18. Pisau itu Tajam

1 2 0
                                    

iri dengki hanya akan membuat lobang kesakitan yang digali oleh diri sendiri.

Laasyavi pun sekarang berada di kursi yang biasanya ia pakai untuk bersantai dengan ibunya, ia kini sedang meminta penjelasan pada ibunya tentang apa yang sebenarnya terjadi, hingga ibunya terjerat hutang pada ular yang berbisa itu.

"Ibu...," Naraswati pun seperti ragu untuk bercerita.

"Bu, aku udah tau. Tinggal ibu kasih tahu aja alasannya, gimana ibu bisa hutang sebanyak itu?" Tanya Laasyavi keheranan dengan nada seperti menahan emosinya agar tak keluar begitu saja.

"Dulu, ibu pernah berdosa Vi, ibu pernah merebut suami orang. Karena nafsu itu, kamu lahir Vi. Kamu lahir memang karena pernikahan. Namun, istri pertama selalu meneror kami waktu itu. Kami pun punya anak dengan selisih yang tak begitu jauh."

"Namun, pada akhirnya papamu juga ikut meninggalkan ibu. Ibu dicampakkan begitu saja oleh papamu.Tidak apa, mungkin itu karma yang harus diterima ibu. Namun, karena itu kamu harus menderita, harusnya ibu tak pernah mengusik keluarga itu. Namun, seperti nasi sudah menjadi bubur. Ibu hanya dapat menyesali takdir itu, ibu tidak  tahu sekarang papamu berada dimana."

Laasyavi kembali terkejut, mengapa ia bisa lahir dengan membuat banyak pihak terluka dan menderita. Berarti, ia selama ini memiliki kakak. Namun, dimana kakaknya.

"Ibu masih berhubungan dengan mantan istri pertama papamu. Ia yang selama ini memberimu beasiswa Vi. Tetapi itu bukan semata-mata beasiswa. Karena ibu juga harus membayar uang sekolahmu, tetapi ibu bisa menunggak membayarnya."

"Karena itu pun ibu harus hutang kemana-mana untuk dapat membayar uang sekolahmu. Salah satunya ke papanya temanmu itu. Ia waktu itu memang mengiming-imingi ibu tidak apa-apa tidak membayar tepat waktu juga. Namun, ia punya satu permintaan,"

Ibunya menunduk," Namun, ibu tak menyangka ternyata permintaan itu, adalah memiliki kamu."

"Maaf Vi, karena ibu kamu menderita," Air mata Naraswati keluar begitu saja. begitupun dengan Laasyavi. Mereka sama-sama terluka.

"Enggak bu, maaf karena udah nuduh ibu macem-macem tadi," Lirih Laasyavi sambil memeluk ibunya.

***

Keesokan harinya, di jam istirahat Laasyavi ingin berbicara dengan Alsaki, ia merasa bersalah pada lelaki itu. Mereka sekarang sedang duduk di bangku taman. Namun, hanya keheningan yang tercipta, dengan segera Laasyavi pun memecahkan keheningan itu, "Maaf Al,"

"Maaf?"

"Kamu kemarin nyari aku ya?"
" Kenapa?"
" Maaf juga karena kemarin agak jutek,"

"Gapapa, kamu kemarin keluar sama siapa?"

Laasyavi pun menunduk, sebetulnya ia tidak ingin Alsaki mengetahui tapi ia juga tak ingin membuat Alsaki salah paham.

"Kamu, kenal sama yang namanya Anggara?" Ucapan Laasyavi terpotong saat tiba-tiba terdengar suara pria memanggil Alsaki.

"Sak, gue cariin di sini ternyata." Panggil Mahendra kepada Alsaki.

"Eh, ternyata lagi sama lo ya," Pandangan Mahendra beralih ke arah Laasyavi.

"Iya,"

"Kenalin ini Mahendra. Sahabat aku, Laa. "  Ujar Alsaki sambil memperkenalkan sahabatnya.

Laasyavi pun menyodorkan lengannya dan di balas oleh Mahendra.

"Gue-" Ucapan Laasyavi terpotong dengan perkataan Mahendra.
"Kara-kan?" Sela Mahendra.

"Tau?" Tanya Laasyavi diiringi kekehan, sambil mereka melepas tangannya satu sama lain.

AVIRODHA [segera terbit!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang