Sesampainya di istana yang megah, Ophelia melangkah dengan anggun, meskipun dalam hatinya dia merasakan ketegangan yang membayangi.
Setibanya di taman istana, tempat pesta teh diadakan, dia melihat para tamu sudah berkumpul.
Namun, tidak ada satupun dari mereka yang memberi hormat padanya, meskipun statusnya sebagai Putri Pertama masih berlaku.
Ophelia berjalan menuju salah satu kursi yang telah disiapkan untuknya, matanya menelusuri taman yang penuh dengan bunga dan suara tawa para bangsawan.
Ketika dia duduk, beberapa bangsawan wanita mendekatinya, tersenyum dengan senyuman yang penuh kepalsuan. Dengan halus namun jelas, mereka mulai mengolok-olok Ophelia.
Beberapa membicarakan penampilannya, sementara yang lain menyinggung masa lalu Ophelia dengan ejekan yang disamarkan sebagai pujian.
Namun, Ophelia tetap tenang, menjaga wibawa dan martabatnya.
Dia menatap mereka dengan dingin, tidak membiarkan kata-kata mereka merusak ketenangannya.
Ketika tidak ada reaksi dari Ophelia, para bangsawan itu merasa tidak berhasil dan akhirnya berhenti, perlahan menjauh untuk mencari topik lain yang lebih menarik.
Ophelia menarik napas panjang, matanya menatap jauh ke arah langit biru.
Di dalam hatinya, dia tahu ini mungkin pesta teh terakhirnya di kerajaan ini.
...
Beberapa saat setelah Ophelia duduk, terdengar gemuruh antusiasme di antara para bangsawan.
Putri Kedua, yang selalu dielu-elukan sebagai Putri tercantik dan baik hati, akhirnya tiba.
Para tamu yang semula mulai kehilangan ketertarikan pada pesta teh, kini merasa senang dengan kehadirannya.
Namun, rasa senang itu segera berubah menjadi kebingungan dan kekecewaan.
Putri Kedua memasuki taman dengan gaun mencolok, seluruhnya berwarna emas.
Dari kepala hingga ujung kaki, dia dipenuhi perhiasan emas.
Gaun yang dikenakannya terlalu berat dengan kilauan emas, membuatnya tampak seperti sangkar burung berjalan.
Tiara emas bersinar di kepalanya, gelang dan kalung emas melingkari kedua lengan dan lehernya, bahkan sepatunya juga dilapisi emas.
Alih-alih menambah kecantikan, penampilannya justru tampak berlebihan dan tidak elegan.
Para bangsawan yang tadinya menyanjung Putri Kedua kini mulai melirik dengan cepat ke arah Ophelia.
Mereka membandingkan kedua putri itu, dan tanpa sadar menyadari perbedaan yang mencolok.
Putri Pertama, Ophelia, yang hanya mengenakan gaun biru sederhana, tampak jauh lebih anggun dan dewasa.
Penampilannya memancarkan ketenangan yang tidak bisa dicapai oleh adiknya, meski berlapis emas.
Di sisi lain, Putra Mahkota, Pangeran kedua, bahkan Kaisar dan Permaisuri yang mendampingi Putri Kedua, mulai merasa malu.
Dalam benak mereka, ada kebingungan yang sulit dijelaskan.
Bagaimana bisa Ophelia yang selama ini mereka abaikan terlihat begitu anggun, sementara Putri Kedua, yang selalu mereka rawat dan dimanja, tampak seperti badut yang terlalu mencolok?
Putri Kedua, yang tidak bisa membaca suasana di pesta teh, melangkah maju dengan penuh kepercayaan diri.
Dia memberi salam kepada para tamu undangan dengan senyuman yang lebar.
Namun, ketika matanya bertemu dengan Ophelia, dia tertegun.
Dia tidak menyangka bahwa kakaknya, Putri Pertama yang selama ini ia anggap sebagai ancaman, masih hidup dan tampak lebih kuat daripada yang pernah ia bayangkan.
...
Rasa kesal yang terpancar di wajah Putri Kedua dengan cepat hilang, digantikan senyum ceria yang penuh kepalsuan.
Mengingat ini adalah pesta teh, dia menahan amarahnya dan segera duduk bersama para bangsawan lainnya, dengan sengaja mengabaikan keberadaan Ophelia seakan-akan kakaknya tidak ada.
Setelah beberapa saat, Putri Kedua akhirnya memulai percakapan dengan Ophelia.
"Bagaimana kabar Cale?" tanyanya dengan nada ramah yang dipaksakan.
"Bagaimana dengan kelas bangsawan yang diikutinya? Aku dengar pasti sulit menjadi single parent. Mungkin Kakak sebaiknya menikah lagi? Aku yakin Cale akan sangat senang memiliki sosok ayah di sisinya."
Putri Kedua melirik Kaisar dan Permaisuri dengan penuh harapan, seolah-olah menyiratkan sesuatu.
Suasana pesta teh tiba-tiba berubah tegang. Semua mata tertuju pada Ophelia, menunggu reaksinya.
Namun, Ophelia tetap tenang, mengambil cangkir tehnya dan menyesap perlahan sebelum menjawab.
"Kabar Cale sangat baik," jawabnya dengan suara lembut namun penuh keyakinan.
"Mengenai kelas bangsawannya, Cale sangat unggul di setiap pelajaran." Ophelia melanjutkan dengan senyum kecil di wajahnya.
"Tidak terlalu sulit menjadi single parent. Hari-hariku bersama Cale sangat menyenangkan."
Setelah jeda singkat, Ophelia menambahkan dengan nada lembut namun penuh makna, "Dan perihal pernikahan, itu tidak perlu. Orang yang kucintai sudah kembali, dan Cale sudah sangat akrab dengan ayahnya."
Saat menyebutkan hal itu, wajah Ophelia sedikit memerah, mengingatkan dirinya pada Shanks dan kedekatan antara Shanks dan Cale.
Kata-katanya mengejutkan para bangsawan. Kecemburuan mulai merambat di antara mereka.
Ophelia tampak begitu bahagia, dengan anaknya yang unggul dalam pelajaran, tidak merasa kesulitan menjadi seorang ibu tunggal, dan terlebih lagi, kisah cintanya yang begitu indah.
Banyak bangsawan yang selama ini menghadapi masalah dalam mengasuh anak mereka, bahkan beberapa mengalami kegagalan dalam kehidupan pernikahan mereka.
Mendengar kisah Ophelia membuat mereka merasa tertinggal. Kaisar, Permaisuri, dan kedua saudara laki-laki Ophelia terkejut. Mereka tidak menyangka Ophelia bisa menjadi begitu bahagia dan beruntung. Bahkan Putri Kedua, yang biasanya penuh percaya diri, kini terdiam.
Dia tidak pernah menyangka bahwa Ophelia, yang selama ini ia remehkan, ternyata memiliki kehidupan yang jauh lebih baik darinya.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Shanks x Princess Reader
FanfictionDi suatu perairan luas Grand Line, terdapat sebuah kekaisaran di pulau yang besar. Di sebelah pantai utara, tinggal lah seorang Putri Pertama bernama Ophelia. Dia dikucilkan karena keluarga nya menganggap dia sebagai Putri jahat kepada adik angkatny...