Bab 18: Konflik Rumah Tangga

6 2 0
                                    

Langit di Crescent Hills berwarna kelabu, seolah-olah menyerap segala kecemasan dan rahasia yang tersembunyi di dalam rumah-rumah mewah di bawahnya. Angin lembut yang berhembus membawa aroma dedaunan basah, namun di dalam setiap rumah, suasana semakin tegang, seperti tali yang ditarik terlalu kencang, siap putus kapan saja. Malam mulai turun perlahan, menutup hari yang penuh ketidakpastian, tetapi di dalam rumah Rachel, badai yang lebih besar sedang berkumpul.

Rachel berdiri di tengah ruang tamu, punggungnya lurus, meskipun tubuhnya gemetar di dalam. Di depannya, Daniel menatap dengan mata yang penuh dengan amarah yang sulit dikendalikan. Malam ini terasa lebih berat dari biasanya—setiap detik yang berlalu semakin mempertegas retakan yang selama ini mereka abaikan. Pertengkaran kecil yang biasanya berakhir dengan diam kini berubah menjadi sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak bisa lagi dikendalikan.

"Apa kau berpikir bisa menyembunyikan sesuatu dariku, Rachel?" Daniel melontarkan kata-katanya dengan suara rendah namun penuh ancaman. Ia melangkah maju, mendekati Rachel dengan gerakan perlahan yang terasa seperti ancaman dalam setiap langkah.

Rachel menahan napas, berusaha menenangkan dirinya. "Daniel, aku tidak menyembunyikan apa pun. Aku hanya... aku hanya butuh ruang." Suaranya terdengar lirih, tetapi di dalamnya ada keberanian yang baru ditemukan, keberanian yang muncul dari percakapannya dengan Emma dan Sophie.

Daniel tersenyum miring, langkahnya berhenti beberapa inci dari Rachel. "Ruang? Kau butuh ruang?" nadanya mengejek, seolah kata-kata Rachel adalah lelucon yang menyakitkan. "Kau pikir kau bisa mengendalikan ini semua? Aku yang membuat keputusan di sini, Rachel. Aku suamimu. Kau milikku. Dan kau tidak bisa melarikan diri dari itu."

Detik itu, Rachel merasakan jantungnya berdebar lebih cepat, tetapi sesuatu dalam dirinya menolak tunduk pada ketakutan yang telah membelenggunya selama ini. "Tidak, Daniel," ucapnya dengan suara yang lebih tegas, meskipun tangannya bergetar. "Aku bukan milikmu. Dan aku tidak akan terus hidup dalam ketakutanmu lagi."

Kata-katanya seperti menembus tembok yang selama ini berdiri di antara mereka, dan wajah Daniel berubah, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Namun, alih-alih meredakan ketegangan, amarah Daniel semakin membara. Tangannya terangkat seolah hendak menyerang, tetapi Rachel bergerak lebih cepat, mundur selangkah, tatapannya tetap tajam pada Daniel.

"Jangan, Daniel," katanya dengan suara yang lebih dingin. "Jangan lakukan ini. Kau tidak akan bisa mengendalikanku lagi."

Sejenak, keheningan menggantung di antara mereka, dan untuk pertama kalinya, Rachel merasa bahwa dia memiliki kendali atas dirinya sendiri—bahkan jika hanya untuk satu malam.

Di tempat lain, Sophie duduk di ruang kerja Michael, matanya terpaku pada layar laptop suaminya yang terbuka. Setelah berminggu-minggu merasakan kebohongan yang terus menyesakkannya, akhirnya dia menemukan kebenaran yang lebih menyakitkan dari apa yang pernah dia bayangkan. Di depan matanya, email-email dan pesan-pesan yang disembunyikan dengan hati-hati antara Michael dan Lila, pesan-pesan yang penuh dengan rahasia yang seharusnya tidak pernah dia baca.

Setiap baris pesan terasa seperti jarum yang menusuk hati Sophie, memperjelas bahwa perselingkuhan Michael bukan hanya fisik, tapi emosional—sebuah hubungan yang dalam, penuh bisikan-bisikan yang disembunyikan darinya.

"Aku merasa semakin dekat denganmu, Lila. Ada sesuatu tentangmu yang membuatku ingin selalu bersamamu, bahkan saat kita tidak bisa bertemu."

Sophie merasa napasnya tercekat. Kata-kata itu terasa seperti pengkhianatan yang lebih dari sekadar perselingkuhan. Michael bukan lagi hanya suaminya—dia adalah orang asing yang berbagi kehidupan rahasia dengan sahabat Sophie sendiri.

Dengan tangan yang gemetar, Sophie menutup laptop itu dengan pelan, seolah takut membuat suara yang terlalu keras. Pikirannya berputar, mencari jawaban yang tak pernah ia temukan. Bagaimana dia bisa terus hidup bersama pria ini, mengetahui bahwa hatinya bukan lagi milik mereka berdua?

"Lila tahu terlalu banyak," bisik Sophie pada dirinya sendiri, tatapannya kosong. "Dan sekarang, aku tahu terlalu banyak juga."

Di sisi lain kota, Emma duduk di ruang makan rumahnya, memandang ke jendela yang terbuka lebar. Di balik ketenangan di dalam rumahnya, dia merasakan tekanan yang semakin menghimpit. Percakapan dengan Rachel masih terngiang di kepalanya, setiap detail tentang kekerasan yang dialami temannya terasa seperti beban yang semakin berat di hatinya. Dan kini, Sophie, yang mulai kehilangan kendali atas pernikahannya sendiri.

David duduk di seberang meja, menyesap kopinya dengan tenang, tidak menyadari badai yang sedang berkecamuk di dalam pikiran Emma.

"Kau baik-baik saja, sayang?" tanyanya, suaranya lembut seperti biasa.

Emma tersenyum kecil, tetapi di dalam senyum itu ada sesuatu yang retak. "Ya, aku hanya... banyak yang kupikirkan belakangan ini."

David mengangguk pelan, meletakkan cangkirnya. "Tentang Sophie dan Rachel? Aku tahu ini berat untukmu, Em. Tapi mereka akan baik-baik saja. Kau selalu ada untuk mereka."

Emma menatap David, merasa dunia yang ia kenal semakin bergeser. Di antara ketiga sahabatnya, Emma yang selalu menjaga keseimbangan, tetapi kini, dia mulai merasakan bahwa pilihan-pilihan yang ada di depannya semakin sempit.

"Aku tahu, tapi kadang aku merasa seperti semuanya akan berubah. Kau tahu?" ucap Emma, suaranya nyaris berbisik. "Aku takut jika aku terus berada di antara mereka, aku akan kehilangan sesuatu. Kehilangan kita."

David tersenyum lembut, meraih tangan Emma di atas meja. "Kita tidak akan hilang, Emma. Kita kuat. Percayalah."

Namun di dalam hati Emma, ada sesuatu yang terus berdenyut—ketakutan bahwa hidupnya yang tampak sempurna akan terhancurkan oleh rahasia yang semakin mendalam di antara sahabat-sahabatnya.

Hidden ScarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang