadar kekaguman atau persahabatan.

Saat dia tiba di depan toko roti kecil yang kini sudah terasa seperti rumah kedua, pintu terbuka dengan denting lembut lonceng di atasnya. Isabelle berdiri di balik meja kasir, sibuk dengan pelanggan. Senyum hangatnya terpancar saat dia melihat Ethan masuk.

Salut, Ethan! Toujours à l'heure!” seru Isabelle sambil melambaikan tangan, menyadari bahwa Ethan selalu datang tepat waktu di pagi hari.

Ethan tersenyum dan mendekati konter. “Oui, je ne veux jamais manquer ça. Toujours impatient de venir ici.” (Ya, aku tidak ingin melewatkan ini. Selalu tidak sabar untuk datang ke sini.)

Mereka tertawa, lalu Isabelle dengan cekatan mengambil pain au chocolat favorit Ethan dan menyerahkannya padanya. Namun, hari ini bukan hanya soal roti. Ethan merasakan detak jantungnya semakin cepat.

Saat toko mulai sepi, Ethan menatap Isabelle dan mengumpulkan keberaniannya. “Isabelle, il y a quelque chose dont je dois te parler…” (Isabelle, ada sesuatu yang harus kubicarakan denganmu…)

Isabelle, yang sedang merapikan etalase roti, berbalik dengan alis terangkat, jelas-jelas tertarik. “Quoi donc? Ça a l’air sérieux,” jawabnya, setengah bercanda, tetapi ada nada lembut dalam suaranya. (Apa itu? Sepertinya serius.)

Ethan menarik napas panjang. Dia sudah memikirkan kata-kata ini berulang kali, tetapi kini saat tiba waktunya, segalanya terasa jauh lebih menegangkan.

“Depuis que je suis arrivé à Paris, j'ai appris beaucoup de choses. La langue, la culture... mais il y a quelque chose d'autre que j'ai appris. Je t'ai appris.” (Sejak aku tiba di Paris, aku telah belajar banyak hal. Bahasa, budaya… tapi ada sesuatu lagi yang telah kupelajari. Aku telah mengenalmu.)

Isabelle tertawa kecil, tetapi ada kehangatan dalam pandangannya. “Ethan, tu deviens vraiment poétique. Et alors?” (Ethan, kamu benar-benar jadi puitis. Jadi?)

Ethan menggeser posisinya, mencoba menahan rasa gugup. “Ce que je veux dire, c'est que… tu es plus qu'une amie pour moi. Je pense à toi tout le temps. Et je me demande si... tu ressens la même chose.” (Apa yang ingin kukatakan adalah… kamu lebih dari seorang teman bagiku. Aku memikirkanmu sepanjang waktu. Dan aku ingin tahu apakah… kamu merasakan hal yang sama.)

Keheningan sejenak memenuhi ruang kecil itu, hanya diisi oleh bunyi mesin kasir yang berdengung di latar belakang. Isabelle menatapnya dengan tatapan terkejut, seolah-olah mencoba memastikan bahwa dia benar-benar mendengar apa yang baru saja dikatakan Ethan.

Kemudian, dengan senyum kecil yang perlahan melebar, Isabelle meletakkan tangannya di meja dan menjawab dengan lembut, “Ethan... tu es adorable. Je savais que tu étais en train de me dire quelque chose, mais je ne m'attendais pas à ça.” (Ethan.... kamu sangat manis. Aku tahu kamu ingin mengatakan sesuatu, tapi aku tidak menyangka ini.)

Dia melangkah lebih dekat ke Ethan, melihat langsung ke matanya.

“Moi aussi, je pense souvent à toi. Mais je voulais te laisser le temps de t'adapter ici. Je ne voulais pas te mettre mal à l'aise.” (Aku juga sering memikirkanmu. Tapi aku ingin memberimu waktu untuk beradaptasi di sini. Aku tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman.)

Ethan merasa dadanya melonggar, seolah-olah beban berat yang dia bawa selama berminggu-minggu akhirnya terangkat. “Alors… tu veux dire que tu… tu ressens la même chose?” (Jadi… maksudmu, kamu juga merasakan hal yang sama?)

Isabelle mengangguk pelan, senyum lembut menghiasi wajahnya. “Oui, Ethan. Mais je pense qu'il y a encore beaucoup à découvrir. Et je suis prête à le faire avec toi, si tu l'es aussi.” (Ya, Ethan. Tapi aku pikir masih banyak yang harus kita pelajari. Dan aku siap menjalaninya bersamamu, jika kamu juga siap.)

Ethan, yang biasanya begitu canggung dengan bahasa Prancisnya, tiba-tiba merasa segala sesuatunya menjadi jelas. Seolah-olah kata-kata mengalir dengan mudah saat dia berbicara dari hati. “Je suis prêt. On peut apprendre ensemble.” (Aku siap. Kita bisa belajar bersama.)

Mereka berdua tersenyum, dan di tengah-tengah toko roti yang sunyi, di sana hanya ada mereka berdua dan janji akan hubungan yang lebih dari sekadar persahabatan.

Di luar, Paris bersinar di bawah matahari pagi yang hangat, dan Ethan merasa, untuk pertama kalinya sejak ia tiba, bahwa ia benar-benar telah menemukan tempatnya—bukan hanya di kota ini, tetapi di hati seseorang.




🥐🥐🥐

tbc

A Parisian Encounter | ANTON RIIZE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang