𖥻35. Untuk Yang Terakhir Kalinya
________________"Kak, berhenti. Semua orang menatap kita," bisik Irish menahan roda kursi dikedua sisi. Alaska mengernyitkan kening terpaksa menghentikan dorongannya. Netra setajam elang menelisik segala arah, ya, benar semua orang menatap dirinya dan Irish dengan banyak ekspresi.
"Kak Alaska duluan aja, malu diliatin orang-orang." Irish berucap diakhiri kekehan kecil, Grace yang berada di samping kiri Irish menggenggam tangan adik iparnya.
"Ssst, jangan ngomong kayak gitu. Mereka semua punya mata dan kita punya hak untuk gak perduli tatapan itu," kata Grace. Irish menghela nafas panjang, antara dirinya sendiri dan Grace tentu berbeda mungkin dari segi fisik.
Perempuan pemilik ciri khas rambut keriting berwarna cokelat cerah memiliki paras cantik, ciri khas wanita asia melekat. Begitupula Alaska, semua orang mengenal betul siapa pria itu. Tentu tatapan orang asing di sana disusul bisik-bisik mempengaruhi Irish sekarang.
"Tapi, Kak?"
"Anggap saja mereka semua adalah tumpukan sampah." Ucapan pedas Alaska itu terdengar seperti guruh siang bolong. Alaska memahami perasaan ketidaknyamanan Irish ditambah tatapan banyak orang di seberang sana mengisyaratkan kebencian, iri dan tidak suka.
"Jauhkan tangan kamu, jangan halangi saya," titah Alaska pada akhirnya dituruti Irish. Sampainya di depan mobil hitam.
Grace mengotak-atik ponselnya. "Alaska, Kakak boleh minta tolong antar Irish pulang?"
Irish merasa namanya dibawa-bawa menolehkan kepala. "Kakak mau kemana?"
"Kakak ada keperluan mendesak, Kamu sama Alaska gapapa, ya?" tanya Grace, Irish terdiam lama dan mau tidak mau ia mengangguk kecil.
"Titip Irish, Alaska." Grace melambaikan tangannya sembari melihat ulang pesan seseorang yang baru saja membuat notifikasi ponselnya berbunyi.
Angin sepoi-sepoi sore hari menyapa rambut Irish. Beberapa helaian rambutnya menghalau mata, tatapan gadis itu terhenti tatkala mobil membawa Kakak Iparnya pergi menghilang kemudian tak terlihat.
"Saya izin gendong kamu, Irish." Alaska menyangga tangannya di bawah lutut Irish, sebelah tangannya berada dipunggung. Dalam satu tarikan nafas, Alaska mengangkat pelan tubuh perempuan itu, berbalik badan. Tiga langkah kaki berjalan, Alaska membuka pintu mobil saat akan meletakkan Irish dikursi, netra keduanya bertemu menghantarkan sengatan listrik kasat mata.
Jantung Irish berdetak menggila kala tak sengaja netranya menelisik dalam mata teduh berwarna kecokelatan Alaska. Untuk kedua kalinya, Irish menahan dada bidang pria berusia 29 tahun itu, memutuskan kontak mata sepihak. Lalu berdeham kecil guna mengusir kecanggungan.
"Pasang seatbelt kamu," titah Alaska. Ia sama canggungnya, tanpa banyak melontarkan kalimat. Pintu mobil ditutup rapat, Irish dapat melihat Alaska memutari mobil, meninggalkan bekas parfum maskulin yang biasa pria itu pakai.
Sepanjang perjalanan, keduanya diselimuti keheningan. Tampaknya tidak ada salah satu diantara mereka mau membuka mulut sekedar basa-basi guna mengurangi kecanggungan baik Irish maupun Alaska sama-sama fokus ke depan.
Kurang lebih lima belas menit, mobil hitam itu sampai di sebuah pekarangan rumah kediaman keluarga Dirgantara.
Alaska mengeluarkan sesuatu dari bagasi mobilnya. Kemudian beralih membuka pintu mobil samping. Irish menyipitkan mata, melihat benda bantuannya sehari-hari bukanlah kursi roda yang biasa ia gunakan.
"Sekarang kamu tidak perlu mendorong lagi, cukup tekan tombol navigasi yang terletak pada penyangga dilengannya, kursi roda listrik itu dapat berjalan sendiri," jelas Alaska.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsession Brother [ ON GOING ]
Romance"Dia milikku, selamanya akan menjadi milikku. Coba saja rebut, jika dia mampu berpaling dariku maka dia kuserahkan padamu." Sergio Zaryan Dirgantara. Sergio memiliki seribu cara agar Irish menjadi miliknya. Awal perjalanan menaklukkan sang adik berj...