Langit sore yang mendung melukiskan bayang-bayang keemasan di atas perbukitan yang melingkupi lingkungan Crescent Hills. Deretan rumah mewah berdiri megah di antara pepohonan maple yang menjulang, masing-masing seolah berlomba untuk mencerminkan kesempurnaan yang tak terjangkau. Jalan-jalan tertata rapi, dengan trotoar yang bebas dari noda, dan taman-taman kecil di halaman depan dihiasi bunga-bunga yang mekar, seperti cerminan hidup yang sempurna dari mereka yang tinggal di dalamnya.
Di sanalah Lila, Emma, Sophie, dan Rachel menjalani hari-hari mereka—empat wanita yang, bagi siapa pun yang hanya melihat dari luar, tampak memiliki kehidupan yang sempurna. Setiap sudut rumah mereka berbicara tentang kekayaan dan prestise. Namun, di balik dinding tebal yang melindungi mereka dari mata-mata tetangga yang selalu waspada, ada rahasia yang disimpan rapat, ketegangan yang perlahan meresap seperti kabut yang tak terlihat.
Lila berdiri di depan cermin besar di ruang tamunya, mengenakan gaun sutra biru laut yang tergerai lembut di tubuhnya. "Apakah ini cukup baik?" tanyanya pada dirinya sendiri, tatapannya tak pernah lepas dari refleksinya. Rambutnya ditata sempurna, seperti biasanya, tidak ada helai yang salah tempat. Tapi di dalam matanya, ada kelelahan yang mendalam, kelelahan yang tak bisa disembunyikan oleh kilauan gaunnya.
"Lila, pesta ini bukan tentang gaunmu," suara Emma terdengar lembut dari sofa di sudut ruangan. "Ini tentang menjaga agar semuanya tampak... seperti biasanya."
Emma tersenyum samar, memainkan cincin pernikahannya yang berkilau di bawah sinar lampu gantung yang menjuntai elegan. Pemandangan ini sudah biasa baginya, pesta yang penuh dengan tawa palsu dan percakapan yang hampa. Namun, ada sesuatu yang berbeda hari ini—sebuah kekosongan yang tak bisa ia abaikan lagi.
Sementara itu, Sophie duduk di tepi kolam renang yang membentang di halaman belakang rumah Lila, melayangkan pandangannya ke permukaan air yang tenang. Tangannya bergetar halus saat memegang ponselnya, pesan-pesan yang tak pernah ia kirimkan kepada suaminya terpatri di layar. "Aku tak bisa terus begini, kan?" bisiknya kepada dirinya sendiri, matanya berembun.
Lila mendekati Sophie, menatapnya dengan tatapan yang penuh pengertian. "Mereka tidak perlu tahu. Mereka tidak akan pernah tahu."
"Siapa yang tidak tahu?" Rachel muncul dari balik pintu kaca, suaranya tajam, namun ada nada kelembutan yang hanya sahabat sejati yang bisa menangkap. "Kita tahu. Dan itulah masalahnya."
Rachel, meski tampak lebih kuat dari mereka bertiga, membawa beban yang tak kalah berat. Di wajahnya yang penuh percaya diri, tersembunyi rasa takut yang mendalam terhadap kehidupan yang ia jalani. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di balik dinding rumahnya, bagaimana setiap malam dia hidup dalam bayang-bayang ketakutan terhadap pria yang seharusnya melindunginya.
"Kamu tidak mengerti, Rachel," Lila berbisik, suaranya mulai terdengar terputus-putus. "Kita semua terjebak. Dan kita terus berusaha agar terlihat baik di luar. Tapi di dalam, aku... aku hancur."
Sunyi melingkupi mereka sejenak, hanya desiran angin sore yang terdengar lembut di telinga. Suara langkah sepatu tinggi di lantai marmer menggema saat Emma berdiri, mendekati jendela besar yang menghadap taman belakang.
"Semua orang ingin terlihat sempurna di sini. Tapi tak ada yang benar-benar sempurna. Hanya citra, hanya ilusi." Emma menoleh ke arah mereka, seolah menantang mereka untuk mengakui apa yang telah lama mereka sembunyikan.
Di kejauhan, suara tawa tetangga terdengar, memecah keheningan. Mereka melirik ke arah luar, di mana para tetangga sibuk dengan kehidupan mereka yang tampak gemerlap, seolah dunia mereka penuh dengan kebahagiaan dan kegemerlapan. Tapi di antara suara tawa itu, ada sesuatu yang tak terucapkan—sesuatu yang tak pernah mereka bicarakan secara terbuka, tetapi selalu ada di sudut pikiran mereka.
"Sophie, kau tahu?" Lila memecah kebekuan, suaranya serak. "Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa mempertahankan semua ini."
Sophie menundukkan kepalanya, air mata menggenang di matanya. "Aku juga. Kita semua tahu. Tapi bagaimana caranya kita keluar dari sini?"
Rachel mendekati mereka, tatapannya penuh dengan ketegasan yang tak pernah pudar. "Kita harus menjaga satu sama lain. Karena, percayalah, tidak ada yang akan melakukannya untuk kita."
Malam mulai tiba, lampu-lampu di lingkungan mereka menyala perlahan, memancarkan cahaya hangat yang menyelimuti jalanan dan rumah-rumah mewah di sekitarnya. Namun, di dalam hati mereka, kegelapan itu masih tetap ada—tak terucapkan, namun tak bisa dihindari.
Di dalam rumah, kehidupan mereka tampak sempurna, tetapi di luar? Di balik setiap senyum dan tawa, ada dunia yang perlahan-lahan runtuh, sedikit demi sedikit.
Dan mereka tahu, cepat atau lambat, sesuatu harus berubah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hidden Scars
RandomEmpat wanita yang tinggal di lingkungan elit pinggiran kota hidup dalam bayang-bayang pernikahan yang tampak sempurna, namun penuh rahasia gelap. Ketika salah satu dari mereka ditemukan tewas, penyelidikan membuka tirai kebohongan, kekerasan, dan pe...